Prolog

5 1 0
                                    


Sabtu, 11 September

Sinar matahari terasa menusuk mata. Seorang gadis yang sedang terkulai lemah mulai membuka matanya sambil berkali-kali berkedip untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Hal pertama yang terlihat olehnya adalah langit-langit ruangan tempat ia terbaring saat ini. Ruangan ini secara keseluruhan berwarna putih, dengan gorden yang terbentang juga berwarna putih kertas.

Udara yang ia hirup terasa dingin. Gadis itu merasakan nyeri di tangan kanannya. Dicobanya untuk mengangkatnya, namun entah kenapa tubuhnya seperti sudah kehabisan energi dan tenaga sehingga ia tak bisa mengangkat tangannya. Gadis itu kembali melihat sekitar, mengedarkan pandangan dengan radius lebih luas. Hanya ada ia seorang di ruangan ini, dan yang bisa ia simpulkan adalah ia sedang berada di rumah sakit.

Berulang kali ia mencoba menggerakkan anggota tubuhnya, dimulai dari jari. Ia merasa lega setelah ia bisa menggerakkan jari telunjuknya, ternyata dia tidak sedang mengalami kelumpuhan. Ia terus berusaha mencoba menggerakkan anggota tubuhnya. Sampai akhirnya ia bisa mengangkat satu tangannya, ia melirik ke arah tempat ia merasa nyeri. Di situ ia melihat ada yang tertancap ke kulit putihnya itu. Jarum suntik. Ternyata benar, ia memang berada di rumah sakit. Ruangan ini sangat hening, hanya diisi dengan suara dari bedside monitor yang berada di sebelahnya. Di sekelilingnya juga ia melihat beberapa alat medis yang tidak ia ketahui apa saja fungsinya.

Saat disibukkan dengan memperhatikan keadaan sekitar, gadis itu mendengar sayup-sayup obrolan dari luar ruangan. Semakin lama terdengar semakin kuat, yang artinya orang-orang yang sedang berbicara di luar itu semakin mendekati ruangannya. Tak lama kemudian, pintu ruangan dibuka oleh seseorang. Tampak seorang pemuda masuk ke dalam ruangan, diikuti dengan seorang wanita paruh baya di belakangnya. Mereka sangat fokus pada obrolan mereka, sampai-sampai mereka tidak menyadari seorang gadis yang terbaring lemah di atas tempat tidur berkali-kali mencoba memanggil mereka dengan gerakan tangan.

"Udah, kamu pulang aja. Biar Ibu yang jagain si Mbak," ucap wanita paruh baya kepada pemuda itu.

Pemuda itu sedang meletakkan satu tas jinjing di sebelah sofa kecil di sudut ruangan. "Jangan gitu, Bu. Ibu kan belum ada istirahat dari kemarin, pasti Ibu capek. Biar Widi gantiin Ibu." Pemuda itu tampaknya tidak mau kalah.

"Ibu nggak apa-apa, Nak. Toh juga Ibu cuma ngawasin aja, nggak gitu banyak kerjaan."

Di tengah-tengah obrolan mereka berdua, masih ada seorang gadis yang berupaya menginterupsi. Tak mempan dengan gerakan tangan, gadis itu mencoba bersuara.

"Bu—uukkhhh ... ukhhuk ... ukkkhh!" Belum sempat berucap apapun, gadis itu sudah terbatuk-batuk.

Kedua orang yang sibuk dengan obrolan mereka pun teralihkan fokusnya ketika mendengar suara batuk dari arah tempat tidur. Keduanya begitu terkejut ketika melihat gadis itu ternyata sudah sadar dari tidur panjangnya.

"Ya ampun, Mbak udah sadar! Widi, cepat panggil dokter!" perintah wanita paruh baya itu.

"Ibu jangan panik," ucap pemuda itu sebelum ia berlari ke arah luar ruangan.

Gadis itu masih terbatuk-batuk dan berusaha untuk menetralkan pernapasannya. Saat ia ingin bersuara, tenggorokannya seperti tercekat sehingga membuatnya tersedak dan terbatuk.

Tak lama kemudian dokter beserta timnya masuk ke dalam ruangan itu dengan sedikit terburu-buru. Dokter langsung memeriksa keadaan gadis itu. Ibu paruh baya dan pemuda itu menunggu dengan cemas di belakang dokter, melihat sendiri bahwa gadis itu ternyata benar-benar telah sadar.

Setelah dilakukan beberapa pengecekan, dokter sedikit berbicara dengan wanita paruh baya itu, sesaat kemudian dokter beserta tim keluar dari ruangan bersama wanita itu. Sehingga tersisalah gadis yang baru saja sadar, dan seorang pemuda yang sedang berlinang air mata terus saja memandangi ke arah gadis itu.

"Mbak ..." panggil pemuda itu lirih, sambil mendekat ke tempat tidur. Gadis itu menoleh ke arah suara, syukurlah badannya sudah mulai terbiasa digerakkan.

"Akhirnya Mbak bangun juga. Mas benar-benar bersyukur," ucap pemuda itu sambil menggenggam tangan si gadis. Gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan bingung.

"Sa—saya ... ke—kenapa ...?" tanya gadis itu dengan suara tersendat-sendat, ia merasa tenggorokannya sangat kering, sehingga dia sedikit kesulitan untuk mengeluarkan suara.

"Mbak baru aja sadar dari koma."

"Ko—koma?"

Pemuda itu mengangguk. "Iya. Mbak koma sekitar semingguan."

Gadis itu menatap ke arah langit-langit. Saat ini isi kepalanya sedang kosong, belum terlalu mengerti tentang apa yang sedang terjadi pada dirinya. Saat ini ia sedang terbaring lemah di rumah sakit, dan hal yang baru saja ia dengar adalah ia baru saja terbangun dari koma yang cukup panjang itu. Ia menjadi bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi pada dirinya.

"Kenapa saya bisa koma?" tanyanya sambil kembali menatap pemuda yang masih menggenggam tangannya itu.

"Mbak seminggu lalu habis kecelakaan, trus nggak sadarkan diri sejak itu," jelasnya singkat.

Gadis itu mengangkat tangannya, kemudian memegang kepalanya, sedikit berdenyut di bagian pelipis. Dari penuturan pemuda itu, ia mengalami kecelakaan, namun ia bingung mengapa ia tak mengingat hal itu sama sekali.

"Kecelakaan, ya?" gumamnya.

Pintu ruangan terbuka. Wanita paruh baya yang tadi mengikuti dokter keluar akhirnya kembali masuk ke dalam ruangan. Saat pemuda itu melihat wanita itu berjalan mendekat, ia menyingkir dari posisi duduknya, lalu digantikan dengan wanita itu.

"Mbak, makasih udah berjuang, makasih udah bangun. Bibi benar-benar berterima kasih," ucap wanita yang ia sebut dirinya 'Bibi' dengan suara bergetar. Ia menggenggam tangan yang tadinya digenggam oleh pemuda yang ada di sebelahnya, kemudian mulai menitikkan air mata.

Suara isak tangis dari Bibi menggema di dalam ruangan ini. Gadis itu bingung harus bagaimana, ia terkejut ketika melihat wanita yang ada dihadapannya itu menangis.

"Jangan nangis," ucap gadis itu pelan. Bibi tersenyum mendengar ucapan gadis itu, gadis yang sangat ia rindukan suaranya.

"Gimana keadaan Mbak? Ada yang sakit?" tanya Bibi, dibalas dengan gelengan dari gadis itu.

"Kata dokter keadaan saya gimana?"

"Dokter bilang Mbak udah baik-baik aja. Tulang rusuk yang patah juga sudah mulai membaik."

"Tulang rusuk ... patah?" Bagi seorang gadis yang seumur hidup belum pernah masuk rumah sakit, tentu saja hal itu mengejutkannya. Kecelakaan, lalu ada tulang rusuk yang patah. Sebenarnya seberapa parah kecelakaan yang dialaminya?

"Mbak tenang aja. Udah nggak apa-apa, kok. Jadi Mbak nggak usah khawatir," sahut Bibi. Gadis itu hanya bisa mengangguk lemah. Ia hanya bisa mempercayakan semuanya pada dokter yang merawatnya.

"Mbak istirahat dulu aja. Nanti kalo dokternya datang biar Bibi bangunin."

"Saya udah terlalu lama tidur, masa disuruh tidur lagi?" balas gadis itu sedikit bercanda.

"Oh iya, saya boleh bertanya?" tanya gadis itu.

"Boleh. Mau nanya apa, Mbak?"

"Maaf, tapi Ibu siapa ya?"

Pertanyaan dari gadis itu membuat senyuman lebar Bibi menjadi kaku, terdiam membeku, bahkan pemuda yang hanya memperhatikan dari samping juga ikut terkejut dengan pertanyaan itu.

"Mbak ... Mbak nggak ingat siapa Bibi?"

Gadis itu menggeleng. Sejak tadi ia mencoba mengingat-ingat siapa dua orang yang sedang mengajaknya berbicara, tapi ia tidak ingat apa pun. Bahkan ...

"Saya siapa, ya?"

***

ReNaya: The Missing SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang