Pertemuan Tak Disengaja

32 1 0
                                    

Mungkin orang-orang akan memandangku aneh ketika aku datang ke kafe dengan mengenakan pakaian busana muslim. Dan benar, hal itu terjadi sesuai dugaanku. Seorang ibu memandangku dengan sinis. Mungkin saja dia berfikir aku norak. Tapi biarlah, aku lebih suka menjaga auratku daripada harus memperhatikan gubrisannya.

Suasana seperti inilah yang aku harapkan, jauh dari kata ramai. Hanya ada dua keluarga kecil yang sedang berada di cafe langgananku ini. Entah kenapa aku ingin sekali menyendiri di tempat ini sepulang acara outbond bersama teman-teman kampus. Ada yang berbeda dengan perasaanku, dan aku merasakannya.

Sedari pagi aku cemas menunggu notifikasi LINE chat dari seseorang yang akhir-akhir ini selalu hinggap di pikiranku. Namanya Jonathan, atlet muay thai yang juga berprofesi sebagai model itu bayangan wajahnya selalu mengganggu hari-hariku. Bukan karena aku suka, tapi karena kesalahan yang dia buat padaku satu minggu lalu.

Segelas es coklat tidak berasa apa-apa. Padahal setiap aku kemari, aku selalu memesan menu minuman itu dan rasanya enak sekali. Baru kali ini rasanya seperti hambar kurang gula.
Tanganku gemetar sedikit cemas, aku taruh minumanku di meja kembali. Mataku waspada sekali, takut ada yang membuntutiku. Padahal di sini hanya ada aku dan dua keluarga itu.

***

"Ning, ampun dalu-dalu nggih, mangke Abah madosi panjenengan," ucap Pak Amir melalui telefon yang sedang menungguku di luar kafe.

Aku mendengus kesal, tidak seharusnya Abah sangat overprotektif terhadapku seperti ini. Memang sih, aku sedang melalui masa iddah setelah perceraian dengan mantan suamiku yang juga seorang Gus dari sebuah pondok pesantren terkenal di Malang.

Tapi aku juga ingin menikmati masa-masaku ini sendiri tanpa ada beban di suruh pulang karena sudah menjelang malam, aku juga tahu batas diri. Tak perlu juga abah mengutus Pak Amir, sopir pribadinya untuk menemaniku ke mana pun.

Setelah kepergian Umi, aku memang lebih sering menyendiri dan menghabiskan waktu di luar rumah. Selain karena aku tidak ingin teringat sosok Umi di rumah, aku juga tidak betah dengan sosok suamiku yang sekarang sudah menjadi mantan suami.

Ya, aku dan suamiku bercerai tepat 10 hari setelah Umi wafat, dan itu terjadi karena memang tidak ada rasa cinta diantara kita. Bayangkan saja, hingga 8 bulan pernikahan, suamiku pun tidak pernah menyentuhku sama sekali. Sangat menyedihkan bukan?

Mungkin cerita ini terdengar di buat-buat, namun memang ini adanya. Pernikahan kami pun juga terjadi karena perjodohan. Biasalah, orang tua mana yang tidak menginginkan pasangan terbaik untuk anaknya. Dan sudah menjadi lumrahnya bila seorang Ning, putri pemilik pondok pesantren dijodohkan dengan Gus, yang juga putra pemilik pondok pesantren.

Dari sekian banyak perjodohan terpaksa antara Gus dan Ning, hanya aku dan suamiku yang merasa jika perjodohan ini tidak adil. Kami sama-sama memiliki pasangan masing-masing dan karena perjodohan itulah yang menyebabkan kami harus meninggalkannya.

***

"Jangan berharap tidur di kasur ini berdua denganku, aku akan tidur di sofa saja," ujarnya kala itu ketika malam setelah aku di akad olehnya.

Aku tidak menjawab dan memilih diam. Aku mencoba mengerti apa yang dia mau. Maklum, kita masih shock terhadap keputusan perjodohan ini. Wajar saja dia bertingkah demikian.

Namun seiring berjalannya waktu, aku merasa bahwa ini hanyalah pernikahan sandiwara. Mengapa aku menyebutnya begitu? Karena suamiku hanya mau bersikap baik dan mesra padaku ketika di depan orangtua dan mertua. Selain itu, aku dan dia seperti tidak saling mengenal.

Aku pun berpikir bahwa ini membutuhkan sedikit waktu lagi untuk menunggunya sadar bahwa ini bukanlah pernikahan sandiwara. Sedikit demi sedikit perasaanku mulai ku pupuk padanya. Aku tidak ingin mengecewakan Abah dan Umi yang telah memilihkanku seorang laki-laki baik berparas tampan dan berilmu ini.Aku belajar mencintainya, aku belajar membaca kepribadiannya, aku belajar memahami karakter dan sifatnya hingga aku merasa bila rasa sayangku mulai tumbuh padanya.

***

"Hai, Sayang..."

Sayup-sayup kudengar suara Mas Halim yang rupanya sedang bercakap dengan seseorang melalui telefon. Aku tidak salah mendengarnya kali ini, dia menelefon seorang perempuan.

Aku yang saat itu mendengarnya secara langsung, mencoba menerka siapa kah sosok di balik suara lembut itu? Apakah dia cantik? Apakah dia sangat menarik? Mungkin saja iya. Aku mengenal sosok Mas Halim sebagai jurnalis dan juga aktivis sebuah organisasi. Sosoknya yang tegas dan berwibawa membuat siapa saja yang melihatnya pasti terkesan dan luluh.

Kuakui memang aku munafik, aku telah membohongi perasaanku. Aku mulai khawatir jika Mas Halim pulang larut malam, bahkan dengan lancangnya aku pernah melihat notifikasi pesan di smartphonenya untuk sekedar mencari tahu sosok yang menjadi kesayangannya.

Cemburu? Iya pasti. Aku adalah seorang perempuan yang memiliki hati dan perasaan. Bagaimana bisa seorang istri yang selalu ada untuknya, sekalipun tak pernah ia panggil dengan panggilan sayang. Sementara perempuan itu...

Dia menguasai ruang hati Mas Halim. Aku yakin Mas Halim pasti selalu terbayang manis senyumnya dia. Aku tak tahu apa kah ini yang di namakan selingkuh? Aku tidak berani mengadu pada siapa pun termasuk Abah dan Umi. Biar aku simpan rapat-rapat sakit ini sendiri.

Tak selayaknya juga aku menceritakan aib suamiku kepada orang lain, termasuk orang tua. Hal tersebut adalah dosa besar. Aku menerima dengan penuh ketentuan Allah, jika memang di takdirkan bersama Mas Halim, Allah pasti memberiku jalan.

***

Brakkkk!

"Aaaaaaah..."

....

"Jo, Jo, Jo, Jo! Stop stop stop!"

"Wah parah lu, gimana sih bisa-bisanya nabrak orang."

"Berisik lu, buruan keluar tolongin!"

Pagi itu aku sangat kacau, entah kenapa aku tidak fokus akibat permasalahan yang aku hadapi saat ini. Pacarku hamil, aku tidak merasa menidurinya. Entah dengan siapa melakukannya. Tapi dia minta pertanggungjawaban padaku.

Akibat dari ketidakfokusanku, aku menabrak seorang perempuan yang sedang menyebrang. Dia mengeluh kakinya sakit, rupanya memar akibat tertabrak baru saja. Aku sangat khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan. Akhirnya aku dan temanku membawanya ke rumah sakit terdekat.

"Mbak, mbak ngga apa-apa, kan?" tanya temanku yang aku suruh untuk bergantian menyetir sementara aku berada duduk di kursi belakang untuk memastikan apakah korban baik-baik saja

"Ngga apa-apa,Mas. Cuma sakit aja di kaki sebelah kiri."

"Maaf banget ya, Mbak. Kita pasti obatin mbak kok, kita bawa ke rumah sakit nih," ujarku merasa bersalah.

Setelah pengobatan selesai, kami berniat mengantarnya pulang. Tetapi perempuan tersebut menolak untuk di antar pulang. Dia meminta kami untuk mengantarkan ke terminal bis terdekat. Dia mengatakan bahwa dia akan pergi ke Jakarta secepatnya.

"Mbak yakin? Ini lukanya parah banget lho, Mbak," ujar temanku khawatir.

"Ngga apa-apa beneran, saya bisa sendiri."

"Mbak apa ngga lebih baik pulang dulu?" tanyaku.

"Saya ada urusan di Jakarta secepatnya, Mas."

"Ya udah gini aja, karena kita ngerasa bersalah sama mbak, gimana kalau saya pesankan tiket pesawat aja? Nanti kita antar ke bandara," aku menawar dengan harapan dia mau menerima permintaan maafku yang tidak sengaja menabraknya.

Mbak-mbak itu hanya diam, matanya berbinar memancarkan raut muka sedih dan bingung.

"Please, Mbak. Terima tawaran kami ya," ujarku memohon sekali lagi.

***

UnlimitedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang