~~***~~
Harusnya aku bahagia. Bukankah semua ini adalah yang aku inginkan? Menghancurkan dan menyakiti?
Aku sudah melakukan seperti yang diperintahkan padaku. Tidak ada satupun hal yang belum aku lakukan.
“Arghhhh. Sialan. Kenapa kau menjadi lemah seperti ini, Cho Jimin? Tidak, kau tidak boleh seperti ini Cho Jimin.” Belakangan ini berbicara pada diri sendiri sudah menjadi seperti sebuah hobi bagiku. Agaknya diriku sudah setengah tak waras.
Katakanlah aku memang seorang bajingan ulung. Aku mampu menghancurkan masa depan sahabat baik sejak kecilku, aku bahkan mungkin telah memberi luka yang begitu besar untuknya. Luka yang tidak akan mudah untuk disembuhkan.
Jadi, jika dikatakan apakah aku menyesal atau tidak. Jawabannya akupun tak tahu. Aku bahkan kesulitan untuk mendeskripsikan apa yang aku rasakan sebenarnya.
Aku merasakan diriku kerap dihantui mimpi buruk. Aku bermimpi seorang gadis kecil menghampiriku, menangis minta untuk ditolong. Lucunya gadis kecil itu kemudian tertawa terbahak-bahak menertawakan ketidak berdayaanku untuk menolongnya, karena sebelum menolongnya aku harus berlari mengejarnya terlebih dahulu.
Aku terbangun bahkan sebelum alarm di ponselku berdering. Nalasku seperti memburu, seperti diriku baru saja berlari sejauh puluhan kilo. Nyatanya aku hanya baru saja bermimpi mengejar gadis kecil berlari.
Lucu. Itu hanya mimpi, Tapi aku selalu kepikiran tentang itu, pasalnya mimpi itu selalu sama dengan mimpi sebelum-sebelumnya. Aku selalu bertemu dengan gadis kecil menggemaskan.
Sementara mengabaikan soal mimpi. Aku dengan gontai bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Hari ini aku akan banyak mengurusi urusan pekerjaan. Dan aku sangat yakin itu akan sangat membosankan dan melelahkan.***
Seperti biasa. Aku selalu membenci atasanku yang diktator itu. Kenapa ia begitu senang memerintahku? Padahal jika dipikir-pikir ia memiliki satu orang sekretaris lagi yang justru kemampuannya jauh berada di atasku. Namun, tetap saja aku yang mendapatkan perintah.
Mau apa? Tentu saja aku harus mematuhi segala perintah. Aku disini bekerja demi mendapatkan uang. Sungguh ini adalah kehidupan yang sangat realistis. Bekerja demi mengumpulkan pundi-pundi.
Langkah kakiku yang beralaskan stiletto hitam terdengar begitu menggema di lorong menuju ruangan atasanku. Seperti sedikit di buru-buru, seperti dikejar oleh hewan buas, aku hampir setengah berlari.
Seperti biasa. Aku akan masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan rak berisi buku-buku, dimana di dalam sana mungkin saja bos yang diktator itu sudah menunggu.
“Silakan.” Oh, oke. Aku sudah dipersilakan masuk, maka aku merapikan sedikit penampilanku, menarik ujung blazzer hitam yang aku kenakan dan menyugar rambutku dengan jemari. Kemudian melangkah masuk.Bahkan belum juga genap lima langkah aku masuk di ruangan yang luas ini. Mataku membelalak, menemukan siapa orang yang tengah berbincang bersama atasanku. Kedua orang pria yang sedang berbincang itu pun mengalihkan pandangan padaku yang dilanda keterkejutan, sempat terdiam dan mematung beberapa saat.
Agaknya dunia yang bahkan saking luasnya membutuhkan waktu rotasi 24 jam dan lama revolusi selama 365 hari ini terasa begitu sempit bagiku. Sempit yang membuatku sesak, sesak ketika aku harus kembali melihat wajah itu, wajah yang aku hindari dan tak ingin melihatnya lagi.Semua kenangan lampau berputar bak sebuah scene film yang terngiang di kepalaku.
Aku merasa bumi tempatku berpijak hancur, kemudian aku ikut hancur dan tenggelam bersama runtuhan bumi.
Aku seperti terkena sambaran petir di siang hari yang panas, napasku sesak, tubuhku lunglai, kakiku bahkan terasa begitu lemah hingga tak mampu untuk menyangga tubuhku lebih lama lagi.Nyawaku serasa mulai merosot. Maka sebelum aku jatuh pingsan di sini sekarang, aku memutar balik tubuhku dan berlari. Sepertinya setelah ini aku akan mendapatkan masalah besar. Aku pasti akan di pecat. Peduli apa, aku tidak masalah dikeluarkan dari pekerjaanku, asal tidak berhadapan pada wajah itu lagi.
Entah kali ke berapa aku membasuh wajahku dengan air yang mengalir. Berharap semua kenangan itu ikut hilang bersama basuhan air di wajahku. Kupandangi wajah menyedihkanku pada cermin yang menempel indah pada dinding di atas washtafel.
“Lucu sekali hidupmu, Ellena. Lihatlah seberapa menyedihkannya dirimu sekarang.” Aku tertawa lirih, menertawakan nasib malang yang menghampiriku. “Sepertinya sudah tidak ada harapan lagi untuk bekerja di tempat ini.” Aku sedang menertawakan takdir burukku.
Aku terperanjat ketika Yumi menepuk pundakku secara tiba-tiba.
“Ada apa? Kau membuatku terkejut, Yumi.”
“Aku sudah mencarimu kemana saja, rupanya kau ada di sini. Aku hanya ingin mengatakan jika bos sedang menunggu di ruanganmu.”
Oke, tidak salah lagi. Aku pasti akan di pecat setelah ini. Dengan langkah takut akhirnya aku kembali ke ruanganku, menemukan atasan dengan wajah sangar itu sudah duduk di kursi kerjaku.
“Dari mana saja kau?” ucapnya dengan wajah dominasi.
Sial, hanya dengan pertanyaan itu saja aku sudah tak berkutik, kehilangan nyali untuk sekedar menjawab. Aku hanya menunduk merasa bersalah.
“Aku tidak datang kemari untuk melihatmu menunduk seperti itu, Ellena.”
Mengangkat sedikit wajah untuk menatap pada atensi seorang Ok Namjoon. Pemilik perusahaan tempat aku bekerja dan berpijak sekarang ini.
“Maaf. Saya tahu saya sudah melakukan kesalahan. Seharusnya saya tidak pergi begitu saja. Bapak bisa melakukan apa pun. Saya tidak memiliki hak untuk melawan. Bahkan saya sudah siap jika akan di pecat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA MINISTORY
Historia CortaIni hanya tempat beberapa ministory. Warning: Mature Contents 🔞