Apapun yang terjadi esok kau harus berjanji satu hal padaku. Kau akan tetap menjadi dirimu sendiri.
Itulah kata-kata terakhir yang Adam dengar dari Weithia. Malam itu ternyata menjadi malam terakhir ia bisa bersama dengannya. Di kejauhan, diatas sebuah undakan bukit. Adam berdiri, tetapi tidak sendiri. Dihadapannya terpatri sebuah nisan dengan nama kekasihnya yang terukir. Dibelakangnya barisan orang yang setia menemani Sang Raja mengenang jasa abadi untuk Sang Ksatria yang telah menjumpai ajalnya.
Wajahnya begitu tegar walau tangannya gemetar. Ia tidak mau terlihat begitu lemah dihadapan orang-orang. Seorang Tuan tidak seharusnya berduka hanya untuk kematian seorang bawahannya. Seorang Raja seharusnya tidak perlu menunjukan terlalu banyak emosi.
Tidak mempunyai emosi dan perasaan adalah berkah bagi seorang pemimpin negara. Tidak ada yang membutuhkan kegaduhan sebagai isi dari kepala seorang Raja. Tugas mereka hanyalah membangun dan meneruskan kerajaan. Tapi Adam merasa dirinya telah gagal. Sosoknya yang tak terjamah rasa cintanya, betapa hal itu membuat Adam tambah merasa pilu.
Merelakan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tapi butuh belasan tahun untuk merelakan kepergian orang tuanya. Ketika amarah dan dendam sudah merasuki dirinya. Barulah dia merasa puas. Sekarang ia mungkin butuh waktu seumur hidup untuk merelakan kepergian Weithia. Seolah-olah dia hanya pergi sebentar ke rumahnya dan sorenya pulang kembali pada Adam.
Waktu berlalu dengan cepat, jika kau tidak berhenti dan melihat sekeliling sejenak. Kau akan melewatkannya.
"Tidak ada yang lebih sengsara daripada orang yang menginginkan segalanya dan tidak dapat melakukan apa-apa. Selalu lakukan apa yang benar, itu akan memuaskan separuh umat manusia dan mengejutkan yang lain." Ucap Adam, matanya melirik pada Trevor, "Apalah seorang Raja, ketika resimennya hilang, yang tersisa hanyalah bayangan sempurna di hari yang cerah?"
"Apalah arti seorang Raja ketika kehilangan rakyatnya. Willhelmia bukanlah tempat tetapi orangnya." Ia melirik kearah sang penasihat kerajaan.
"Kesetiaan pertama kami bukanlah pada panji atau negara. Bukan pada demokrasi atau darah. Tetapi itu untuk Raja dan kerajaan. Kami bersumpah setia pada anda Yang Mulia Adam Willhelmia."
"Terkadang kehidupan benar-benar dimulai ketika kita mempunyai pengetahuan soal kematian. Hidup begitu berharga, dan waktu bergerak begitu cepat. Jika kalian tidak berhenti sejenak dan melihat sekeliling. Kalian akan melewatkannya."
Dia menaruh sekuntum mawar merah didepan batu nisan Weithia. Musim panas sudah menyambut mereka. Semua kengerian yang terjadi dimusim dingin bersalju waktu lalu tidak akan mereka lupakan.
Beberapa orang mulai meninggalkan bukit itu dengan keadaan sunyi dan tenang, semilir angin sejuk berhembus dan teriknya sinar matahari telah terhalang oleh rimbunnya pohon. Raut wajah mereka begitu damai, menyadari bahwa sejarah baru saja berubah. Menyadari bahwa sekarang mereka bergerak bersama, menyadari bahwa hati mereka terasa kosong dan damai.
Adam masih berdiri didepan makan Weithia. Setelah semua tamu menuruni bukit dan berjalan mendekati Willhelmia yang sedang dibangun kembali. Kota yang terbakar parah, jalanan yang kotor karena abu, kastil yang tinggi rusak karena lemparan batu ketapel. Kini sudah dalam perbaikan.
Dari kejauhan datang seorang pria yang berjalan kearah Sang Raja. Ditangannya membawa sekeranjang bunga vanilla dan beberapa buah jeruk.
"Anthony..."
Lelaki itu berlutut dan menata rapih benda-benda itu. Keduanya hanya terdiam. Lalu ia menaruh tangan didadanya dan berdoa dalam hati untuk beberapa saat. Setelah itu ia bangkit dan berdiri disebelah Adam. "Weithia wanginya sama seperti vanilla dan jeruk. Mungkin ini bisa sedikit mengingatkan anda."
Adam tersenyum dan bibirnya bergetar. Dihirupnya dalam-dalam aroma itu. Walau tidak terlalu sama, tetapi ia sedikit lebih baik. Air matanya tidak bisa terbendung, pria disampingnya merangkul dan memeluknya. Ditangannya terlihat beberapa luka goresan yang masih baru.
