1. Why Me?

5 0 0
                                    

Bau obat-obatan begitu menyengat indra penciumannya. Jarum infus tertancap indah di tangan sebelah kanannya. Tak lupa banyaknya lilitan perban di sekujur tubuhnya. Entah sudah berapa banyak juga luka-lukanya yang harus mendapatkan jahitan. Gadis ini apa tidak menjerit kesakitan ketika diperlakukan seperti itu. Entahlah jiwa yang sedang berada di dalam tubuh gadis itu pun juga terheran-heran, apa tidak ada manusia yang mendengarkan teriakan gadis ini apa ya?

Dari kejauhan ibunya sedang sibuk mengetik di macbooknya, bukannya tidak perduli dengan kondisi putri semata wayangnya itu, namun pekerjaannya membuat dia harus tetap pada jalurnya. Ah lelah kadang, harus bertugas seperti ini. Mau bagaimana lagi, saat ini hanya ada dirinya sendiri. Meski tadi juga sudah menghubungi suami tercintanya yang sedang dinas di luar negeri. Tapi ketahuilah, dalam hatinya, dia mengutuk siapapun yang berbuat seperti itu pada putri cantiknya.

Gadis cantik itu masih tetap tertidur tanpa mau membuka matanya. Padahal sudah seharian dia belum bangun dari tidurnya. Mungkin raganya sedang berdiskusi dengan raga aslinya. Ya, memang benar. Saat ini Adelyn sedang berbicara dengan raganya Emily.

"Hai, Adelyn. Aku Emily." Sapa gadis cantik di hadapan Adelyn. Emily duduk manis di kursi berwarna putih dengan gaun berwarna senada dengan kursinya.

"Ini kenapa bisa aku terdampar di tubuhmu heh?" Adelyn belum apa-apa sudah mencak-mencak. Emily tertawa kecil mendengar ocehan Adelyn.

"Jangan tanya aku, aku juga tidak tahu Ady." Emily menundukan kepalanya, dia bingung harus seperti apa menjelaskannya, karena ini bukan keinginannya juga.

"Jangan sampe thesis aku gak kelar nih ya. Sayang banget anjir kuliah S2 capek-capek terus kudu ngulangin lagi." Adelyn terus saja mendumel ngalor ngidul.

"Maaf Ady, aku sungguh minta maaf, aku tidak bermaksud seperti itu."

Adelyn yang mendapatkan tatapan penuh penyesalan itu hanya bisa mendesah pasrah. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena mungkin kehendakNya. Mau diapakan lagi.

"Terus ini gimana? Kamu mau aku bagaimana? Balas dendam sama yang udah memperlakukan kamu kayak gini?" Adelyn merasa canggung karena harus berbicara menggunakan aku-kamu. "Duh bentar ubah dulu, gak enak banget gue ngomongnya pake aku-kamu." Adelyn mendudukan dirinya di samping Emily.

Emily tertawa renyah mendengar keluhan Adelyn. "Senyamannya kamu aja Ady, aku hanya merasa sungkan kalau harus memanggilmu seperti itu. Secara kamu lebih tua daripada aku. Masa aku gak sopan gitu, udah jadi arwah begini masa songong."

"Bentar, ini gue juga jadi arwah heh kalo lu lupa." Adelyn berkacak pinggang tidak terima dengan ungkapan Emily.

"Dah, jadi lu jawab dulu pertanyaan gue tadi."

"Ady, aku gak pernah benci pada mereka yang sudah memperlakukan aku seperti ini, aku juga gak berhak meminta kamu untuk membalas dendam atau apapun itu, namun mungkin kamu bisa membantuku untuk meluruskan kesalah pahaman mereka Ady, mereka selalu mengira aku ini adalah orang yang membutuhkan perhatian lebih. Padahal aku terbiasa dengan itu semua, aku tidak terlalu membutuhkan bantuan orang lain, malah orang-orang yang membantuku itu ya membantu tanpa ku minta..."

"Dah dah, paham gue maksud lu gimana." Potong Adelyn cepat. "Tapi ini gimana gue balik lagi ke tubuh asli gue. Bentar gue manggil lu siapa?"

"Panggil saja aku Emy. Sepertinya pertemuan kita ini adalah yang pertama dan terakhir. Tolong gunakan kesempatan ini sebaik mungkin ya Ady." Emy tersenyum manis pada Adelyn.

"Eh ya kali ini pertama dan terakhir, lu cantik kenapa mesti diginiin sih sama orang-orang."

"Terkadang hidup ya memang seperti itu Ady, aku harap kamu bisa terus melanjutkan kehidupanmu yang sekarang ya. Dan kamu bisa menemukan kebahagiaan tertundamu dulu. Lebih baik sekarang kamu lupakan kenangan di kehidupanmu yang dulu. Dan hadapi hidupmu sekarang, aku titip Mama ya. Dia orang yang sangat emosional. Apalagi Papa."

"Gue boleh bilang kalo ini bukan lagi Emy gak?"

"Boleh, tapi coba pelan-pelan ya ngasih taunya, aku takut mereka tidak bisa menerima kenyataan." Emily menggengam tangan Adelyn.

"Gue rasa nyokap bokap lu orang yang rasional." Adelyn yang merasakan tangannya digenggam melihat ke arah tangannya sendiri.

"Perpindahan jiwa ini tidak rasional Ady."

"Iya juga sih, yasudahlah lihat nanti saja." Dan Adelyn tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Kalau begitu, aku pergi dulu ya." Emily berdiri dari duduknya.

"Bentar, kasih gue clue dulu, gue deket sama siapa aja di sekolah?" Adelyn menahan tangan Emily sesaat. Emily pun menghentikan langkahnya.

"Kalau perempuan hanya ada Lavina Marsha, sama Naraya Zena. Kalau laki-laki, nanti juga kamu ketemu." Emily tersenyum manis dan mulai berjalan menjauh dari Adelyn.

"Jangan bilang lu tukang maen sama banyak cowok lagi."

"Enak aja."

Dan menghilanglah Emily dari hadapan Adelyn. Tidak bisa  dipikirkan dengan rasional, kenapa dirinya yang harus mendapatkan musibah seperti ini. Tunggu, apakah ini musibah atau berkah? Lalu bagaimana kabarnya tubuh aslinya? Kan gak lucu kalo ditemukan tewas di dalam kamarnya dalam keadaan tertidur bukan?

Sudahlah, jangan dipikirkan lagi, ingat apa kata-kata Emily, let's enjoy this second change of life. Nggak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama bukan? Jadi mari maksimalkan kesempatan yang ada.

Emily membuka matanya secara perlahan, menyesuaikan indra penglihatannya dengan pencahayaan yang ada di hadapannya saat ini. Oh gelap, sepertinya ini sudah malam.

"Mah..." Emily memanggil Mamanya yang mungkin ada di sekitarnya.

Mama Emily langsung terbangun saat mendengar Emily memanggilnya, ya dia terjaga semalaman ini. Padahal matanya baru saja tertutup lima menit yang lalu sepertinya. Dan suaminya pun juga ikut terbangun.

"Hei sayang." Sapa kedua orang tua Emily bersamaan.

"Oh, Papah juga ada." Emily berusaha untuk bangkit, dan dibantu oleh Papanya.

Mama memberikan segelas air putih untuk diminumnya.

"Kamu kenapa bisa begini sih nak?" Tanya sang Papa sambil membantunya duduk.

"Emy juga tidak tahu Pah, tahu-tahu Emy terbangun sudah seperti ini." Ya Emily atau Adelyn benar-benar tidak tahu kenapa dirinya bisa jadi seperti ini. Karena terbangun sudah penuh dengan luka begini. Gimana bisa tahu dia tuh kenapa coba.

"Kamu benar-benar tidak tahu siapa pelakunya nak?" Mama berusaha mengorek kembali informasi dari putri kesayangannya ini.

"Beneran Ma, Emy gak bohong. Lebih baik sekarang fokus saja dulu sama pemulihanku Ma. Aku janji akan lebih berhati-hati lagi." Emily berusaha untuk menenangkan hati Mama dan Papanya. Siapa yang bisa tenang melihat anak sendiri terus tertidur selama dua hari dua malam. Bangun tidur malah lupa apa yang sebenarnya terjadi padanya.

"Yasudah, kalau begitu kamu lanjutkan dulu istirahatnya. Supaya besok bisa langsung pulang ke rumah. Oke?" Papa mengelus lembut puncak kepala Emily dengan penuh sayang.

"Iya Pah, aku lanjut tidur lagi ya." Emily pun merebahkan dirinya kembali dengan dibantu oleh Papanya. Dan mata cantiknya pun terpejam kembali.

Papa dan Mamanya kembali lagi ke sofa bed yang tersedia di kamar tersebut, sedikitnya rasa khawatir mereka tentang kapan putrinya terbangun sudah terjawab sekarang. Setidaknya Papa memutuskan untuk pulang lebih cepat, dan meninggalkan pekerjaannya yang seharusnya segera diselesaikan. Tapi biarkan saja, ada asistennya jadi dia bisa meminta bantuan asistennya untuk menghandle pekerjaannya sekarang. Yang paling penting baginya saat ini adalah keselamatan putri tunggalnya. Mungkin bisa dibilang Papa lalai, tapi mereka bisa apa kalau pemilik perusahaan yang melakukan itu? Mau tidak mendapatkan tambahan pendapatan karena menolak tugas?

‐-----------------------------------------------------------------------------------------

Hallo....

Yash, akhirnya selesai juga untuk bab pertama. Gimana? Suka? Aneh? Iya sih kayaknya aneh, tapi semoga kalian suka ya. ☺️

Jangan lupa tinggalkan komentar kalian ya. Terima sayang dari para pembacaku ♥️

I'm not EmyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang