"Apakah kita memang ditakdirkan untuk bertemu di tengah derasnya hujan?"
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
— HUJAN —
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀"Ah, ternyata hari ini pun turun hujan."
Aku menengadah. Di atas sana, langit biru yang cerah sudah sepenuhnya dikerumuni oleh awan-awan kelabu yang tak berhenti menjatuhkan rintik-rintik air hujan.
Aku menghela pelan. Sepertinya, hari ini adalah hari sial-ku; aku lupa membawa payungku. Entah bagaimana caranya untuk keluar dari area kampus ini. Lihatlah, hujan-nya begitu lebat.
Aku tiba-tiba teringat kejadian kemarin. Mas Payung Hitam itu—eh, maksudku Sadewa—benar-benar menghiburku. Berkatnya, aku berhasil menguatkan diri untuk menghadiri kelas siang tadi. Aku sedikit-banyak merasa bersyukur dapat bertemu dengan pemuda itu, meskipun aku berakhir terjangkit flu akibat hujan-hujanan.
"Eh, Kirana?"
Aku sedikit terperanjat. Sebuah suara baritone memecah kerasnya gemericik air hujan, menarik diriku keluar dari lamunan-ku.
Tunggu, aku mengenali suara ini.
Si Payung Hitam?
Aku menoleh perlahan, dan, benar. Baru saja dibicarakan, pemuda itu sudah muncul di hadapanku.
"Sadewa? Sedang apa kau di sini?"
Pemuda tinggi itu berdiri di tak jauh dariku, dengan payung hitam-nya yang masih setia menemaninya. Pakaian-nya sederhana; kemeja putih dengan celana panjang hitam, ditambah sepasang kacamata bundar bertengger di pangkal hidungnya, yang membuatnya terlihat seperti seorang kutu buku.
Ia berjalan mendekat, menutup payungnya agar tidak mengganggu. "Tentu saja, untuk kuliah. Kau juga kuliah di sini?"
"Iya." Aku mengangguk. "Mengapa aku tidak pernah melihatmu di sekitar sini?"
"Aku juga. Mungkin, karena aku terlalu sibuk mendekam di perpustakaan." Sadewa terkekeh pelan. "Omong-omong, kau tidak membawa payung?"
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, seraya tersenyum masam. "Aku lupa membawa payungku, hehe."
Sadewa mengangguk pelan. "Kalau begitu, mau pulang bersamaku? Tetapi, aku tidak punya mobil. Aku hanya bisa mengantarmu ke halte bus dan naik bus bersama."
Aku sontak menggeleng. Aku tidak mungkin kembali merepotkan dirinya. "Ah, terima kasih, tetapi tidak perlu. Aku akan menunggu hujan-nya reda saja."
Sadewa pun ikut menggeleng. "Nanti kamu bisa sakit, Kirana. Flu-mu bisa bertambah parah."
"Eh, bagaimana kau tahu kalau aku sedang flu?" Aku bertanya penasaran. Mengapa pemuda ini seakan tahu segalanya, dan selalu datang di saat yang tepat?
"Tentu saja aku tahu. Hidungmu merah." Sadewa menunjuk hidungku, kemudian tersenyum lebar. "Lagipula, siapa yang tidak flu sehabis hujan-hujanan?"
Aku refleks menyentuh hidungku, lantas mengangguk. "Kau benar juga."
"Ayo, kuantar kau pulang. Tidak boleh ada penolakan."
Sadewa membuka payungnya. Kemudian, tanpa aba-aba, ia menarik lenganku lembut dan membawaku ke dalam rangkulan-nya.
Aku menelan ludah gugup. Aku tidak pernah berada di jarak se-dekat ini dengan lelaki. Aku sudah berusaha sedikit memberi jarak, namun sepertinya Sadewa tidak peka.
"Tetaplah berada di dekatku jika kau tidak ingin terguyur hujan."
Rupanya aku tidak memiliki pilihan lain. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan
عاطفيةHujan. Sang saksi bisu pertemuan pertama kami. Sang saksi bisu perjalanan kisah kami yang indah. Dan juga, sang saksi bisu akhir dari kisah kami yang begitu menyesakkan. Inilah sebuah kisah tentang aku, dia, dan hujan. © 2022, Kireiverse.