[4] Move

944 94 3
                                    

Sesuai rencana, Mark serta Haechan berpamitan pada Mami dan Papi beserta jajarannya sehari setelah Haechan sembuh. Pagi sekali mereka menuju ke bandara, bersiap untuk menempuh perjalanan hampir sepuluh jam karena tempat kerja Mark berada di pulau terujung negara ini. Haechan yang seumur hidup belum pernah menaiki pesawat merasa sangat gugup dan takut, tapi ia menyembunyikan rasa itu dan bertindak seolah baik-baik saja.

Selama perjalanan lintas udara itu, Mark sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Lelaki itu memiliki satu bendel kertas yang entah apa isinya, yang membuatnya terlalu fokus hingga tidak memperhatikan istrinya sama sekali. Haechan merasa tidak masalah dengan hal itu dan ikut menyibukkan diri. Ia membaca satu novel yang merupakan hadiah pernikahan dari temannya. Novel itu mengangkat tema tentang kehidupan pasca menikah yang begitu romantis dan harmonis. Haechan tak berharap kehidupan pernikahannya akan sesuai dengan novel itu. Ia hanya membacanya untuk sekadar pengetahuan saja.

Tapi kemudian, Haechan tertidur dan bangun dengan tidak nyaman ketika Mark menepuk pelan pipinya. Mereka telah mendarat di bandara transit, dan Haechan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jadi ia hanya mengikuti Mark, bahkan ketika suaminya itu pergi ke kamar kecil.

"Haechan? Kamu ngapain di sini?" Mark baru saja hendak menutup pintu kamar kecil itu, namun ia dikagetkan dengan kehadiran sang istri yang ternyata mengikuti.

"E...ikut kak Mark. Aku bingung mau ke mana," ucap Haechan dengan resah. Ia tahu tak sepantasnya ia mengikuti sang suami, tapi dorongan dalam diri membuatnya tak pikir panjang.

Mark berdecak dan urung menutup pintu tempat itu. "Duduk di tempat tadi lah. Kamu ninggalin koper kita?"

"I-iya kak."

"Ck. Tungguin saya di sana. Saya nggak bakal lama." Belum sempat Haechan menjawab, Mark telah menutup pintu yang memisahkan mereka. Dengan enggan, Haechan berjalan menjauh, menuju kursi tunggu di mana ia meninggalkan koper mereka. Seperti kebiasaan yang selalu dilakukan, Haechan berjalan dengan mata yang memandang lurus ke depan, nyaris melamun, mangabaikan orang-orang yang melintas di sisinya. Ia terus melakukan itu hingga menyadari bahwa dirinya salah mengambil jalan. Kabar buruknya, ia mudah lupa mengingat arah.

Menoleh ke kiri dan kanan, Haechan tidak menjumpai sosok suaminya, sehingga ia kemudian mengambil ponsel dari sling bagnya, berniat menelepon Mark. Tapi lagi-lagi, kabar buruk. Ia lupa menyimpan nomor Mark dan riwayat panggilan serta chatingnya sudah terhapus bersih. Sungguh tidak beruntung.

Haechan lantas berusaha mengingat-ingat kembali jalan menuju kursi tunggu itu. Ia akhirnya berjalan lagi, menjelajahi bandara besar itu, hanya untuk lagi-lagi dikecewakan oleh kemampuan mengingatnya. Padahal ia pikir ia telah berjalan ke arah yang tepat, tapi ia justru berakhir di pintu keluar bandara.

"Maaf, Mbak, ada yang bisa dibantu?" Seorang penjaga keamanan mendekatinya, dan Haechan menemukan secercah harapan untuk bisa menuju kursi tunggu yang ia tinggalkan tadi begitu penjaga keamanan menunjukkan jalan.

"Makasih, ya, Mas," ucap Haechan pada penjaga keamanan yang tersenyum padanya.

Haechan merasa lega karena koper miliknya dan Mark masih berada di sana dan tidak berpindah tempat. Ia baru saja duduk ketika seseorang mendekatinya.

"Siapa yang kamu panggil 'Mas' tadi?"

"Eh Kak Mark, itu...penjaga keamanan. Dia nganterin aku waktu nyasar tadi."

"Kenapa manggil dia 'Mas'?"

Haechan berpikir sejenak. Lalu mengangguk. "Petugasnya masih muda, Kak."

"Karena alasan itu? Karena alasan itu kamu manggil orang lain Mas, sedangkan suami kamu nggak kamu panggil begitu?"

AFTER M | Markhyuck GSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang