Prolog

188 13 0
                                    

Suara kaki yang menuruni tangga terdengar sangat kencang dan juga begitu cepat membuat sang bunda yang berada di lantai dasar merasa khawatir.

"Hati - hati kamu dek, kalau kenapa - napa nanti yang rasain kamu sendiri loh." Kata sang bunda setelah anak bungsunya itu sudah berada di lantai dasar. Yah yang tadi berlarian menuruni tangga itu si bungsu keluarga Son.

"Hehehe, tapi aku gak papa bundaaa. Jangan marah yah." Kata si bungsu sambil memeluk bundanya agar tidak lagi khawatir padanya.

"Yah kalau kamu kenapa - napa gak bakal bunda maafin. Lagian kamu ngapain sih lari - lari gitu tadi?" 

"Ih bunda kok gitu sih, aku tuh buru - buru turun karena hari ini tuh jagoan aku maen tahu bun."

"Jagoan kamu yang mana lagi dek? Kamu tuh ada - ada saja"

"Itu loh bun si Kak Jehan, atlet kesukaan aku. Hari ini dia maen buat partai final, makanya aku buru - buru biar bisa lebih dulu megang remot dari pada ayah."

"Haduh kamu ini, lagian kamu telat kalau mau rebutan remot sama ayahmu. Tuh, dia udah dari tadi di depan tv"

Sang Bunda menunjuk kearah ruang keluarga yang terisi seorang pria yang tengah menonton tv. Si bungsu mengikuti arah tunjuk sang bunda, dan benar sekarang dia tengah melihat sang ayah yang duduk dengan tv yang tengah menyiarkan sebuah berita. Memasang wajah kecewa dan kembali memandang sang bunda untuk meminta pertolongan.

"Semangat bujukin sih ayah, sayang." 

Sebuah usapan di kepalanya kini menjadi jawaban atas permintaanya kepada sang bunda. Dan setelah itu sang bunda berjalan meninggalkannya untuk kembali kedapur. Berjalan mendekat kearah ruang tengah dan mendudukkan diri disamping sang ayah. Pria disampingnya memiliki kepekaan yang sangat tinggi, kenapa? sebab kini pria itu sudah berbalik melihat putrinya yang kini duduk disampingnya.

"Eh anak ayah, udah beres belajarnya kamu??"

"Udah ayah,gak mungkin aku kesini kalau belum beres."

Sang ayah hanya mengangguk - anggukan kepala dan kembali menatap layar tv yang menyiarkan berita. Sedangkan si bungsu hanya dapat menghela nafas dan ikut menonton dengan setengah hati. Tapi tidak lama setelah itu, sang ayah menatap putrinya kembali. Perlu diakui kalau kepekaan ayahnya itu memang berada di atas rata rata. 

"Kenapa kamu dek? dari tadi ngehela nafas mulu. Helaan nafasmu ganggu fokus ayah."

"Ih ayaaah, aku tuh mau nonton pertandingan bulutangkis indonesia tahu. Tapi ayah nonton beritanya kayak gak mau diganggu."

"Halah kenapa gak bilang dari tadi kamu. Emang yang main siapa?? Si Purnama purnama itu yah."

"Kok ayah tahu sih, ayah ada bakat cenayang nih."

"Ayah hidup sama kamu itu gak satu tahun dua tahun, kamu itu semangat nontonnya kalau yang main itu Si Purnama itu."

"Iya deh ayah bener. Jadi Sakura bisa nontonkan Yah??"

"Boleh gak yah?? Bentar ayah pikir - piki dulu deh." Jawab sang ayah yang hendak menjahili sang putri.

"Ayahhh ihh. Boleh yah?? Ini partai final Yah, masa iya aku gak nontonin jagoan aku sih."

"Ya udah boleh. Tapi ingat jangan tidur kemalaman, inget besok kamu masih ada ujian loh."

"Iya ayah iya." Usapan di kepalanya kini di terima kembali disusul dengan remot yang diserahkan dari sang ayah. 

"Ayah mau kemana?? Gak mau nonton bareng sama aku ajah??"

"Gak, ayah gak mau dengerin teriakan kamu yang cempreng itu." 

Sepeninggalan sang ayah, Sakura atau si bungsu keluarga Son itu langsung saja mengganti channel tvnya menjadi channel yang menayangkan pertandingan sang idola. Untung saja pertandingannya belum mulai dan masih menayangkan dua orang moderator yang masih berbincang - bincang.

Seperti yang tadi sang ayah bilang, kini teriakan - teriakan Sakura terus terdengar selama pertandingan itu tengah ditayangkan. Baik itu saat sang idola mencetak rekor ataupun sang idola melakukan kesalahan. Setelah menghabiskan hampir satu jam menonton pertandingan menegangkan itu, Sakura berteriak kencang setelah akhirnya Jehan Purnama mengakhiri pertandingan dengan kemenangan19- 21, 21-16, 20- 22 atas sang lawan. 

"ADEK JANGAN TERIAK KENCENG - KENCENG INI UDAH MALEM, NANTI TETANGGANYA KEGANGGU."

Mendengar teriakan sang bunda membuat Sakura tersadar. Mengambil bantal di sampingnya  dan menggigitnya untuk meredam teriakan. Kini akhirnya Sakura kembali fokus pada tv yang menyorot Jehan yang tengah berjabat tangan dengan sang umpire dan mengambil beberapa foto dengan pose yang tengah mencium bendera merah putih yang ada pada jerseynya. Satu hal yang selalu membuat Sakura salah fokus saat  kamera menyoroti sang idola yang kini bersiap untuk meninggalkan lapangan. Kalung yang dikenakan sang idola, kalung dengan bandul salib yang menjelaskan perbedaan yang dia dan sang idola. Sakura tidak munafik, dia memang kadang berangan - angan dapat bersanding dengan sang idola. Tapi perbedaan yang dimiliki keduanya cukup membuatnya tertampar dan sadar.

"Ya Allah pengen Kak Jehan yang versi seiman." Ucap Sakura yang tengah menatap layar tv yang menampilkan Jehan Purnama yang menerima medali emasnya di atas podium.

S+ || Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang