Toples Bawang (03)

14 2 1
                                    

Drrrt drrrt.

Ponsel Alean bergetar berapa kali menandakan serbuan notifikasi. Ia sudah bisa menebak siapa saja pelakunya. Dengan segera, digesernya pola layar untuk melihat grup chat.

Roni telah mengubah subjek dari "Gatau grup paan dah" menjadi "Lelaki Budaya".

Erga: Buaya kali bkn budaya.

Roni: BuDaYa, butuh janda kaya😘

Erga: HAHAHA kutil macan ada aja akal-akalannya-,

Roni: Yg buaya cukup Alean aja, kita mah setia yekan wkwk.

Erga: Gmn mo setia, pasangan aja kagak punya-____-

Roni: Keep halal gasiee.

Erga: Tolong ya bapack Lean, sumbangin lah cwek2 lo ke kita2.

Alean pun mengetikkan sesuatu di grup tersebut. Asal kalian tahu, Roni dan Erga adalah teman kelas Alean yang auto sefrekuensi pada hari pertama offline. Kayak mendadak nyambung aja gitu, padahal pas daring enggak begitu akrab.

Alean: Sumbangin-sumbangin, dikata bos bansos apa.

Roni: Nongol juga orangnya.

Erga: Ngops yuk di angkringan Pak Joko.

Roni: Oke cabs.

Alean: Gus nyusul. Mo ngambil mtr dulu di kang servis.

Pukul delapan lebih sepuluh menit. Alean menilik ke ruang tamu begitu terdengar derik sepatu. Ia mendapati sang ayah baru saja pulang dari kantornya dengan membawa sebuah kantong plastik. Bau isi kantong plastik itu menguar begitu kuat, Alean dapat mengenalinya dengan mudah. Nasi ayam penyet depan gang kesukaannya. Ah, shit .

Begitu melihat Alean yang terdiam di depan pintu kamar, sang ayah langsung menegur, "Belum makan kan Al? Ayah beli nasi ayam penyet favorit kamu lho."

Sebenarnya, perut Alean sudah menjerit protes minta asupan akibat belum makan sejak siang. Tetapi berhubung makanan itu dari ayah, untuk menyentuh pun ia enggan.

"Aku kenyang," tukas Alean dingin seraya pergi melewati ayahnya.

"Mau kemana kamu Al? Jangan pulang larut-larut!"

Ayah berseru begitu kencang, tetapi Alean terus berjalan. Berpura-pura menjadi tuli akut tanpa menoleh ke belakang.

Tentu saja sebagai orangtua, ayah Alean sangat sedih melihat perilaku anaknya. Ayah Alean menarik kursi meja makan, menatap nanar ke arah bungkus nasi ayam penyet dengan pikiran kosong. Andai tragedi lima tahun lalu tidak terjadi, mungkin ia masih bisa melihat senyum hangat Alean, anak kesayangannya.

***

Catatan 2:

Siapa sangka hari pertama sekolah gua harus sedikit kacau gara-gara satu makhluk bernama Alean Ganendra. Manusia sok akrab, sok kecakepan, yang anehnya malah dipuja-puja anak kelas. Kalau boleh bilang, mungkin pikiran gualah yang paling rasional. Mereka cuma lihat tampang, enggak tahu aja betapa menjengkelkannya seorang Alean😑

Dingin. Hara dapat merasakan hal itu saat mendaratkan kepala di atas meja belajar yang sudah terkontaminasi hawa pendingin ruangan.

Siang tadi, Mama mengoloknya secara main-main karena ketahuan pulang dengan Pak Indro. Mama pikir Hara sudah menyerah naik angkot. Padahal salah. Tentu ia tidak menyerah semudah itu! Lagipula meskipun sering padat dan sesak, naik angkot bukan hal yang begitu buruk untuk dijadikan rutinitas.

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang