2

1K 180 17
                                    

Hari ini Giselle mengunjungi perpustakaan kampus. Tidak ada kegiatan yang istimewa, hanya rutinitas mengerjakan tugas saja namun kali ini ia benar-benar harus meminjam buku.

Perpustakaan mereka terlihat sangat luas, apa mungkin karena mahasiswa yang datang masih sedikit ya? Tapi memang benar, perpustakaan ini sangat luas. Tempat ini memiliki 2 lantai utama dan 1 lantai untuk basemen. Lantai 1 adalah tempat mereka yang ingin meminjam buku untuk dibawa pulang dan membaca buku secara cepat dimeja-meja baca.

Di lantai ini terdapat banyak rak buku dengan jenis buku yang berbeda-beda pula, untuk kelengkapannya mempunyai nilai 10 dari 10. Sedangkan di lantai 2 adalah tempat dimana mereka yang ingin belajar dan mengerjakan tugas, disini tidak ada kursi tetapi disediakan beberapa meja dan karpet untuk duduk lesehan. 2 rak tersusun berbaris terletak di masing-masing sisi tegak lurus ruangan. Mereka memang hanya menyediakan sedikit buku karena lantai 2 memang difokuskan untuk tempat mengerjakan tugas.


"Aduh Gue lupa ambil buku dibawah, aaaa mager banget.."

Namanya juga cewek ya, walaupun mager tetep aja dilakuin. Giselle akhirnya meninggalkan pekerjaannya sebentar untuk turun mencari buku histologi fungi yang benar-benar membuatnya pusing. Rasanya mual sekali mempelajari semua itu, bagaimana ya? Tapi walaupun ia menyukai 'berada di ranah ini', tapi jujur saja ia juga membenci setiap mata kuliah yang ia pelajari.

Masing-masing rak tersebut ia telusuri, mencari nya ditiap selipan siapa tau buku itu memang terselip.


Gamungkin Giselle bukunya aja setebel kasur baru, mana bisa nyelipppp...





"Nah ini dia."

Rak nomor 16, ia harus mengingat tempat ini bahkan untuk tahun-tahun yang akan datang. Karena dari sinilah awal semuanya terjadi.

Tangan mereka bertemu, mencoba meraih buku yang sama ditempat yang sama pula. Secara teknis Giselle yang mengambilnya duluan, tetapi tangan yang di identifikasi sebagai milik seorang lelaki itu tak kunjung melepasnya dari genggaman yang akhirnya menciptakan keheningan selama 2 detik, tunggu dulu ini terasa canggung.

Giselle yang malah ketakutan akhirnya melepasnya terlebih dahulu, berbalik dan alangkah terkejutnya ia saat menyadari siapa yang barusan membuatnya ketakutan.

"Maaf, ambil aja!" Seru pelan lelaki itu kemudian bergerak menciptakan jarak antara mereka berdua.

Giselle benar-benar terkejut dengan kebetulan ini, bagaimana seorang Jeno bisa mendadak berada di perpustakaan seperti ini? Dia kerasukan apa?? Kemeja putihnya yang Ia gulung hingga siku benar-benar menambah kadar ketampanan Jeno. Rambut hitam legam dengan kulit putihnya itu ternyata memang kombinasi yang cocok, sejak kapan Giselle memperhatikan Jeno sedetail ini lagi? Dia rasa, mungkin sudah lama?

"Lo, maksud Gue-- juga nyari buku ini??" Tanya Giselle untuk menghindari kegugupan.

"Hm, Gue perlu itu buat tugas kita. Lo ambil fungi juga?" Giselle tersentak karena ini merupakan kalimat terpanjang yang pernah Ia dengar dari Jeno diluar konteks pelajaran. Walaupun masih dengan nada yang datar dan terlihat cuek, bagi Giselle itu berharga.

"Iya fungi.." Giselle menunduk, memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Tapi ia tidak seberani itu untuk mengucapkannya, takut-takut malah terjadi penolakan.

"Masih lama disini?" Tanya Jeno lagi.

"Masih, orang Gue baru mulai."

"Oh.."

Lihat, hanya jawaban singkat dari lelaki itu yang Ia dapat. Giselle tidak ada hak untuk merasa kecewa ataupun marah, Jeno memang seperti ini lagi pula mereka hanya teman.



Mengetahui situasi yang semakin canggung, Giselle memutuskan untuk berpamitan dan kembali dengan pekerjaannya.

"Gue keatas ya Jen, Gue baru stress banget." Kata Giselle kemudian berjalan menjauh. Tapi sebelum itu,

"Giselle, kalau Lo ga keberatan mau bagi bareng Gue ga? Gue cek di katalog buku yang ready dipinjam cuma ini." Giselle mengangkat kedua alisnya terkejut, namun terselip perasaan senang disana.

"Mending stress bareng ketimbang sendirian."




Dan saat itu juga Giselle mengiyakan permintaan Jeno untuk mengerjakan proyek bersama. Mereka duduk lesehan dengan meja bundar yang muat untuk 3 orang. Mereka hanya berdua dan tentu saja kecanggungan sangat terlihat. Mereka ini sudah 3 tahun satu kelas kecuali untuk matkul pilihan, hanya saja Jeno ini sangat irit bicara. Lagi pula mereka memang tidak dekat, dari awal.

Walaupun masih diselimuti suasana canggung, mereka tetap mencoba biasa saja. Setelah percakapan panjang tadi, Jeno kembali menjadi Jeno yang dingin. Dia benar-benar tidak mengatakan apapun saat itu, Giselle juga hanya diam karena mode panik deadline mepet.



Namun setelah keheningan yang lumayan lama, Jeno tiba-tiba berucap membuyarkan semua fokus Giselle.

"Technical Meeting 2 hari lagi, kita diminta dateng. Bisa?" Tanya Jeno yang masih sibuk dengan ketikan cepat pada keyboardnya, tatapannya tidak berpaling dari layar sempit itu.

Giselle membulatkan matanya kerkejut, jadi Jeno benar-benar mengiyakan permintaan lomba itu? Karina benar-benar the best.

Tiba-tiba Jeno menatap Giselle dengan tatapan bertanya. Mata Giselle berkeliaran mencari pandangan yang pokoknya menghindari tatapan lelaki itu, namun gagal. Jeno benar-benar sudah menjadi pusat hidupnya, tidak ada lelaki yang berhasil menggantikannya selama 3 tahun terakhir. Cinta pandangan pertama yang masih bertahan hingga sekarang.



"Gue bisa, tapi mintain ijin dulu sama Haechan. Rapat besar kan besok Jumat, Gue kadiv kalau Lo lupa Jen."

"Gampang." Katanya sebelum memencet tombol enter dengan keras. "Bilang sama Gue harus ijin ke siapa lagi."

Jantung Giselle berdegup kencang, deep voice nya keluar dan itu sangat menggetarkan hatinya. "Kahim aja, Haechan susah dimintain ijin."

"Hm.." Dan lagi lagi jawaban singkat dari Jeno yang Giselle dapatkan.

Namun Giselle akhirnya menyadari sesuatu. Jeno juga punya sikap lembut yang mungkin tidak pernah Giselle lihat sebelumnya. Sikap kecil seperti mempersilakan Giselle duduk terlebih dahulu, memulai percakapan dan juga sikap kecil lain yang mungkin sedikit asing baginya. Namun itu semua benar-benar menarik dimata Giselle.









"Jen, kita mau pake adat apa?"

Giselle yang belum menyadari letak ke anehan dalam kalimatnya itu hanya bertanya sambil memasang wajah polos yang imut.

"Jawa?" Jawab Jeno singkat.

"Jawa ya?" Sepersekian detik setelahnya, Giselle sadar kalimatnya tidak tertata dengan baik. Matanya membulat lucu dengan bibir terbuka lebar. Wajah panik segera berganti dengan wajahnya yang semakin memerah tanda tersipu. Bodoh sekali dirinya bertanya tanpa menyertakan konteks.


"Ma-maksud Gu-Gue Jen.. Adat anu, baju adat buat lomba fashion show nanti.." Jelas Giselle yang semakin panik.

Terdengar kekehan pelan dari lelaki itu. Senyum tipis terlukis diwajahnya yang biasanya terlihat datar. Senyuman lelaki itu mirip anak anjing yang bahagia saat bertemu induknya, menenangkan. Giselle hanya bisa terpesona dengan tingkah mengejutkan lelaki itu. Bahkan setelah 3 tahun satu kelas dengan Jeno, apa baru kali ini Giselle melihat senyuman itu?





"Hm Iya.. Adat Jawa juga boleh."

Kalimat itu ditutup dengan senyuman singkat. Senyuman yang menjadi titik awal kisah cinta Giselle yang akan menjadi semakin rumit. Senyuman yang membuat Giselle benar-benar ingin memperjuangkan cintanya sekali saja. Cinta yang tertahan untuk terucap, mungkin akan segera tersampaikan.






















To be continue

Wkwkwkwkwk ada yang nungguin ga ya.. Semoga suka yaa enjoy ❤️

Maap banget bikin nunggu lama 😔 Terimakasih udah mampir kesini, terimakasih vote dan komen nya 😖

Fight - JenSelleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang