Hari pertama setelah menikah, Haechan bangun cukup siang. Ia segera meninggalkan kasur, pergi ke kamar mandi setelah melihat jam analog di nakasnya. Waktunya tidak banyak, tapi cukup untuk tiba sebelum terlambat. Perempuan itu berganti dengan baju yang lebih rapi, menata rambut seadanya, dan melupakan make-up. Ia meninggalkan kamar hanya untuk mendapati teriakan sang ibu dan hadangan dari ayahnya yang kebetulan duduk di teras.
"Kamu mau pergi ke mana?" Ibu yang baru saja berteriak dari dapur kini telah berada di hadapan.
"Ke mana lagi? Kerja lah, Bu." Haechan menjawab dengan santai. Ia bahkan tengah memakai helm abu-abunya, sebelum sang Ibu memukul helm tak bersalah itu dengan kuat.
"Ngigau ya kamu? Kamu udah nggak kerja di sana, Haechan! Udah, masuk balik. Makan dulu. Suamimu udah bangun dari tadi nungguin kamu."
Tunggu. Suami?
Oh, benar. Haechan baru ingat ia telah menikah dengan lelaki tampan itu kemarin. Tapi ada yang aneh. Tidak lagi bekerja? Wait. Sejak kapan?
"Ibu bilang apa tadi? Nggak kerja di sana? Maksud Ibu apa?" Haechan yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya segera bertanya, mendapat decakan sebagai respon dari sang Ibu.
"Kamu berhenti kerja, Haechan. Lusa kita anter kalian ke rumah mertuamu, cuma dua hari. Terus kamu ikut Mark."
Dahi milik Haechan mengernyit. Mengapa ia tidak mengetahui apa pun? "Kok Ibu nggak bilang dulu? Haechan kan belum setuju!"
Ibunya menghela napas. "Kamu nggak bakal setuju kalau Ibu kasih tau. Kamu kan susah nurut sama orang tua sendiri."
"Tapi—"
"Masuk sana! Sarapan dulu. Habis itu kalian jalan-jalan. Nggak pernah kan kamu jalan sama cowok? Sekarang udah punya suami, jadi, nikmatin dulu masa pernikahan kalian."
Haechan melihat punggung Ibunya yang berlalu. Kemudian menatap sang Ayah yang sejak tadi berdiri sembari fokus pada korannya. "Ayah~"
Pria tinggi itu menghela napas, lalu menepuk pundak putrinya pelan. "Udah. Nurut sama Ibu, ya, Nak. Jangan buat Ibu marah, nanti tensinya naik lagi." Ayah menggiring Haechan untuk kembali masuk ke dalam rumah, yang hanya bisa diikuti oleh perempuan itu dengan terpaksa.
Haechan melihat suaminya duduk di meja makan dengan tenang. Ibu masih berkutat dengan urusan dapurnya, yang enggan Haechan ketahui. Ia memilih duduk di seberang Mark dalam diam.
"Pindah sana. Duduknya di sebelah suami." Ibu datang ke meja makan itu setelah meletakkan beberapa piring di atas meja. Haechan hanya menghela napas dan menuruti perintah Ibunya tanpa banyak bicara.
Hanya pasangan pengantin baru yang sarapan bersama sebab orang tua dan saudara Haechan telah melakukannya lebih dulu. Mereka berdua makan dalam diam, di bawah tatapan senang Ibu yang sejak tadi memperhatikan mereka.
"Ibu kenapa sih?" Haechan yang merasa diperhatikan akhirnya bertanya. Ia cukup tidak nyaman dengan tatapan dan senyuman sang Ibu yang sangat jarang diperlihatkan padanya.
"Ibu seneng. Akhirnya anak bontot udah sold-out. Berkurang juga beban ibu."
Haechan terdiam. Ia sangat tahu ibunya hanya bergurau. Tapi dipengaruhi oleh suasana hati yang buruk, ia justru merasa tersinggung. "Iya. Haechan emang cuma beban selama ini. Maaf ya bu. Makasih sarapannya."
Berdiri dari duduknya, Haechan berniat mengurung diri di kamar. Sebelum pintu kamarnya tertutup rapat ia bisa mendengar suara keras Ibunya menggema.
"Haechan, Ibu cuma bercanda! Jangan sensian deh."
***
Rencana mengurung diri di kamar gagal total ketika Haechan lagi-lagi dengan terpaksa mengiyakan perintah Ibunya untuk pergi bersama Mark. Pergi kencan, katanya. Tapi nyatanya pasangan pengantin baru itu justru hanya duduk di dalam mobil sebab Mark tengah mengisi materi sebuah forum online. Haechan yang tidak tahu apa pun tentang suaminya hanya menurut saat Mark meminggirkan mobil di tanah lapang dekat sekolah yang sepi, menanyakan pendapatnya tentang kencan mereka. Lagipula Haechan juga tidak mengharapkan kencan romantis atau apa pun itu. Ia hanya ingin berdiam diri, menjauh dari kerumunan orang.
Setelah terhitung tiga puluh menit, atau mungkin lebih keduanya saling abai, Mark memandang Haechan yang masih menaruh atensi pada ponselnya. "Haechan?"
Mendengar namanya dipanggil, Haechan mendongak dari ponselnya, memandang Mark dengan tatapan tanya. "Saya udah selesai. Kita jadi pergi ke mana?"
"Kak Mark maunya pergi ke mana?" tanya Haechan, memandang suaminya yang terlihat begitu tampan serta cerdas.
"Saya kan nggak tau tentang kota ini." Oh, sayang sekali. Sepertinya Mark kurang berwawasan luas.
Haechan mengangguk meski agak bingung. Mark dan keluarganya memang berasal dari kota sebelah, tapi sedikit aneh jika Mark tidak tahu apa pun tentang kota tetangga ini. "Aku males, sih, kak. Kita langsung pergi ke pusat oleh-oleh aja."
"Oke."
Melajukan mobil dengan kecepatan normal, Mark melirik ke arah Haechan yang hanya memandang jalan. Lelaki itu kembali fokus mengemudi tanpa memecah keheningan. Itu membuat Haechan kesal. Seharusnya laki-laki mapan yang mempunyai jabatan dan kemampuan public speaking yang bagus seperti Marklah yang harus pertama kali meruntuhkan dinding kecanggungan di antara mereka.
Haechan menetap pada pendiriannya untuk tidak menjadi orang pertama yang mengusir kecanggungan di antara mereka. Ketika keduanya sampai di tempat tujuan, perempuan itu hanya berjalan pergi, mengabaikan suaminya yang mengekori di belakang. Pun Mark sepertinya tidak masalah dengan hal itu, karena ia menyerahkan perihal belanja sepenuhnya kepada Haechan. Bahkan Mark memilih duduk di kursi yang ada, sibuk dengan ponselnya, membuat Haechan semakin kesal karena tingkah suaminya. Itu membuat Haechan kalap dan memasukkan segala jenis makanan ke keranjangnya, dan membiarkan Mark membayar tagihan belanja yang cukup mahal itu. Rasa puas memang ada, tapi itu tidak menghilangkan kekesalan Haechan.
Hingga ketika mereka kembali ke rumah, rasa kesal Haechan belum juga mereda. Itu ditunjukkan dari wajahnya yang murung dan sikap cueknya pada Ibu ketika wanita itu menanyakan kencan mereka. Haechan memilih mengurung diri di kamar, mengabaikan teriakan Ibu yang sudah familier di telinganya.
"Kamu kenapa?" Mark masuk ke dalam kamar tepat setelah Haechan berbaring di atas ranjang. Perempuan itu berniat menyelesaikan drama yang ia tonton sejak di mobil tadi, cara untuk melampiaskan kekesalannya. Tapi ketika Mark menginvasi zona nyamannya, kekesalan Haechan muncul lagi.
"Nggak apa-apa," ucap Haechan, sembari tetap memandang ponselnya. Ia berniat mengabaikan suaminya.
"Kamu marah sama saya." Mark duduk di sebelah Haechan, tidak begitu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh.
"Nggak."
"Iya."
Haechan menghela napas. Ia mematikan ponsel dan meletakkan benda itu di atas kasur. "Aku nggak marah. Aku cuma capek."
"Capek kenapa? Kita nggak ngapa-ngapain tadi malem. Kita juga nggak jalan-jalan ke manapun tadi. Ngomong aja, kenapa marah?" Mark masih beranggapan bahwa Haechan marah, dan itu membuat Haechan memilih diam, kembali mengambil ponselnya.
"Hei, kamu nggak mau jawab?" Mark tanpa permisi mengambil ponsel yang berada di tangan Haechan, membuat perempuan itu mengernyit marah. Tapi Haechan tetap tidak menjawab dan beralih memunggungi Mark. "Oke, terserah."
Mark bangkit dari tempat tidur, entah berbuat apa, Haechan tidak ingin tahu. Perempuan itu hanya tetap mengubur wajahnya di balik guling dan memejamkan mata. Berharap rasa kantuk menghampiri, agar sejenak bisa meredakan emosi.
Belum sepenuhnya terlelap, Haechan bisa merasakan sisi lain ranjangnya terisi oleh massa yang cukup berat. Ia enggan membuka mata karena tahu itu adalah ulah suaminya. Haechan yang tidur menghadap ke sisi itu hanya tetap pada posisinya saat Mark merengkuh tubuhnya, mengikis jarak dan mengecup pelan dahi dan pipinya.
"Maaf ya, Haechan."
>o<
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER M | Markhyuck GS
FanfictionPernikahan tidak pernah menjadi bagian dari rencana masa depan Haechan. Namun dirinya harus menghadapi hal itu karena keinginan orang tuanya yang tidak bisa ia hindari. Ia akhirnya terikat dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal sama sekali. Sa...