Sekolah sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB, sudah seharusnya gerbang sekolah ditutup, siswa yang tidak hadir lewat waktu ini tidak diizinkan melangkah masuk. Pak Yadi, Satpam 40-an tahun itu memiliki hati yang lunak, dia selalu mengambil kesempatan untuk mengukur waktu ketika menutup gerbang. Dia berpikir, memang kedisiplinan itu harus dididik, tetapi mendapatkan ilmu meskipun terlambat adalah hal yang berharga. Satpam ini mungkin sangat mengingat bagaimana kehidupan sekolahnya dulu. Meskipun dia tidak memiliki pendidikan yang tinggi akibat ekonomi yang buruk, dia sangat menghargai apa itu pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dia merasa kasihan pada siswa yang tidak sengaja terlambat, tetapi bertekad untuk mendapatkan ilmu hari ini.
07.32 WIB, Pak Yadi tidak bisa menunggu lagi. Bagaimanapun, sudah menjadi kewajibannya untuk mengikuti peraturan sekolah, dan kepala sekolah juga sepertinya memperhatikannya dari ruangannya. Meskipun kepala sekolah tahu niat Pak Yadi, dia menghargainya dan membiarkannya, selama gerbang itu tidak terbuka terlalu lama.
Pak Yadi menarik gerbang setinggi dua setengah meter dengan tubuh kecilnya. Itu sengaja dibuat sangat tinggi agar tidak ada yang bisa memanjatnya. Lagipula, siapa yang berani memanjat gerbang sekolah tepat di depan hidung kepala sekolah?
Brrrmmmm!!!
Pak Yadi sangat familier dengan suara motor ini. Dia melirik jendela ruangan kepala sekolah, dan jelas tidak ada yang namanya toleransi. Pak Yadi tahu dia juga tidak bisa memberikan pengertian apa pun lagi, suara motor ini datang ke sekolah bukan untuk ilmu, hanya untuk kerusuhan yang berkedok formalitas. Terlambat setiap hari bukan lagi kebiasannya, melainkan kehidupannya. Jadi, Pak Yadi jelas tidak akan membiarkan yang satu ini lolos. Pak Yadi menghargai orang-orang yang ingin menuntut ilmu, bukan seorang berandal yang bisanya hanya membuat kerusuhan.
Naked-bike hitam itu berhenti tepat di depan gerbang setelah pagar benar-benar ditutup. Anak dengan seragam putih abu-abu di atasnya membuka kaca helm full face-nya, matanya jelas menunjukkan penolakan terhadap realita yang disebut peraturan.
"Pak Yadi, bukain dong gerbangnya."
"Nggak bisa, Nak Argam, udah lewat waktu, ntar saya kena sama pak kepsek."
"Gapapa Pak, kepsek pasti ngerti kok."
Brrrmmmm!!!
Di tengah negosiasinya, naked-bike lain juga berdatangan satu per satu, mereka cukup banyak, rasanya seperti geng motor yang mengajak para siswa untuk tawuran. Namun, semuanya bersekolah di gedung yang gerbangnya sudah ditutup itu. Pak Yadi tidak getar sama sekali, dia lebih takut dengan kepala sekolah daripada anak-anak berandal ini.
"Yah, dah tutup? Gimana nih Gam?"
Argam tidak menggubris temannya yang hanya bisa mengeluh tanpa usaha itu. "Ayo dong, Pak. Masa terlambat tiga menit aja udah ditutup."
"Iya nih, Pak. Kepsek nggak bakal sadar, kok." Dukung Jidan, teman setia Argam dalam hal kerusuhan.
"Nggak bisa, Nak Argam, Nak Jidan." Pak Yadi sudah lelah menjelaskan apa pun. Sampai mulutnya berbusa pun, anak-anak berandal ini tidak akan peduli dengan yang namanya peraturan. Jadi dia hanya menegaskan apa yang memang tidak bisa dilakukan.
"Gimana nih Gam?" Tio tahu bahwa mereka tidak akan bisa melewati gerbang sekolah. Bukan masalah mereka tidak bisa berbuat lebih, tetapi mereka tahu bahwa ada seseorang yang sedang mengawasi mereka di kejauhan. Mereka tidak ingin mengambil resiko dengan membuat orang tersebut kehabisan kesabaran.
"Lu nggak bisa hubungin bokap lu aja gitu?" Usul Jidan.
"Dia nggak bakal peduli." Argam terdiam sejenak untuk memutar otak, mencari solusi dari masalah yang dia ciptakan sendiri. "Ikut gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sadist Ketos
أدب المراهقينArgam Guhandra, anak pemilik sekaligus kepala sekolah SMAS Bakti Jaya. Dia berandal yang selalu membuat onar, suka melanggar peraturan, sangat membangkang terhadap ayahnya yang memiliki image baik. Argam Guhandra dipertemukan oleh Iras Rahesa, ketua...