Adalah Ella yang masih terkulai lemas di atas kasur, ia sudah bangun. Sebenarnya, hanya saja ia sedang membenak tentang kejadian baru-baru ini. Malam tadi adalah malam dimana ia harus ikut campur dalam pertengkaran kedua orang tuanya, karena Lagi-lagi ia kembali mendapati sang papa sedang bercumbu mesra di kamar dengan wanita yang tidak ia kenali. Ini bukan sekali dua kali, berkali-kali. Bahkan ia juga sudah memarahi sang papa untuk berhenti bermain wanita jika masih mau melihat dirinya dan mama di rumah. Tapi apalah, di beri tahu pun tidak akan membuat efek jera dan akan terus berbuat seperti itu.
Ella menyeka mata, mengusap bekas air mata di pipi. Ia menangis. Semenjak perusahaan papa naik setahun terakhir, sikap terhadap istri dan anak pun berubah drastis. Menjadi sosok yang selalu pulang dalam keadaan mabuk. Perokok berat, bahkan bermain wanita. Sudah sering juga ia melihat papa pulang dari club malam di bantu oleh salah satu wanita bayaran disana.
Dan yang membuat gadis itu semakin sakit adalah wanita paruh baya yang sibuk dengan bisnisnya—atau Ella menyebut sebagai mama—selalu memaki, memarahi, atau memukul Ella kalau ia tidak memihak kepadanya.
Hal itulah yang membuatnya menangis semalam, sekuat apapun ia meminta maaf kepada mama, sekuat apapun ia menahan sakit ketika papa memukulnya tanpa sadar menjadi pelampiasan hebat di kala stress melanda. Ia tetap salah, di mata kedua orang tua Ella. Ia selalu salah.
Ella menggeliat sebentar, mengumpulkan segala niat sebelum bertarung dengan kenyataan, netranya menatap lurus ke langit-langit kamar, pikiran melanglang buana kemana-mana. Lagi-lagi keadaan selalu menjebaknya seperti ini.
Gadis itu melirik ke arah jam weaker, melihat jam berapa sekarang. 08.00 pagi, begitulah yang terbaca pada jam tua itu. Ella mendesis, setengah jam lagi kelas mulai dan ia belum kunjung mempersiapkan diri. Dengan malas, la beranjak dari kasur, menyeret tubuh tersebut kedalam kamar mandi—meskipun separuh nyawa masih ada di kasur—mengambil handuk, melewati tumpukan buku yang belum ia bereskan malam tadi. Menendang beberapa, tidak peduli rusak atau hilang entah kemana.
Cahaya matahari pagi menyemburat indah. Menimpa genteng-genteng rumah kompleks, memberikan guratan menakjubkan di setiap semburatnya, Malu-malu, selarik cahaya mentari menerobos masuk ke jendela kamar ella. Membuat garis di atas buku catatan bersampul ungu, indah. Anjing milik amanda—ketua geng motor di kompleksnya—menggonggong nyaring, membuat siapa saja yang mendengarkannya. Akan memiliki keinginan untuk membanting, melempar, bungkam, atau memindahkan anjing tersebut ketempat lebih layak di banding kompleks, berisik sekali. Sementara itu, embun pagi menggelayut lembut di atas pucuk-pucuk rumput liar halaman rumah.
Ella keluar dengan wajah yang lebih fresh, kulit putih Cerah bersinar mengalahkan handuk putih yang sedang ia kenakan. Buru-buru berganti pakaian. Kali ini pakaiannya sedikit berwarna. Tidak senada kayak kemarin. Hitam-hitam, seperti mau melayat saja.
Merasa semua barang sudah masuk kedalam tas. Berpakaian rapi—jaket bomber hijau dengan celana hitam panjang—Ella bergegas menuju bingkai pintu kamar. Saat hendak membuka kenop pintu. Ella teringat sesuatu. Buru-buru ia berjalan ke arah meja belajar yang tak jauh dari sana.
"Nah ini." Kembali menuju pintu, tanpa ragu ia langsung keluar, Menghiraukan puluhan botol bir seperti vodka, whiskey, tequila, wine, tergeletak di ruang tamu. Bau pekat alkohol di sudut-sudut ruang mampu membuat Ella berdecak kesal saat melihat lelaki paruh baya dengan kemeja putih lusuh, dasi yang mengikat kepala—menjadi headband—nafas bau alkohol, mata merah setengah terbuka, iler membasahi kedua pipi. jorok! tergeletak bak ikan di kolam tak berair, tidak sadarkan diri. Alih-alih ada inisiatif untuk membangunkan sang papa. Ella malah membiarkannya begitu saja. Siapa suruh, sudah membuat gadis itu hilang percaya.****
Jam menunjukkan pukul 9.30 Ella masih ada di dalam mobil, jalanan pagi ini macet sekali. Ratusan kendaraan roda dua pun empat saling bersahut-sahutan klason. Tidak mau mengalah memberikan jalan untuk pengendara lain. Begitu pun supir ella, bang jijel. Sedari tadi, ia memaki-maki pada seorang pria pengemudi kendaraan motor di depannya, yang tidak kunjung jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterflies
Teen FictionKita tidak pernah tau apa yang orang orang sembunyikan dalam raga rapuh mereka. Kita hanya bisa berkata tanpa memikirkan seberapa hebat dan kuatnya mereka menjalani kehidupan. Ini tentang Ella. Gadis usia belasan yang selalu berdoa untuk terus diku...