2. PERTEMUAN SINGKAT

108 36 171
                                    

Waktu telah menunjukkan pukul enam, Chacha sengaja meluapkan amarahnya kepada sang ibu. Ia menutup pintu kamarnya dengan kasar, kemudian berjalan cepat menghampiri ibunya. Nafasnya memburu menahan amarah sejak petang lalu.

Untung saja, hari ini pria itu tidak ada dirumah. Setelah pertengkaran itu, dia meninggalkan rumah, karena terdapat pekerjaan mendadak.

"Aku sekolah gak minta uang suami mami kan? Kenapa disuruh berhenti sekolah?!" Tukas Chacha, berusaha menahan teriaknya.

"Gak gitu, Cha. Kamu jangan dengerin ucapan ayah ya?" Bujuk Amara berusaha menenangkannya.

Chacha tidak mengerti, mengapa ibunya selalu mencari pembelaan terhadap suaminya, ayah tiri Chacha. Sangat jengah mendengar hal itu.

"Dia bukan ayahku, Mi!" Bantahnya mentah-mentah.

Selama hampir lima tahun menikah, ia sangat membenci suami ibunya, bahkan ayah tirinya pun sama halnya. Ayahnya tak sebaik yang semua orang kira. Sangat memuakkan.

Tanpa berpamitan, Chacha segera pergi dari hadapan ibunya, karena tak ingin menaruh rasa kesal lebih lama. Sudah tak ada lagi semangat untuk pergi ke sekolah. Fikiran dan hatinya terasa sangat kacau. Ia butuh seseorang sekarang, dia merindukan sosoknya.

Ia berjalan meninggalkan pekarangan rumahnya, sambil menelpon Riana. Hari ini ia berniat untuk tidak masuk sekolah dengan alasan tidak enak badan, itu tidak bohong, saat ini Chacha merasa tidak baik-baik saja.

Ia berjalan menuju sebuah pemukiman, yang letaknya cukup jauh dari rumah. Berfikir dengan berjalan, dapat membuatnya lebih tenang. Tak terasa ia sudah berdiri didepan gapura yang bertuliskan "Tempat Pemakaman Umum," disinilah ia berada sekarang. Sebelum masuk ke tempat keramat tersebut, Chacha membeli sebuket bunga mawar terlebih dahulu.

Air matanya menetes, kala dia menemukan batu nisan seseorang, yang kini telah terbujur kaku dibawah gundukan tanah. Dia berjongkok disamping makam seseorang yang selama ini menjadi pengisi hatinya.

"Assalamu'alaikum sayang. Kamu apa kabar? Pasti baik kan disana? Aku harap kamu selalu baik. Aku kesini bawa bunga buat kamu, semoga suka. Maaf, aku selalu nangis kalo ketemu kamu, soalnya kamu gak pernah bangun lagi." Monolog Chacha dengan sendu.

Air matanya yang tadi menetes perlahan, kini tak dapat dibendung. Ia selalu mengingat kenangan bersama sang kekasih. Walau pertemuan mereka terbilang singkat, itu sangat berarti baginya.

"Aku butuh kamu, Van. Aku rapuh. Cuma kamu yang tau gimana aku. Tapi kenapa kamu ninggalin aku, disaat aku butuh orang sepertimu? Aku pernah nyakitin kamu ya? Sampai kamu nggak mau ketemu aku lagi. Aku minta maaf, aku nggak bakal kayak gitu lagi, tapi kamu pulang ya? Atau aku yang ikut kamu?" Ucap Chacha dengan linangan air mata.

Di sela isak tangisnya, ia mengingat suatu kejadian dimana pertama kali mereka bertemu.

Chacha memutuskan untuk pergi ke taman kota. Menikmati matahari sore, yang bersinar hangat. Ia duduk dibawah pohon yang rindang, sembari membaca novel yang ia bawa dari rumah. Sebenarnya hari itu ia sangat kacau, suasana hatinya buruk. Namun, ia mengabaikan hal itu, berusaha menciptakan kebahagiaan.

Sesaat, ia terdiam mengabaikan novelnya. Pandangannya tertuju pada anak kecil yang sedang berjalan, mungkin sekitar usia empat tahun. Chacha terus mengawasi pergerakan anak itu. Ia melihat sekitar, tak ada orang tua yang mendampingi, karena anak itu terlihat jalan sendiri. Hingga saat akan menaiki anak tangga, anak kecil itu terjatuh. Chacha yang melihat, segera berlari menghampiri.

Anak itu menangis menahan sakit.
"Takitttt." Rengeknya.

"Hai, mana yang sakit?" Tanya Chacha sedikit panik.

Terhukum Takdir (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang