Prolog

974 52 0
                                    

Disclaimer:
Halo, saya selaku author dari butterflies ingin memberitahu tahu bahwa apa yang saya tulis disini adalah fiksi. Semua kesamaan tempat, dan juga peristiwa merupakan suatu kebetulan belaka. Dan saya juga ingin memberitahu untuk tidak membawa hal ini ke dunia nyata dengan membuat seolah-olah tokoh utama ada dan terjadi atau Sampai membuat pihak yang bersangkutan merasa tidak nyaman.
Bijaklah dalam membaca dan menelaah setiap kata yang saya tulis. Karena sesungguhnya ada guratan makna di sana
Selamat membaca.
Sedikit Info, kalaupun ada yang "bandel" memasukan part disturbing, ke beberapa media sosial dengan mohon maaf saya akan merombak semua cerita ini dan meng-unpublish cerita ini secara menyeluruh. Terima kasih
-Geef

••••••••••

Rentetan aksara telah bersua

Diantara tulang iga

Di sela-sela rongga, terdapat luka yang masih betul-betul menganga

Atma berjalan tanpa arah, menelusuri kehidupan-kehidupan nyata disana

Semilir angin bertiup dari selatan, bernyanyi dalam elegi kesunyian yang membara

Gadis itu terdiam sejenak, benda pipih yang sedari tadi berdering tidak membuat atensinya terganggu. Ia masih fokus pada beberapa lembar kertas di tangan. Menyingkap bagian ujung kertas yang terlihat kusut agar tulisannya mampu ia baca dengan sempurna.

Kemudian ia berjalan pelan, menuju kursi piano, tangan kanan memegang selembar kertas berisi deretan aksara. Lalu, ia menaruh lembaran kertas itu di antara buku partitur. Membiarkannya membaur bersama barisan not balok serta kunci-kunci rumit disana.

Dalam keheningan ia menangis

Meratapi kehidupannya yang miris

Air mata terselimuti oleh rintik-rintik gerimis

Tapi tak mampu menutupi rasa sakit yang semakin hari semakin teriris

Pelan, ia membuka halaman per halaman buku partitur itu. Mencari lagu apa yang pantas ia bawakan saat suasana hujan seperti ini. Di rasa sudah menemukan lagu yang cocok dengan suasana sekitar, jari jemarinya mulai menekan tuts piano, dengan teliti, kedua bola matanya terlihat awas menangkap pergerakan tangga nada di setiap baris, seolah tidak boleh ada satu nada meleset begitu saja.

Lalu ia mengadu pada semesta

Bercerita bagaimana ia berbaur dalam kecewa

Bagaimana ketakutan menjadi ancaman pertama

Bagaimana ia tumbuh bersama derita.

Angan-angannya liar, meraung-raung mencari kebebasan

Kumpulan dawai bergetar saat martil dari tuts piano menghantarkan ribuan nada, jari-jemari itu terlihat lihai, matanya awas melihat pergerakan tangga nada. Suasana sekitar menjadi sendu, entah apa yang gadis ini pikirkan. ia membawa lagu melankolis membuat siapapun yang mendengarkannya akan larut dalam perasaan sedih, perasaan sakit, kecewa, hingga membuat kita terjatuh pada pilihan terakhir.

Pembawaan melankolis berhasil membuat jari jemarinya sedikit bergetar, rasa sakit menjalar keseluruh dada hingga membuat nafasnya sesak, ia ingin berhenti untuk sekedar menenangkan diri, tapi terlambat. Lagu ini sudah berada di tengah-tengah. Mustahil jika ia menghancurkan suasana sendu dengan alasan menenangkan diri. Maka terpaksa ia melanjutkan jari-jari kecil itu untuk terus menari di atas tuts piano.

Lihatlah, wahai.

Ia terlalu lemah untuk sebuah manusia

Terlalu rapuh untuk menghadapi cobaan

Terlalu retak untuk bertahan dari berbagai ancaman

Ia terlalu lemah untuk apapun di dunia.

Akord menyentuh lembut kunci, menghasilkan emosi manusia yang murni tanpa hambatan, gadis itu memainkan seluruh nada, berhasil menyelesaikan satu lagu. kini matanya tidak lagi terpaku pada partitur, atensinya ia alihkan pada lembaran kertas di sebelah. Desahan lelah terdengar ketika ia mulai membuka lembaran baru kertas tersebut. Ia tatap dengan datar barisan aksara yang tak lebih dari tiga baris itu. Bibirnya bergerak, mengeja perlahan dengan suara lemah

Ia berharap ini mimpi

Tapi jika ini bukan mimpi

Maka ia memilih untuk terus berada dalam mimpi itu walau menakutkan.

Butterflies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang