Ella tahu kalau di dunia ini ia hanyalah sebuah kelinci percobaan. Tidak, pernyataan ini tidak salah. Dua minggu lalu salah satu teman homeschoolingnya—lia menemukan ella terpojok di sudut kamar dengan keadaan kedua lengannya bersimbah darah. Gadis itu tidak memberikan ekspresi sedih ataupun merintih kesakitan. Sorot matanya kosong. Lia yang memang saat itu sudah pucat pasi serta memiliki panic attack memutuskan untuk segera meminta bantuan pada sang Supir dan membawa Ella ke rumah sakit siang itu juga.
Tangannya di jahit, pada bagian lengan kiri, Ella mendapat luka jahit luar-dalam sekitar dua belas jahitan, sedangkan pada bagian lengan kanan hanya 2 jahitan saja. Saat lia bertanya apa yang terjadi. Ella hanya menjawab
Tidak apa-apa
Dan pastinya lia tidak percaya, seperti sekarang ini. Sudah lebih dari sepuluh panggilan ia tolak tanpa mengangkat satu panggilan apapun dari lia. Ella mendesah lelah, menggeser tombol merah ke atas saat panggilan masuk, lalu kembali fokus pada buku yang ashel berikan beberapa menit lalu sebelum ia menginjakkan kaki di taman.
gadis itu baru saja mendapat tugas darinya, wanita itu meminta Ella untuk menuliskan hal-hal apa atau peristiwa apa saja yang sudah terjadi selama seminggu terakhir. Harus bisa memuat dua halaman untuk satu hari. Tentu saja Ella belum terbiasa dengan hal seperti ini. Ia cenderung memendam di banding mengutarakan. Sebab menurutnya, bercerita dengan orang asing hanya akan memperparah rasa takut.
Handphone Ella kembali berdering, menampilkan nama pemanggil yang tak lain adalah lia. Jengah, Ella terpaksa menerima satu panggilan darinya. Gadis itu berharap percakapan ini tidak terlalu panjang seperti malam tadi.
"Halo, la. Lo dimana? Gue tadi kerumah lo tapi kata bibi lo lagi keluar. Hari ini ada jadwal sesi konsul ya? Lo udah makan belum? Mau gue jemput apa gimana? Atau lo mau pesen makan nanti gue bayar. Gue ma—" belum juga lia menyelesaikan pembicaraan, Ella langsung mematikan telpon sepihak. Terlalu banyak rentetan pertanyaan yang lia lontarkan, membuat kepala ella pusing setengah mati.
Lagi, benda pipih itu berdering, kali ini bukan teror telpon yang Ella terima, melainkan spam chat dari lia. Gadis itu mampu melihat rentetan pesan masuk secara bergulir memenuhi layar utama handphone-nya. Alih-alih membaca atau sekedar menghapus beberapa pesan masuk—karena mampu membuat handphone Ella lag. Ia malah membiarkan rentetan pesan masuk berbunyi, menemani kesunyian di taman.
10 menit berlalu, Ella masih setia dengan posisinya. Pena pemberian ashel ia ketukkan pada ujung buku, mencoba mengingat kejadian apa yang sudah terjadi dalam seminggu terakhir. Sebenarnya Ella tidak lupa dengan kegiatan-kegiatan harian. Hanya saja ia memilah hal apa yang pantas di tulis di buku ini, mengingat bahwa seminggu lalu bukanlah hal menyenangkan untuk kembali ia kenang.
Juli, 01 2022
Pagi ini saya bangun pagi, gosok gigi, makan, sekolah, tidur selesaiTerlalu klise, menurut Ella
Juli, 01 2022
Apa ye gue kagak tau mo nulis apaan kata kata gue kagak lugas masalahnye jan ngasih beban hidup lahElla mengernyit, menggeleng kuat-kuat. Tulisan ini lebih parah dari sebelumnya.
Dua lembar kertas telah terbuang sia-sia, Ella menggaruk kepala, seharusnya ia tidak menolak tawaran ashel tadi.
***
"Ella, disini ada dua pilihan yang bisa kamu pilih." Ashel menaruh dua benda di hadapan Ella. "Kamu bisa memilih buku atau kanvas ini. Semua yang kamu pilih memiliki konsekuensinya tersendiri." Ella terdiam, gadis itu kembali mencoba mencerna kalimat dari wanita di hadapannya ini. Semua yang kamu pilih memiliki konsekuensi tersendiri. Apa maksud dari kalimat ini? Ella sama sekali tidak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterflies
Teen FictionKita tidak pernah tau apa yang orang orang sembunyikan dalam raga rapuh mereka. Kita hanya bisa berkata tanpa memikirkan seberapa hebat dan kuatnya mereka menjalani kehidupan. Ini tentang Ella. Gadis usia belasan yang selalu berdoa untuk terus diku...