Second Story

12 1 0
                                    

Senyuman itu, yang nampak bagai musim semi yang hadir di antara musim dingin, menghangatkan perasaan di kala bulir-bulir kristal es mencoba membekukan hati. Kau yang berdiri di antara kerumunan orang-orang yang hilir mudik tanpa henti itu, terlihat seperti setangkai bunga yang baru saja mekar, indah dan cantik. Juntaian mahkotamu yang dibiarkan bebas di udara begitu menggelitik tanganku untuk membelainya dengan lembut, namun aku menahannya.

Dapatkah kau bertanggung jawab atas apa yang telah kau lakukan pada jantungku yang berdegup sangat kencang ini? Seketika aku lupa cara bagaimana untuk menahan rasa yang kian membuncah ini. Aku takut, takut atas kontrol diriku yang mulai kembali goyah ketika wajahmu hadir dalam pandanganku. Aku khawatir, jika tanpa sadar kedua kakiku mulai bergerak di luar kesadaranku. Melangkah perlahan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi orang-orang hingga berlabuh pada wajah teduh itu. Dan ketika telah kuraih raga itu, aku malah kecewa dan melepaskan bulir-bulir air mata yang entah sejak kapan bersarang di sana.

Apa kau tau? Kau sungguh jahat saat ini, sungguh. Apa kau tau, apa yang kurasakan begitu menyakitkan, juga perih sekali. Kau bahkan tak akan pernah lagi merasakan apapun, kan? Aku mohon untuk kau pergi dari hadapanku maupun kehidupanku yang kian hambar ini. Jangan hanya berdiri di sana dengan senyummu itu! Dan jika kau bertanya, kenapa aku begitu kesal... bagaimana bisa aku bertahan tanpa keterbiasaanku yang dulu? Aku tau, perlu waktu untuk menerima kehilangan atas sesuatu yang pernah menjadi milikku.

Jadi kumohon, jangan lagi kau membuatku resah, kau sudah lebih bahagia tanpaku. Kau sudah tak merasa lelah karena bertahan untukku selama ini. Pergilah, tak ada lagi beban yang memberatkanmu. Biarkan aku yang menopang sisanya, hingga pada suatu hari nanti aku yang akan terbiasa tanpa kehadiranmu di sisiku.

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang