Sewaktu Hasan baru saja masuk TK, ada satu pertanyaan dari Ibu Guru yang membuat Hasan penasaran setengah mati sampai rumah.
Waktu itu adalah minggu pertama Hasan masuk taman kanak-kanak, di mana Ibu Guru masih belum menghapal semua nama mereka. Ibu Guru memanggil nama mereka satu persatu, sesekali akan bertanya ketika ia menemukan beberapa nama unik yang tidak dapat ia tebak artinya. Hasan juga ditanya, yang membuatnya hanya mampu terpelongo kebingungan sebab Hasan nggak pernah tahu kalau nama manusia itu punya artinya masing-masing.
Dalam empat tahun sekian bulan hidupnya, yang Hasan tahu fungsi dari nama adalah agar memudahkan seseorang untuk memanggil, untuk membedakan antara dia dan Reyhan, atau Reyhan dan Nanda, atau Nanda dan Juang supaya Ibu Guru nggak salah memanggil. Kalau untuk Gigi, Karin, dan Susan kan tidak mungkin tertukar, soalnya mereka perempuan.
Tapi kata Ibu Guru, nama itu adalah doa. Yang berarti, di dalam nama yang mereka miliki, terselip doa-doa yang diharapkan si pembuat nama agar si pemilik nama tumbuh menjadi sosok yang mewaliki arti dari nama yang mereka miliki. Hasan jadi ingin tahu, doa apa yang Papa dan Mama berikan di namanya. Doa apa yang terdapat dalam nama Hasanuddin Juniar miliknya.
Jadilah ketika Hasan sampai di depan pagar rumah, yang ia lakukan adalah lari sekencang mungkin, kemudian mencari tanda-tanda di mana Mama berada. Menghiraukan sepatunya yang belum dilepas, yang mungkin ketika Mama melihat itu, bukannya mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Hasan malah akan mendapatkan sebuah tanda sayang merah merona di pantat, cubitan maut dari Mama.
Tapi Hasan nggak peduli. Rasa penasarannya memang sebesar itu, dan yang Hasan dengar, kalau Mama dan Papa marah, atau orang lain memarahinya, itu artinya tanda sayang. Sebuah cubitan maut dari Mama nggak berarti apa-apa buat anak hampir lima tahun itu, kan tanda sayang pikirnya.
Hasan melirik jam dinding ketika ia sampai di ruang keluarga. Pukul dua belas siang, biasanya di jam segini Mama sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan siang. Lantas Hasan lari terbirit-birit menuju lantai dua, akibatnya ia hampir tergelincir. Tapi tidak apa-apa, masih hampir doang.
Tebakannya benar, Hasan dapat mendengar suara serupa rintik hujan deras dari arah dapur.
"MAMAAAAAAAA." Suara teriakan cempreng khas anak umur lima tahun memenuhi seisi rumah. Mama yang sedang fokus membentuk adonan perkedel kentang menjadi bulat lantas menoleh ketika merasakan kehadiran sosok lain di pintu dapur.
"Ma! Hasan mau nanya, deh!"
Mama mengerutkan kening melihat Hasan sedang ngos-ngosan. Namun, mata bulat anak itu menatapnya dengan pandangan serius. Mama hampir tersenyum gemas, tetapi begitu pandangannya turun ke bawah, Mama langsung melotot.
"HASAN!"
"Tunggu, Ma!" Hasan cepat-cepat memotong sebelum satu kata dari Mama berubah menjadi satu paragraf dengan huruf capslock yang kalau diubah menjadi bentuk audio bakal bervolume maksimal tanpa bisa dikecilkan.
Mama menghela napas, membiarkan Hasan bicara lebih dulu.
"Ma, kata Bu Guru nama itu ada artinya, artinya bisa jadi doa buat orang itu. Terus, namaku artinya apa, dong, Ma?"
Mama berpikir sejenak, tiba-tiba teringat bagaimana ia dan Ibunya menangisi perpisahan mereka di Bandara Sultan Hasanuddin. Hal itulah yang menginspirasi Mama ketika Papa bertanya tentang nama untuk anak mereka. "Nama kamu Mama ambil dari nama Pahlawan Indonesia."
"Pahlawan?"
Mama mengangguk.
Kening Hasan berkerut lucu. "Pahlawan itu apa, Ma?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DPR | di bawah pohon rindang
Narrativa generaleDi ujung jalan, ada sebuah pos satpam yang sudah lama tidak digunakan di bawah sebuah pohon besar. Kemudian, entah sejak kapan pos tersebut berubah menjadi tempat beberapa anak kecil berkumpul. Mereka menyebutnya DPR; di bawah pohon rindang.