Aryandara Eza Subagio

127 18 1
                                    

Dengan sangat hati-hati, dibukanya amplop yang baru saja Tisha terima dari cowok yang bernama Arka. Setelah amplop itu terbuka, di keluarkannya kertas yang ada di dalamnya, lalu membuka perlahan dan sangat hati-hati. Seolah kertas itu merupakan barang antik yang telah berumur puluhan tahun yang akan sobek hanya dengan gerakan kecil.

Kertas itu berisikan sebuah surat. Surat dengan tulisan tangan Arya.

Maaf... Seandainya aku masih bisa menyimpan air matamu... menghentikannya oleh dekapan hangatku... Merengkuh tubuhmu dan memelukmu erat... Seandainya aku masih bisa, tak akan kulepaskan kamu. Memohon padamu untuk mengijinkanku tertidur sejenak dalam pangkuanmu.. Hanya saja aku tak lagi bisa! Aku tak lagi mampu! Sulitkah bagimu untuk membiarkanku menghilang sejenak? Aku tak akan pergi, hanya saja aku yang tak mampu hentikan waktu untukmu... Maaf juga atas air mata mutiaramu yang kubiarkan terjatuh.. Dan ku mohon, kau harus bahagia untukku... Bahagia bersama seorang pangeran yang ku kirimkan untukmu...

-Aryandara-

Tisha terkekeh ketika selesai membaca isi surat itu, namun air matanya juga nyaris tumpah. "Bodoh! Apa ia mencoba untuk membuat kata-kata romantis? Kata-katanya jelek sekali." Ujar Tisha mencemooh.

Ia mencoba mengingat masa itu. Saat ia meminta Arya membuatkannya puisi atau sekedar kata-kata romantis, namun Arya menolak. Karena ia memang payah dalam hal merangkai kata-kata.

"Tunggu, tapi apa maksudnya dengan pangeran? Apa ia menyuruhku mencari pangeran lain untuk menggantikannya? Itu tidak akan." Tisha menatap lekat pada secarik kertas itu. Di dekapnya kertas itu. "Ini akan menjadi surat teromantis yang pernah aku terima. Terima kasih Arya." Ujarnya lembut, ia memejamkan matanya dan seketika itu juga ia bisa melihat Arya, sedang tersenyum senang padanya membuat Tisha perlahan juga tersenyum, seolah sedang membalasnya.

***

"Hai Arya. Terima kasih untuk suratnya, aku akan anggap surat itu sebagai surat dengan kata-kata teromantis." Tisha terkekeh seraya memandangi pusara Arya. Ia kini sudah berada di pemakaman umum tempat Arya dimakamkan.

Lalu tak lama ia menunduk. Bingung harus bercerita dari mana. "Aku bingung Ya.. kemarin aku bertemu seseorang, seseorang yang memberikan surat itu padaku, ia bernama Arka. Tapi aku tidak mengerti, siapa sebenarnya Arka? Dan kenapa ia sungguh mirip denganmu?" ia semakin menunduk dalam. Matanya mulai berkaca-kaca lalu menghembuskan nafasnya dengan gusar.

Hampir semalaman ia memikirkan seseorang yang bernama Arka itu. Bagaimana bisa ada orang yang sungguh mirip dengan Arya? Ia tahu, di dunia ini memang ada orang yang wajahnya serupa. Tapi, apa dunia sudah terlalu sempit untuk itu? Sehingga ia bisa bertemu dengan orang yang mirip dengan Arya?

Mereka seperti... kembar.

Tapi itu rasanya tidak mungkin, bahkan ia tak pernah mendengar Arya memiliki saudara kembar. Tisha terus berkecamuk dengan pikirannya, sementara dari kejauhan, ada seorang cowok yang memperhatikannya dengan serius. Mengunci tatapan pada satu titik itu. Hatinya terasa sakit setiap kali menatap buliran-buliran bening itu jatuh dari mata bening gadis itu. Ia dapat merasakan rasa sakit yang di alami gadis itu. Bahkan jauh lebih sakit. Hanya saja ia tak bisa menangis.

"Apakah ia selalu datang kemari?" tanya cowok itu pada seorang kakek yang menjaga pemakaman.

"Setiap hari." Jawab kakek itu singkat. Seolah telah jenuh menatap wajah gadis itu setiap hari.

Cowok itu mengangguk mengerti. Lalu ia beranjak dari tempat semulanya dan berniat menghampiri gadis itu.

"Hei berhentilah menangisi sesuatu yang tak bisa kembali." Ujarnya tegas saat sudah berada di belakang gadis itu.

Tisha menoleh. "Kau?! Kau yang bernama Arka itu bukan?" ujar Tisha tak percaya.

Ya, cowok itu adalah Arka!

Arka hanya tersenyum tipis. Ia memasukkan salah satu lengannya yang diperban ke dalam saku celananya. Lalu ia berjalan menuju sisi lain dari pusara Arya. "Sepertinya ingatanmu bagus juga." Ia terkekeh.

Tisha hanya menatap tajam. Kini ia dapat melihat wajah cowok itu dengan jelas di bawah pancaran sinar mentari. Rambutnya yang berantakan justru memberikan efek yang membuatnya semakin terlihat keren. Di tambah lagi dengan iris mata gelapnya yang berubah saat terpapar sinar matahari. "Bagaimana tidak, wajahmu sangat serupa dengan wajah Arya!" ucapnya tertahan. Mencoba menyingkirkan segala khayalan tentang Arya pada cowok itu. Lalu ia menunduk, menatap makam Arya.

Arka hanya memasang raut tak suka. "Kau tau, kau adalah gadis terbodoh yang pernah ku temui." Ujarnya Sinis.

Tisha mendongak, tatapannya semakin tajam pada cowok itu.

"Kau itu hanya membuang waktumu! Untuk apa kau setiap hari kemari, dan menangis di depan makamnya?!! Apa menurutmu itu akan membuatnya kembali?!" tanya Arka tajam.

Tisha hanya menatap cowok itu geram. "Kau tak akan pernah mengerti perasaanku! Ia kekasihku, bagaimana bisa aku tidak menangisinya, hah?!!"

Arka menatap gadis itu intens, mencoba menerka pancaran sinar matanya yang nampak kecoklatan di bawah sinar mentari. "Aku mengerti."

"Mengerti apa? Bahkan kau tak mengenalku, dan kita baru bertemu dua kali! Apa yang kau mengerti tentang perasaanku hah?!! Tentang perasaan kehilanganku!" Emosi Tisha mulai terpancing. Kini pandangannya telah berubah pada cowok di hadapannya. Ia tak seperti Arya!

"Aku mengerti. Aku pun mengalaminya! Jauh lebih besar! Tapi kau terlalu bodoh, ia hanyalah masa lalumu!!!" Teriak Arka.

Mata Tisha mulai memerah. Wajahnya pun memanas menahan emosi. "Cukup! Sampai kapan pun kau tak akan mengerti!" ujar Tisha seraya memandangnya tajam. "Arya tetaplah Arya! Ia akan tetap menjadi kekasihku! Tak peduli ia sudah tiada! Aku mempunyai hak untuk datang kemari setiap hari, dan itu sama sekali bukan urusanmu!" teriak Tisha tegas. Lalu ia beranjak dan pergi menjauh dari Arka.

Dia pikir siapa dia? Tak ada siapa pun yang dapat menghalangi Tisha untuk datang ke makam Arya kapan pun ia mau. Dan apa yang dia ketahui tentang perasaan seorang gadis yang di tinggal pergi kekasihnya? Tidak. Dia tidak mengetahui dan mengerti apa pun!

Tisha berlari meninggalkan Arka, setelah beberapa langkah Tisha berlari, Arka berteriak pada gadis itu. "Ingat, kau tak bisa terus hidup dalam masa lalumu!"

Kata-kata itu sempat membuat Tisha berhenti sejenak. Namun ia tak menoleh, hanya diam menyeka air matanya, lalu kembali berlari.

Sementara Arka masih diam di tempatnya. Memandangi punggung gadis itu dan membayangkan buliran-buliran bening itu mulai terbit di kedua mata coklatnya dan itu semua karenanya. Jika ia bisa, ia ingin sekali mengejar gadis itu, menariknya dalam dekapannya, membenamkan kepalanya dalam dada bidangnya, menyimpan segala air mata itu dan membiarkan dirinya, cukup dirinya sendiri saja yang tenggelam di dalam air mata itu. Tapi ia tak bisa.

Ia hanya menunduk dan menatap pusara Arya. "Aku menyakitinya, Ya. Aku menyakitinya. Dan sampai kapan pun aku tak akan bisa menjaganya, seperti yang kau mau." Ia bergumam pelan pada makam Arya. Ia semakin menunduk dalam. 

***

We're with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang