The Virgin Isle - Part 1

58 48 3
                                    

Malam itu Adam dan Weithia berangkat menuju The Virgin Isle. Harold meminjamkan mereka sebuah perahu yang biasanya ia pakai untuk memancing di Danau Elnia. Ia tahu dengan keberadaan tempat itu, namun tidak banyak. Dirinya juga sudah lama tidak bersentuhan dengan air danau. Pikiran Harold juga tidak pernah menjurus pada tempat itu. Saat ini yang ia lakukan adalah membantu putra Alexander itu sepenuh hati dengan menuruti semua permintaannya.

Adam tidak bisa menjelaskan banyak tentang kasus itu pada Harold. Walau teman, tapi keamanan kasus adalah hal yang dijunjung tinggi. Beberapa keping emas ia berikan, setidaknya untuk berterima kasih atas bantuan yang pria dan anak-anaknya berikan. Mungkin itu akan menjadi perpisahannya dengan Harold, untuk saat ini. Karena janji telah ia ucapkan, jika misalnya Noxawest tidak membaik, ia akan membawa keluarga kecil itu ke Willhelmia.

Adam dan Weithia menyebrangi danau dibawah gelapnya langit. Sebuah danau besar yang dikeliling oleh lembah sejauh mata mandang. Tidak ada seorangpun yang berjaga memberi mereka sedikit kemudahan. Sebuah istana megah terbuat dari batu granit berwarna coklat muda berada tidak jauh dari danau itu. Puluhan menara menjulang tinggi dan kokoh. Kaca dengan gambar angsa putih terpampang indah disetiap jendela kastil Noxawest.

"Aneh, tidak banyak lampu yang menyala dari dalam kastil. Bahkan hanya itungan jari." Gumam Adam. "Dan keadaan begitu sepi. Bukankah itu sangat menandakan ada yang tidak beres. Terlebih dimana semua prajurit kerajaan yang harusnya menjaga tempat 'penting' ini. Mereka semua tampaknya sudah ditarik mundur."

Weithia mendayung perahu kayu itu dalam kesunyian.

"Mungkinkah nanti aku akan meminta izin resmi untuk melakukan kunjungan kenegaraan pada Noxawest? Bagaimana menurutmu?"

"Itu ide yang bagus Yang Mulia." Suara Weithia terdengar lemah. "Variasi cara lebih baik dilakukan. Dengan menemui Ratu mungkin akan memberi sebuah pencerahan."

Adam menyibak rambut Weithia perlahan, merasakan jika kening pemuda itu terasa hangat. Raut wajah khawatir untuk kesekian kalinya terpancar. "Apakah kau baik baik saja? Wajahmu pucat. Kau sepertinya akan demam."

"Tidak, tidak, aku baik-baik saja."

Malam sangat sangat sunyi, tidak ada aktifitas berarti walau disekitar kerajaan sekalipun. Bayangan hitam sebuah pulau semakin dekat terlihat. Tidak ada satupun cahaya, sehingga mereka harus membawa lampu lentera untuk penerangan. Kabut perlahan turun. Api dari lampu itu sedikit diredupkan.

Udara semakin dingin, Adam melingkarkan syal rajutnya pada leher Weithia.

"Aku benar-benar tidak apa Yang Mulia."

"Sepertinya ada bangunan yang berdiri di pulau itu Yang Mulia. Sesuai perkiraanku di awal, ia tidak lagi berpenghuni." Ucap Weithia sambil menicingkan matanya. Adam menoleh ke belakang tanpa menghentikan dayungan. "Benar. Gelap gulita.'

Weithia Kembali merebut dayung itu dari tangan Adam. Dayungannya terasa pelan, memecah lapisan es pada permukaan air. Danaunya terasa sangat tenang, membuat Adam yakin jika airnya cukup dalam. Karena jarak yang tidak terlalu jauh merekapun sampai dan mengikat perahu itu disebuah pohon yang dekat dengat pesisir danau. "Mungkinkan mereka ada disana Yang Mulia?" ucap Weithia pelan.

Mereka berdua mulai menyusuri jalan setapak yang mengarah ke bangunan dua lantai itu. Catnya sudah hilang sepenuhnya. Hanya terlihat bata-bata coklat yang sudah keropos. Atapnya miring setengah hancur serta dindingnya terlihat akan roboh kapan saja. Adam dan Weithia menyusuri semak-semak liar yang tumbuh dihampir seluruh daratan pulau itu, salju tipis bercampur dengan tanah lumpur mengotori sepatu dan ujung mantel mereka. Sedangkan pohon-pohon tumbuh dimana saja, tidak beraturan menyulitkan langkah kaki mereka.

KNEEL BEFORE THE CROWN BOOK 2 : ATONEMENT (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang