Lima Belas

464 93 17
                                    

Teras Halaman Depan Kerajaan Klungkung

1830


Jeongguk

Bale agung masih lengang di pagi hari. Tidak ada hiruk-pikuk sekumpulan orang yang bersiap buat latihan menari, beberapa lalu-lalang buat menemui kerabat Kerajaan, atau sekadar jalan-jalan karena suntuk ada di dalam rumah seharian. Cukup sang kakak yang menghaturkan banten dan sembahyang sebentar. Semerbak wangi kembang dan dupa dari merajan menarik beban dan mengambang di udara. Jeongguk bisa rasakan angin yang menerpa wajahnya pelan-pelan. Agaknya memang cuma dengan alam ia sudi untuk berdamai. Tidak dengan kawan-kawannya yang hampir selalu membuat naik pitam, kelakuan kakaknya yang ada saja alasannya untuk memarahi Jeongguk, atau sekumpulan mbok-mbok yang melihatnya seperti bakal jadi calon mantu.

"Basuki." Sosok di sampingnya masih sibuk dengan beberapa daun kelapa muda yang dianyam. Membentuk lima kotak kecil bakal nanti menjadi tempat diletakkannya bebungaan, sesendok nasi, dan haturan lainnya. "Ci(kamu) ndak ke Buleleng?" Mahkota keemasan yang menjulang tinggi di atas kepala, menjadikan sosok wanita ini agung bukan kepalang. Wajahnya cantik dan berhias beberapa butir beras yang bersisa di kening. Tanda kalau ia baru saja selesai sembahyang.

"Bli NamJoon sudah berangkat tadi pagi." Malas saja menanggapi sesuatu yang bukan ranahnya. Jadwal turunan naga yang harus hadir di Buleleng sekarang jatuh pada NamJoon karena Jeongguk sudah berserah diri seminggu yang lalu di Jembrana.

"Ndak mau ikut? Biar ndak suntuk di Klungkung terus."

"Ndak minat."

"Kan, membantu bligung mu sendiri, kok, ndak minat?"

Helaan napas panjang dijadikan Jeongguk sebagai jawaban. Kalau ia malas meneruskan topik perbincangan yang ada. Bukankah lebih baik kalau ia kembali tidur atau bergelung bersama perempuan yang sudah lama mengantarnya kemana saja ini, alih-alih harus mengekor di belakang bligungnya yang punya urusan lain. "Ci jangan bikin aku makin suntuk, lah."

"Padahal aku cuma tanya saja." Satu usapan kecil dan gestur-gestur lain jadi sebuah afeksi yang tidak pernah Jeongguk dapatkan semasa ia dilahirkan ke dunia. Keadaannya yang dianggap sebagai makhluk suci, tidak terjamah, dan pamali kalau disentuh, membuatnya jadi sedikit dijauhkan dari kehidupan. Ditandu kemana-mana, hampir selalu juga beberapa mangku masih memberinya canang dan buah-buahan sebagai ucapan terimakasih karena turunan naga terakhir memilih Klungkung pula sebagai tempat persinggahannnya. "Coba emosimu dikontrol. Ndak bisa selamanya ci ndak mau diajak bicara sama orang."

"Satu orang yang ngobrol dengan aku saja sudah cukup."

"Siapa? Bligungmu saja kewalahan."

"Kamu, kan, ndak?"

Giliran Jeongyeon yang menghela napas berat. "Kamu tahu, kan, kalau aku juga ndak bisa menemani kamu buat waktu yang lama." Kalimat ini paling Jeongguk benci. Sama saja Jeongyeon menunjuk satu perbedaan menonjol yang membedakannya dengan beberapa orang di dalam susunan Kerajaan Klungkung. Kalau Jeongguk bukanlah manusia seutuhnya. Ia tidak bakal mati dimakan usia. Wujudnya bakal bertahan dan menyaksikan sekitaran menua dimakan zaman. Kalimat itu bak peluru paling panas dan paling cepat melumpuhkan pertahanannya yang sudah dibangun dengan susah payah. "Ci pasti nanti ketemu sama orang yang lebih baik lagi dari aku," bisik perempuan agung itu. Belai jemarinya tidak absen dari atas kepala. Masih terasa menenangkan dan hangat menghanyutkan.

DewanandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang