Note, 28 Februari 2020||23.30 WIB
Malam selalu menyimpan rahasia yang mengagumkan. Aku adalah penikmat malam, aku selalu menanti tak sabaran saat sang surya pamit setiap harinya meninggalkan langit jingga yang selalu membuat anak-anak manusia berdecak kagum. Aku selalu menanti malam, bagiku malam selalu menyimpan rahasia kecil yang tak ingin diungkapkannya. Entahlah malam selalu berhasil menenangkanku. Suara jangkrik yang saling menyapa, daun yang bergerak ditiup nafas sang malam, bulan yang selalu terlihat cantik, dan bintang-bintang yang sesekali berkedip jahil. Ya, aku selalu menikmati ornamen-ornamen tersebut, bagiku semuanya itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tetapi malam ini terasa berbeda, entahlah aku tak tahu apa alasannya. Apakah karena bulan malu menunjukkan dirinya dan sinar putih-peraknya yang mempesona? Ataukah para jangkrik sedang berduka karena malam telah mati sehingga aku tak dapat merasakan nafasnya? Ataukah hatiku sedang merindu karenanya malam seakan begitu gelap dan membiarkan diriku bergumul sendirian? Entahlah aku tak tahu, malam ini cuma terasa berbeda bagiku. Apakah karena perasaan ini? Aku tak tahu. Perasaan ini tak asing bagiku karena aku pernah merasakannya dua tahun yang lalu, mungkin itu terakhir kalinya aku merasakan perasaan ini. Malam ini perasaan itu kembali menghinggapiku. Aku rindu.
***
Note, 5 Maret 2020||01.00 WIB
Bayangan wanita itu terus menghantuiku dan aku melewatkan beberapa malam hanya untuk bergulat dan berusaha mengusir bayangan itu. Tetapi kerinduan membuatku lemah. Bayangan wanita itu dan kerinduanku kembali memenangkan pikiranku. Aku tidak ingin berdamai, aku ingin bayangan wanita itu keluar dari kepalaku. Sialan, bagaimana ia bisa masuk ke dalam kepalaku tanpa tahu jalan keluarnya? Apakah aku yang menutup jalannya dan membiarkan bayangan wanita itu bersarang di dalam kepalaku? Cukup sudah, aku muak. Tolong pergilah!
***
Note, 7 Maret 2020||23.45 WIB
Bayangan wanita itu tak mau pergi. Aku menyerah. Kali ini aku akan membiarkannya mengambil kewarasanku dan membiarkannya membuka kembali lembaran-lembaran lama tentang dirinya yang ingin kututup selamanya. Lembaran-lembaran itu terlihat kusam, mungkin karena aku sudah lama tak membukannya. Ia terus membukanya, terus, terus, terus, terus dan terus, tidak, kali ini dia berhenti. Kenapa ia membuka lembaran pertama? Entahlah. Itu adalah lembaran pertama kisah kami. Kisah ketika aku mengenalnya, kisah ketika ia membalik logikaku dan membuatku rela melakukan hal-hal konyol hanya untuk membuatnya tertawa, kisah ketika ia menjadikanku orang yang penting dalam hidupnya setelah keluarganya.
***
Note, 27 Juli 2017
Aku bukan siswa yang baik ataupun yang terkenal apalagi yang terbaik. Aku hanya siswa biasa. Aku lebih suka menghabiskan waktuku di kantin, tempat parkir, warnet atau tempat lainnya daripada harus menghabiskan waktuku di kelas untuk duduk, diam, dan mendengarkan ocehan atau materi dari guru yang tidak sadar bahwa siswa-siswi dalam kelasnya terlampau bosan mendengarkannya dan selalu berusaha keluar dengan dalih ingin pergi ke toilet atau alasan klasik lainnya. Waktuku di sekolah melaju dengan cepat, tahu-tahu aku sudah duduk di bangku kelas XI dan tinggal setahun lagi aku akan segera meninggalkan sekolah ini. “Permisi” suara itu membangunkanku dari lamunan saat salah seorang temanku bertanya “Bro, lanjut dimana nanti kalo udah lulus?”. Dengan sigap aku segera berdiri dan memindahkan kursi tempat dudukku dari depan pintu kelas kami, tempat di mana aku dan teman-temanku menghabiskan waktu dengan menceritakan hal-hal konyol dan menunggu lonceng yang amat kami rindukan agar kami bisa pulang secepatnya. “Terima kasih” wanita itu berlalu saat aku mempersilahkan ia lewat. “Siapa dia?” tanyaku kepada teman-temanku “Ia teman kelasmu, bego!” jawab mereka serentak “Makanya kalo ke sekolah ya untuk sekolah jangan menghilang dan keluyuran ke mana-mana. Hasil akhirnya jadi begini teman kelas pun tak tahu” yang lain menimpali. Sebenarnya wajar saja kalau aku tidak tahu karena ada beberapa siswa dan siswi yang ditukarkan ke beberapa kelas, termasuk diriku, dan mungkin wanita itu juga atau mungkin dia penghuni awal kelas ini? Sudahlah aku tak peduli.