Sunyi, hanya terdengar suara angin yang membelai daun-daun dengan lembut. "Bahkan aku tidak bisa menemukan mayatnya." Ucap Adam pelan. Ia melepas pelukan pria itu dan balik menatap nisan putih.
"Aku tau, malam itu lautan ganas pasti sudah menyeretnya. Bahkan alam tidak ingin mempertemukan aku dengannya. Begitu kejam."
"Maaf aku tidak bisa menemukannya. Yang Mulia."
Adam menggeleng, "Itu bukan salahmu. Takdir sudah menjalankan perannya. Kita bisa apa."
Sang Raja membersihkan nisan itu dari daun yang berjatuhan. "Tampaknya kisahku dengannya sudah berakhir. Seseorang tidak akan tinggal untuk selamanya, dimana ada pertemuan juga ada perpisahan. Weithia telah hadir dan mengajariku apa itu arti kehidupan, setelah aku memahaminya, ia pergi. Itu adalah hal terpenting yang ia berikan padaku."
Ia menatap pria disampingnya, "Terima kasih untuk tetap tinggal disini bersamaku." Adam tersenyum pahit, "Sekarang rasanya perasaan sedih dan senang bercampur menjadi satu."
Angin sepoi-sepoi menemani mereka siang itu, "Aku sedih karena banyak impian yang tidak bisa terwujud akan kepergiannya, tetapi senang karena dirinya tidak perlu hidup didunia lagi, Tuhan menginginkan ia langsung bahagia disurga sana bersama para malaikat."
"Weithia sudah cukup lelah disini. Aku tidak ingin membuatnya lebih menderita karena memaksanya untuk terus bersamaku."
Pria dengan manik hitam itu mengangguk, "Tetapi yang paling menyedihkan ketika orang yang memberi kenangan teridah pada akhirnya jadi kenangan."
Mendengar itu malah membuat perasaan Adam semakin tersiksa, suaranya bergetar. "Ya, kenangan bersama Weithia mungkin akan selalu tinggal diingatan dan masa laluku."
Pria yang dipanggil Anthony itu tersenyum simpul, ikut menatap kota dikejauhan dari atas bukit itu. "Aku berjanji tidak akan berani untuk menggantikan posisi Weithia."
Keduanya terdiam.
"Anda masih ingin disini?"
"Ya, sebentar lagi."
Anthony tersenyum pahit, raut maaf terukir diwajah pria itu. "Kalau begitu. Aku akan turun duluan." Ucapnya pelan.
Sang Raja akhirnya sendirian diatas bukit itu. Menatap dalam diam batu nisan kekasihnya.
Matanya yang sebiru lautan itu tak kuasa membendung air mata. Dilepasnya sebuah cincin dengan permata biru kecil ditengahnya, dari jari telunjuk pria itu. Lalu menguburnya tepat dihadapan nisan Weithia. Berharap jika rasa cintanya ikut terkubur. Karena ia tidak akan sanggup untuk menggenggamnya lagi.
"Terima kasih. Untuk segalanya."
BERSAMBUNG
'Biarkan langit runtuh dan hancur. Kita akan berdiri gagah. Dan menghadapinya bersama-sama. Aku telah tenggelam kedalam impian duniawi dan memimpikan harapan surgawi. Diatas altar cinta, akan aku panjatkan janji suci akan keabadian. Menganggat jiwa kita tinggi. Bersama keagungan dan kebijaksanaan. Kedamaian hati akan kita junjung tinggi, bersama takhta Dewa dan Dewi."
'Disaat langit runtuh, saat itulah kita memulai pijakan pertama akan keabadian. Dan dunia akan berhadapan dengan hari penghakiman. Walau begitu, kemanapun kau pergi aku akan turut serta. Apa yang kau lihat aku akan kulihat. Apa yang kau dengar akan aku dengar. Apa yang kau sentuh akan aku sentuh. Genggamlah tanganku. Dan kembalilah.'
Bogor, 18 Juni 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
KNEEL BEFORE THE CROWN BOOK 2 : ATONEMENT (BL)
Fantasy𝐁𝐮𝐤𝐮 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚 𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐓𝐫𝐢𝐥𝐨𝐠𝐢 𝐊𝐧𝐞𝐞𝐥 𝐁𝐞𝐟𝐨𝐫𝐞 𝐓𝐡𝐞 𝐂𝐫𝐨𝐰𝐧 Lima tahun setelah Adam memenangkan The Devotion War. Musim dingin datang dengan lebih dari sekadar hawa dingin. Salju yang jatuh membawa kabar buruk-penculikan de...