Dahulu, pertanyaanku selalu. "Kapan kira-kira aku bisa menjadi tempat atas tertuangnya cintamu?" Namun, sekarang terganti menjadi. "Kalau jatuh cinta itu, memang selalu ada pihak yang tersakiti, ya?"
–Gilam, pelangi kedua bagi Kaila.
🌲🌲🌲
Hujan telah reda, tetapi tidak dengan air matanya. Ada sesuatu yang jika diingat sangatlah menyakitkan. Dimana dia kehilangan sosok laki-laki yang telah mengajarkan artinya hidup penuh warna. Namun, setelah kepergiannya apakah hidupnya akan tetap berwarna?
Kalau saja hari itu hatinya bisa dengan lebih cepat menentukan pilihan, kalau saja hari itu mulutnya tak mengeluarkan kebohongan lagi, mungkin saja masih ada hadir dari sosok tersebut. Namun, manusia terlampau sering berandai-andai. Hari ini, dia kembali berandai-andai tentang sesuatu yang sudah tentu tak akan kembali.
"Kaila." Seseorang menepuk pundaknya.
"Ah, iya Aizan?"
"Aizan? Aku Gilam, Kaila."
Mata Kaila terkesiap melihat orang yang ada di depannya ternyata bukan Aizan. Ah, memori otaknya masih belum bisa melupakan laki-laki yang selama ini dia cari.
"Merindukannya?" tanya Gilam sembari membenarkan letak kacamatanya.
"Setiap saat."
Jawaban yang terlontar dari bibir Kaila nyatanya masih menimbulkan efek nyeri pada hati Gilam.
Dua tahun berlalu, tetapi hingga detik ini rasanya mustahil bagi Gilam untuk membuat Kaila melupakan sosok laki-laki yang telah lama pergi meninggalkannya. Aizan memang sangat berpengaruh di hidup Kaila, mungkin itu sebabnya sulit baginya untuk melupakan Aizan.
Gilam tersenyum simpul guna mengalihkan rasa sakit pada hatinya. “Aku akan pergi ke pasar malam, kamu mau ikut?"
Ajakan Gilam membuat Kaila terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk setuju untuk ikut serta.
“Aku akan berganti baju dulu."
“Baiklah akan aku tunggu.”
🌲🌲🌲
Gemerlap puluhan lampu menyerang netra Kaila. Kelopak itu sedikit menyipit guna menetralisir cahaya yang masuk. Hirup pikuk suara manusia terdengar bersahut-sahutan sebagai bukti betapa ramainya pasar malam yang biasa diadakan dua minggu sekali itu.
Dulu sekali, hal-hal seperti pergi ke pasar malam menjadi salah satu yang Kaila sukai. Bau permen kapas, suara anak kecil merengek, tawaran dari penjaga stan toko baju, serta banyaknya wahana tentu makin membuat Kaila semangat jika ada pasar malam seperti sekarang.
Ditambah dengan genggaman hangat dari sesosok lelaki dengan wajah yang jauh dari kata ramah, tapi mampu meneduhkan.
"Aizan, aku pergi ke–" Kalimat dari mulut Kaila terhenti kala netranya menangkap senyum teduh milik lelaki bernama Gilam."
"Mau beli permen kapas, 'kan?"
Genggaman dalam tangan Kaila mengendur, Gilam menjadi pihak yang melepaskan tautan tangan itu. Rasa tak enak langsung menyerang hati Kaila, lupa bahwa genggaman hangat tadi tak didapat dari sosok masa lalunya.
YOU ARE READING
Kumpulan Cerita Mini
Short StoryKumpulan kilasan cerita perihal kejadian fiksi yang mampu dibaca dalam waktu singkat, kurang dari berapa lama saya menaruh hati kepada Anda. Maaf, mari jangan membahas perihal hati. Lagi, lagi, dan lagi. Buku ini berisi cerita mini hasil gabut anak...