***
Perlahan aku mulai mengenali setiap teman kelasku, termasuk wanita itu, namanya Nia. “Nama yang bagus” pujiku saat berkenalan dengannya. Perlahan aku berusaha mengakrabkan diri dengannya, ternyata ia cukup berbeda dengan wanita lain setelah sebelumnya aku menganggapnya sama saja dengan wanita lain. Setelah kuperhatikan ia selalu tampil nyata apa adanya, hanya menggunakan bedak tanpa aksesoris atau dandanan yang terlalu berlebihan di wajahnya, ia selalu menggunakan parfum dengan wangi yang sama yang tak kuketahui nama ataupun mereknya tetapi amat kukenali, ia juga siswi yang pintar dan masih banyak hal lain lagi. Kesimpulannya ia berbeda.
***
Aku mulai mengenalinya dengan baik seperti ia mengenalku. Akhir-akhir ini aku pun lebih suka menghabiskan waktuku mendengarkan ceritanya dan lebih betah di dalam kelas, meskipun ia terus mengoceh tanpa bertanya apakah aku suka mendengarkan ceritanya atau tidak. Aku tetap berusaha untuk mendengarkannya. Aku lupa dengan cerita awal mengapa kami bisa seakrab ini, sebenarnya sederhana, kami sekelas, teman sebangku, sering berada dalam satu kelompok yang sama dan meskipun terdengar jahat, terkadang aku memanfaatkan kebaikannya dengan memintanya membantuku mencatat materi dari beberapa pelajaran yang tidak kusukai. Yah begitulah, meskipun keakraban kami tidak sepenuhnya berdasar pada kebaikan tetapi tetap saja aku senang. Semua buku catatanku yang kuberikan padanya pasti selalu ia kembalikan dengan namanya yang tertera dengan berbagai gaya tulisan dalam setiap buku catatanku. Ya, dia selalu melakukan banyak hal tanpa minta izin. ”Bukankah menurutmu namaku bagus?” belanya setiap kali aku memintanya berhenti menuliskan namanya. Waktu mengajarkanku untuk bisa memahami sikapnya. Aku mulai terbiasa dan sekarang aku punya kebiasaan lain selain nongkrong di kantin, yakni memperhatikan wajahnya. Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan karena ia memberiku ingatan fotografis sehingga aku bisa mengingat setiap detail peristiwa dengan baik. Matanya yang bulat, alis tipis, jidat yang lebar, bibir mungil, leher yang jenjang, rambut lurus hitam miliknya, hidung kecil miliknya yang mancung dengan wajah bulat yang dipercantik dengan pipinya yang cabi. Setiap detail wajahnya kurang lebih mampu kuingat dengan baik. Wanita ini sudah merebut kewarasanku. Ia bukanlah cinta dan pacar pertamaku, tetapi ia adalah wanita kedua setelah ibuku yang mampu membuatku merasa begitu nyaman dan ia adalah wanita yang mampu membuatku menerima hal-hal absurd dari sikap feminim ciptaan Tuhan yang satu ini.
***
Note, 3 November 2017||11.30 WIB
“Nia!” panggilku, ia berpaling ke arahku lalu datang dengan sikap manjanya, memberikan ikat rambut hitam miliknya dan memintaku untuk mengikat rambut hitam miliknya. Aku melakukannya, mengikuti arahan dari les kilat mengikat rambut yang ia ajarkan. “Mau tidak jadi pacarku?” tanyaku tanpa basa-basi. Ia menoleh, menatapku sejenak dengan wajah memerah yang tak mampu ia sembunyikan.
***
Note, 3 November 2017||23.50 WIB
“Hei! Ada pesan dari Nia” seru temanku yang sedari tadi mengambil alih handphone-ku, dan membiarkanku bergabung dalam gelak tawa bersama teman-temanku yang lain. Meskipun sudah terlalu larut untuk tertawa dan mungkin para tetangga sudah sejak tadi mengumpat dalam hati, mengutuki kami yang masih terjaga saat jam sudah menunjukkan pukul 23.50. “Nia? Tumben malam-malam begini” batinku. Itu hanyalah pesan singkat “Mau..” lalu ditutup dengan tanda titik dua dan tutup kurung. Itu adalah jawaban dari pertanyaanku siang tadi, setelah ia terburu-buru pergi dengan wajahnya yang memerah dan meninggalkanku yang mematung dengan pertanyaan yang masih menggantung.
***
Note, 3 November 2018||03.00 WIB
Sejak malam itu, malam dan hari-hariku dalam setahun yang lalu dalam setiap kisahku selalu ada nama wanita itu di dalamnya tanpa perlu izin seperti yang biasa ia lakukan. Ia selalu menghiburku dengan tawa khas miliknya, membuatku tertawa saat menatap wajahnya yang memerah setiap kali pipinya kukecup, menemaniku dengan bercanda via telepon saat malam tak mampu mengalahkan mataku dan kantuk tak kunjung menidurkanku, memaksaku untuk selalu pulang bersamanya, memaksaku untuk selalu membiarkannya menggandeng tanganku. Aku perlahan mulai menyukai hal-hal kecil seperti itu, apalagi jika ia berada dekat denganku, wangi rambutnya dan aroma tubuhnya terlalu memabukkan, suaranya selalu menghipnotis diriku untuk menurutinya, tatapannya selalu membuatku terpaku. Wanita ini membuatku kehilangan akal.
***
Note, 10 Maret 2020
Kata orang penyesalan selalu datang di akhir sebuah kisah. Di akhir kisahku, aku berteman dengan penyesalan. Jika bertemu dengan wanita itu lagi, aku ingin meminta maaf padanya sekalipun ia mungkin tidak ingin memaafkanku. Ia mungkin akan selalu menganggapku terlampau egois dengan pilihanku. Ia mungkin akan selamanya membenciku dan marah padaku. Aku berharap ia tidak keberatan jika aku selalu menyelipkan namanya dalam setiap doaku, mendoakan kebahagiaannya, meminta Tuhan untuk selalu menjaganya dengan menitipkan orang lain yang lebih baik padanya. Kini, wanita itu telah beranjak dari ruang dan waktuku, tidak, itu salah, akulah yang memilih utnuk pergi. Dulu, aku selalu punya alasan untuk menghabiskan waktuku bersamanya, alasan yang membuatku bahagia saat menatap mata wanita itu dan membuatnya tersipu. Aku telah terperosok jatuh dan selalu mencoba bangkit dengan mengais sisa-sisa kewarasanku tatkala bayangan wanita itu kembali. Kebisuan malam yang menyesakkan membuatku ragu-ragu dengan banyaknya udara yang masuk ke dalam paru-paruku, tetapi sungguh hati ini ingin berbicara. Aku merindukannya.
Aku hanya berharap wanita itu tak keberatan jika aku merindukannya. Jika ingin, ia juga bisa merindukanku. Namun itu tidak mungkin, siapa aku ini? Aku hanyalah pria egois di matanya sehingga tidak pantas ia rindukan. Malam ini,...ah tidak, pagi ini, saat jam sudah menunjuk pukul 04.30, aku berharap sang waktu mengasihaniku dan mau mengatur agar aku dapat bertemu dengannya lagi, aku ingin meminta maaf. Sampai saat itu tiba doa-doaku yang meminta kebahagiaan akan selalu tercurah pada Wanita itu.
Jika saja aku tahu akan sesakit ini rasanya, aku lebih memilih agar tidak punya hati sehingga diriku tidak usah merasakan apapun. Meski sakit aku akan tetap mengingatnya. Ya, akan selalu kuingat dan suatu hari nanti aku akan menceritakannya dalam hangatnya kerinduan. Suara Wanita itu terus bergema di dalam kepalaku yang sepertinya sudah tidak berakal. Malam selalu memaksaku mengenang wanita itu dalam setiap mimpi yang pernah kurajut, rindu terus bersenandung bersama angin malam membuatku terlempar ke dalam mimpi-mimpi indah masa lalu. Hei angin malam! Bisakkah kau mengantarkan rinduku kepada wanita itu, jika bisa, tolong ya!
Kerinduan menjadi candu bagiku. Penyesalan menjadi antidot bagi candu itu. Aku akan tetap menikmati malam kendati selalu dibungkam oleh kerinduan kepada wanita itu. Malam tak dapat mengalahkan mataku dan kantuk tak kuasa menidurkanku.
***
