epilogue

51 25 13
                                    

perdebatan apapun menuju kata pisah
jangan paksakan genggamanmu ....

"Thea, gue tahu lo masih marah sama kita. But please, lo dengar dulu penjelasan gue."

Fathea dengan cepat memusatkan pandangannya ke arah Nadira. Menatap lurus dan tajam gadis itu dengan ekspresi tak terbaca.

Ia menaikkan sebelah alisnya. "Lo? Atau Skala?" ulangnya.

Tidak ada sahutan dari orang yang berada di depan Fathea. "Berarti benar dugaan gue? Lo sama Skala jadian sewaktu gue mulai pergi? Iya?"

Fathea sempat melirik Skala yang duduk di samping Nadira tepat di hadapan mejanya. Mereka sedang berbicara serius di sebuah kafe terdekat dengan hotel Flamboyan.

Fathea sudah lebih dulu izin kepada Raksa dan Atria. Ia memang belum sempat menjelaskan kepada Raksa. Tetapi, sesudah pertemuan ini Fathea akan kasih tau secara rinci.

"Kal, lo tahu?" sekarang posisi Fathea menghadap Skala sepenuhnya. Laki-laki itu masih bergeming di tempatnya, "Gue suka sama lo dari lama, tapi sayangnya itu percuma aja. Ya, karena gue enggak punya kesempatan lagi buat jaga baik-baik perasaan ini ke lo, Kal."

Skala langsung memperhatikan Fathea dengan wajah cukup terkejut. Atau apa mungkin, Skala memang sudah tahu dari bibir Nadira.

"Pas lo ngajak gue ngedate malam itu. Betapa bahagianya gue. Gue berniat mau ngutarain perasaan gue. Tapi nyatanya udah keduluan sama lo yang ngutarain kalau lo suka sama Nadira," ungkap Fathea, sedikit ada kekehan getir.

"Lo langsung tudep ngomong kalau seakan-akan lo mau nembak Nadira. Dan itu buat jantung gue enggak karuan. Bikin hati gue sakit, Kal."

"Gila ya."

"Pas udah tahu itu. Gue benar-benar hancur. enggak ada sisa tenaga buat ngelakuin apa-apa. Bahkan buat ngebalas ucapan lo aja—" sekuat tenaga Fathea menelan saliva pada saat masih bercerita dengan keadaan mata sudah berembun.

"I can't. Gue seenggak mampu itu, Kal ...." Fathea berucap lirih. Padahal sudah sekuat tenaga menahan diri agar terlihat kuat dan baik-baik saja. Namun kenyataannya Fathea memang bisa selemah itu.

"Thea, I beg you to stop? Kalau enggak kuat lebih baik enggak perlu diterusin," kata Nadira. Jelas menatap khawatir seseorang yang masih Nadira anggap sahabat sampai detik ini.

Skala menghela napas begitu panjang. Cukup berat jika berada di posisinya. "Maafin gue, Thea. Jadi cowok gue memang enggak becus. Yang namanya perasaan jelas enggak ada yang tahu," ungkap Skala.

Lelaki itu memang menyesal karena mengetahuinya hanya diakhir saja. Namun sudah sejak awal Skala berusaha mengetahui perkara pantauan rasa, tetapi Skala memang tidak cukup andal akan hal yang sedang terjadi.

Salah satu manusia saat ini sedang dalam posisi sedang menerka akhir dari cerita mereka sendiri. Yang sebenarnya masih ingin bersama meski perasaannya sudah mulai mati secara perlahan.

Satu-satunya cara?

Maka ikhlaskan saja kalau begitu. Karena sesungguhnya, yang lebih menyakitkan dari melepaskan sesuatu adalah
berpegang pada suatu hal yang benar-benar menyakiti hati secara perlahan namun itu pasti.

Kemudian Fathea mengangguk. Setuju dengan kalimat Skala. Sebisa mungkin ia menatap balik Skala saat ini.

"Terus, mau gimana?"

"Gue enggak bisa balik ke kalian. Karena kalau gue kembali lagi, itu sama aja gue ngebuka luka lama yang hampir sembuh dari rasa itu," kata Fathea.

Kompak dua orang di depannya menghela napas berat. Sebenarnya ingin memberontak agar tetap kembali dan bersama-sama lagi. Tapi sepertinya memang sudah tidak akan pernah bisa.

Nadira harus menerimanya dengan berat hati. Sungguh. Dan Skala, laki-laki itu akan hidup dengan penyesalan yang tak ada ujungnya. Masing-masing mereka tersirat akan kekecewaan yang amat sakit.

Fathea bisa bahagia tanpa adanya siapapun di dalam hidupnya. Dia akan belajar mandiri dan kuat. Memahami segala tentang luka dan temannya. Belajar menjadi diri yang kuat agar tidak mudah goyah.

***

Tali yang ada pada topi toga itu disampirkan ke arah kiri. Tangan seseorang yang amat dikenalnya itulah yang baru saja melakukannya.

"Selamat hari wisuda."

Fathea menatap lekat laki-laki yang ada di depannya ini tak jauh dari pusat perhatian. Ia mengulum senyum penuh haru.

Seperti déjà vu lagi ya rasanya. Fathea mendengar kalimat itu beberapa tahun yang sudah berlalu. Sekitar tujuh tahun yang lalu Fathea mendengar ucapan itu kembali.

Sekarang dan masa lalu.

"Selamat berbahagia menjadi sarjana, Fathea."

Lagi, ucapan itu terdengar manis di telinga Fathea. Ia masih bergeming di tempatnya berdiri dengan segala pikiran yang menaksir sebuah pencapaian dirinya saat ini.

"Ah? Iya. Thank you, Rak."

"Selamat berbahagia menjadi sarjana juga buat lo," ucap Fathea dengan tulus kepada Raksa.

Dia mengangguk dan tersenyum simpul kepada Fathea. Lalu menggapai jemari Fathea agar bertaut dengan jari besar Raksa. Tangan itu tergenggam sangat erat. Fathea masih terkesima dengan gerak-gerik lelaki itu.

Raksa membawa Fathea ke depan gedung kampus Universitas Nasional yang sudah beberapa tahun ini keduanya singgahi. Untuk menuntun belajar dan menjadikan mereka sukses. Menjadi orang yang bermanfaat dan cerdas untuk masa depan.

Diam-diam Fathea mengulas senyuman kembali. Saat ini orang-orang yang sedang merayakan hari kelulusan wisuda sedang beramai-ramai foto bersama tepat di depan gedung kampus.

Fathea mengamati Raksa yang sedang memfoto rombongan Dhara, Wulan dan yang lain. Sedangkan Fathea hanya berdiri seorang diri sembari menunggu Raksa datang kembali.

Ada satu tempat untuk satu orang di masa lalu yang sulit tergantikan. Meski waktu diperbolehkan untuk berlalu, orang-orang baru disambut ramah dan berdatangan, tapi tempat itu masih rapi berisikan namanya.

Bahwa di dunia ini, tidak ada manusia yang benar-benar akan ikhlas. Adapun hanya manusia yang selalu mencoba untuk ikhlas jika tentang melepaskan.

"Aku masih menyimpan kamu di tempat paling rahasia di hatiku. Bukan untuk memintanya kembali. Tapi memang di sanalah tempat kamu berada."

Laki-laki bernama Skala merupakan luka yang sampai detik ini masih Fathea kagumi. Sebab melepaskan sesuatu yang masih ingin digenggam, is another level of pain. Tidak ada yang bisa mengubah perasaan ku tentangmu, Kal. Tidak akan.

Tidak ada lagi aku.

Tidak ada lagi kamu.

Dan tidak ada lagi kita.

Aku tahu, akhir dari cerita ini seperti apa. Semuanya telah berubah, bahkan tanpa bisa diduga sebelumnya.

Sekali lagi, selamat merayakan hal baik untuk satu hari yang bahagia ini. Semoga dapat mekar seperti apa yang dipanjatkan. Seindah itu dan setepat itu, ya. Terima kasih.

to be continued

kalbu : Juni 2, 2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

kalbu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang