Kekhawatiran

15 1 0
                                    

"Mbak, mau kan?" tanyaku sekali lagi memastikan.

Dia hanya menjawab dengan anggukan, aku lega sekali. Rupanya dia sedang di landa masalah yang cukup rumit. 

"Gini aja, Bre. Kita obatin dulu si mbak ini, kemudian kita anter ke bandara," usul Delvin, temanku yang saat itu sedang bersamaku.

Aku mengiyakan dan perempuan itu aku persilakan untuk naik ke mobil, kita menuju rumah sakit.

***

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Fathia, sehingga dia tega meninggalkan Abah di saat seperti ini. Sedari subuh tadi dia sudah tidak ada di rumah, aku coba menelepon hapenya, tidak aktif. Aku hubungi beberapa teman dekatnya, mereka bilang sedang tidak bersama Fathia. Lalu kemana kah dia?

Terlihat raut wajah Abah sangat sedih karena menunggu kabar dariku untuk mengetahui di mana keberadaan putri semata wayangnya. Jujur, meski aku tidak mencintainya, tapi aku khawatir padanya, terlebih status dia masih sebagai istri sahku.

"Nak, kalau bisa jemput Fathia kalau sudah ketemu keberadaannya, abah khawatir sekali sama dia," ujar Abah padaku.

Aku iyakan dengan anggukan sopan dan menunduk di hadapan abah.

Kemudian ada sebuah telepon masuk ke hapeku, ternyata dari Anisa. Anisa adalah adik tingkatku ketika kuliah, kita terhubung karena masih satu organisasi di kampus dulu. Bisa di bilang, komunikasiku dan Anisa cukup intens. Kami berdua terjalin dalam suatu ikatan cinta sejak lama, hingga hari ini pun aku masih belum bisa melupakannya.

"Assalamu'alaikum, Mas Halim?"

"Wa'alaikumussalam, Dek Nisa."

"Mas, di rumah kan?"

"Nggih, Dek."

"Mas, Nisa sama temen-temen mau ngelayat ke ndalemnya abah ini."

"Oh, iya monggo, Dek Nis."

"Kita otw ya, Mas."

"Nggeh, Dek Nis. Hati-hati."

"Matur nuwun, Mas. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam..."

Biasanya aku senang mendengar kabar bila akan bertemu dengan Anisa, namun untuk saat ini tidak. Aku lebih khawatir keadaan istriku yang hingga kini aku menunggu kabarnya.

***

Aku sudah tidak tahan lagi dengan semua perlakuan Mas Halim padaku, menghilang sejenak akan membuatku lebih baik. Aku akan mencari tempat di mana aku menemukan ketenangan di sana.

Laki-laki yang tadi itu, bernama Jo. Entah Jo siapa aku tidak tahu, dia memperkenalkan dirinya dengan nama itu dan aku tidak mau bertanya lebih tentangnya. Dia memberiku nomor handphone sewaktu-waktu jika aku membutuhkannya. Aneh sekali. Padahal hanya dengan menolongku saja itu sudah lebih dari cukup. 

Kalau kulihat-lihat, dia bukan laki-laki biasa. Berbadan tegap dan sedikit berotot, bisa di bilang atletis. Tingginya sekitar 175 sentimeter. Berkumis tipis hampir tidak terlihat, rambutnya pendek dan rapi. Semua benda yang menempel di badannya terlihat serasi. Cukup manis untuk laki-laki pada umumnya.

Tapi biarlah, aku tidak mau mencari tahu lebih tentangnya. Yang aku pikirkan sekarang adalah aku harus segera bercerai dengan suamiku. Pernikahan ini sebenarnya adalah bukan kehendakku, ini kehendak Abah dan Umi. Umi yang paling bersemangat dan mendukungku untuk menikah dengan Mas Halim.

Dan kini, Umi telah wafat. Aku rasa tidak ada masalah lagi ketika aku bercerai dengan Mas Halim. Tidak ada pihak yang merasa di sakiti. Aku ingin segera mengakhiri kepura-puraan ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UnlimitedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang