Untitled Part 40

132 36 7
                                    

Sejak Baskara memelukku di bawah hujan, di antara berpasang-pasang mata yang memperhatikan di bawah teduh emperan toko sepanjang jalan Malioboro, ada perasaan lain yang timbul saat memikirkannya.

Ini hari ketiga setelah dia memulangkanku ke rumah Eyang dan kami belum bertemu lagi sama sekali. Kata Kinarsih, atasannya itu sakit. Mungkin karena dia berhujan-hujan kemarinnya. Pantas saja ketika membonceng pulang, aku merasa panas tubuhnya yang tidak biasa. Tapi, Baskara tidak mengatakan apa=apa.

Aku tahu seharusnya aku pergi menjenguk, tapi ... aku takut.

Setiap kali memejamkan mata, aku kembali terbayang cara Baskara memandangku malam itu. Netra cokelat terbingkai bulu mata yang basah karena hujan itu menatap penuh rasa khawatir. Ada kemarahan, keputus-asaan, dan harapan di dalamnya yang membuatku terharu.

Ketika Baskara memelukku, tubuhnya yang dingin memberi kehangatan tersendiri. Bukan hanya dia yang senang ditemukan, tapi aku juga!

Kelegaan yang tidak tertahan menyergapku, jantungku berdebar keras tetapi pada saat yang bersamaan perasaan damai menyelimutiku. Rasanya seperti pulang ke rumah setelah merantau berbulan-bulan. Apakah ini yang dinamakan bahagia?

Sempat kubayangkan, jika-- aku membuang pandangan dari langit-langit bermotif bambu yang terhampar jauh di atasku dan mencoba mengalihkan pikiran, tapi tidak bisa. Dengan lancang, pikiranku kembali membayangkan. Seandainya tidak ada orang lain di sekitar kami, apakah Baskara akan menciumku?

Aku buru-buru menggelengkan kepala dan bangkit dari pembaringan. Ya, Tuhan ... kebodohan apa yang sedang kupikirkan?

Tepat saat itu, alarm telepon genggamku berbunyi. Pukul 10.20. Aku sudah membuat janji pada Om Andreas untuk menemuinya di Galeri Batik Djatmiko hari ini. Kusambar tas yang tergantung di balik pintu, tidak lupa buku catatan, dan pena.

"Mbok, aku pamit pergi dulu ke kota, ya. Kalau enggak ada halangan, sore sudah pulang."

"Yo, jangan lupa bawa payung. Nanti sakit kayak Baskara," sahut si Mbok. Langkahku berhenti sebelum dapat menjangkau pintu keluar. "Kata Kinarsih, majikannya hujan-hujanan waktu di Malioboro. Makane, Mbok enggak suka ke kota. Hujan pun enggak ada tempat berteduh."

"Oke!" Aku lanjut beranjak ke luar rumah sambil terkekeh, sedikit lega mengetahui Mbok Ratih tidak tahu alasan sebenarnya dia kehujanan. 

Duduk dalam angkutan kota, aku mengingat kembali bagaimana Ibunda Baskara memarahi anaknya setelah tubuh besar itu menepi di bawah atap emperan toko. Baskara berkilah jika dia sudah menelepon ibunya tapi tidak diangkat, lalu sang ibu mengeluarkan telepon genggam yang memperlihatkan tidak ada telepon masuk.

 Aku mengulum senyum mengingat ekspresi Baskara yang seolah terkena jab kiri Mike Tyson. Malam itu, Baskara membeli dua kaos kembar berwarna pink sebagai baju ganti untukku dan dia, sungguh norak tapi aku tidak bisa menolaknya karena pakaianku juga basah. 

Kami kembali melanjutkan acara belanja oleh-oleh sambil menunggu hujan reda. Esok pagi-paginya, barulah Baskara mengantarku pulang ke Gunung Gambar.

Pukul 12.10 aku tiba di Galeri Batik Djatmiko. Sedikit telat dari perkiraanku, semoga Om Andreas belum ke mana-mana. Begitu membuka pintu, pandanganku langsung tertuju pada seorang lelaki berperawakan tinggi dalam kemeja sutera putih yang sedang berbicara dengan seorang tamu. 

Suara bel di atas pintu membuatnya menoleh, pemilik galeri itu tersenyum lebar dan berhasil membuatku merona. "Lia! Om pikir kamu enggak jadi datang. Sebentar, ya--" Sebelum kujawab, lelaki paruh baya itu sudah menoleh kembali pada lawan bicaranya. 

Kuputuskan untuk berjalan keliling ruang pamer yang ternyata sudah diubah lagi tata letaknya. Kali ini, perhiasan disusun berdasarkan daerah asal dibuat. Ini lebih bagus dan representatif. Selain itu, pada bagian depan juga ditambahkan cerita latar belakang daerah asal agar pembeli tahu dari siapa mereka membeli.

KOMPILASI LAGU SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang