Menu 02

1 2 0
                                    

Kami sampai di Baker Street sekitar 9 malam. Jalan sudah sepi, hanya ada sedikit orang yang berkeliaran, bahkan hampir tidak ada lagi kendaraan yang lewat setelah kami. Rinai sudah mulai berangsur-angsur reda. Menambah kesan sepi Baker Street.

Atau memang seperti inilah seharusnya Baker Street yang terkenal itu. Rumah-rumah kecil dan kumuh menghiasi pandangan. Cahaya dari balik jendela bukanlah bohlam, melainkan lilin. Tampak jelas, karena jendela itu tidak memiliki kaca.

“Apa yang kau cari di sini, Inspektur Lastrade?”

“Secangkir kopi, mungkin.”

Jawaban seadanya, benar-benar khas Inspektur Lastrade. Bukannya lebih nyaman mencari kopi di tempat lain dibandingkan Baker Street?

“Seleramu benar-benar buruk, ‘kan?”

“Kenapa kau bilang begitu?” Inspektur Lastrade menyalakan rokok yang agak sedikit basah.

“Maksudku pemilihan tempatmu ... cukup mengerikan.”

Baker Street, bagi orang-orang yang sudah sampai ke titik ini pasti tidak akan sudi menginjakkan kakinya. Bagi manusia sekarang, itu adalah tempat kutukan–yang merenggut kehidupan, kebebasan, dan kebahagian–berkumpul.

“Apa kau juga berpikir Baker Street adalah tempat terkutuk, Inspektur Watson?”

Aku terdiam, nada suara yang dia lontarkan barusan terdengar berbeda dari cara bicaranya selama ini. Nada yang rendah dan juga, ada sedikit kegelisahan. Memikirkan kembali pertanyaan Inspektur Lastrade, aku benar-benar tidak bisa menjawabnya.

Dari salah satu rumah kumuh yang kami lewati, gadis kecil berpakaian lusuh keluar sambil memeluk tangannya yang kedinginan. Matanya nan kuning menyala beradu pandang dengan kami.

“Um, kalian mau apa?”

Suara pelan itu bercampur sedikit keraguan. Wajahnya yang bingung itu bisa dimengerti. Gadis kecil ini, sepertinya baru pertama kali melihat orang lain mengunjungi Baker Street.

“Apa Kafe Holmes sudah buka, gadis kecil?”

“Ah, kalian pasti pelanggannya Kak Adam. Sayang sekali, Kak Adam sedang sibuk. Mungkin dia tidak bisa diganggu sekarang.”

Gadis kecil nan tadinya kebingungan kini berbicara dengan ekspresi cerah. Meski begitu, dirinya masih gemetar karena hujan yang tak kunjung reda. Tangannya bahkan lebih kuat untuk memeluk dirinya sendiri.

“Begitu, ya. Terima kasih, gadis kecil. Lebih baik kau kembali ke rumah dan duduk di depan perapian sambil minum coklat panas.”

Kata-kata Inspektur Lastrade terdengar hangat dan perhatian. Sungguh berbeda dengan sikapnya yang biasa suka mengomel dan mengoceh hal-hal tidak perlu. Namun ....

“Rumahku tidak punya perapian.” Gadis itu menunduk setelah memberikan jawaban yang terdengar sedih. Dia lalu mengangkat kepalanya yang kembali menatap kami sambil tersenyum. “Kalau begitu, aku mau pergi ke rumah Bibi Hudson dulu.”

Ketika dia ingin pergi, tanpa sadar aku membuka mulut. “Mana orang tuamu?”

Dia berbalik, menatapku kembali dengan heran. Sorot matanya yang kuning menyala terlihat menyeramkan di bawah rinai yang berangsur-angsur reda.

“Aku tidak tahu,” sahutnya kemudian kembali berjalan meninggalkan kami.
Untuk beberapa saat aku terdiam. Aku mengerti apa yang dimaksud gadis mungil tetang ‘aku tidak tahu’.

Dia dibuang oleh orang tuanya.
Mata kuning yang menyala yang dimilikinya adalah kutukan. Kutukan yang dijatuhkan oleh langit atas dosa manusia itu sendiri. Anak-anak yang kurang beruntung karena memiliki kutukan tidak akan punya masa depan lagi. Entah mereka dibuang atau dibunuh oleh orang tua mereka sendiri.

Baker Street adalah tempat kumuh yang menjadi tempat mereka bernaung setelah dibuang atau dikucilkan. Oleh karena itulah, tempat ini dinamakan tempat terkutuk.

Sejak lahir sebenarnya tidak ada siapa pun yang menginginkan mata kuning itu. Hanya saja, nasib tidak beruntung jatuh kepada mereka.

“Apa kau masih berpikir kalau tempat ini tempat terkutuk?”

Pertanyaan barusan membuatku kembali memandang sekitar. Rumah-rumah kumuh yang tak layak huni–sebagian sudah hampir menjadi puing–menyakiti mata. Anak-anak yang keluar ketika hujan reda dengan pakaian lusuh dan ekspresi kosong.

Jalanan yang kami lewati sampai kemari pun bisa dibilang sangat kotor. Benar-benar tempat yang cocok dengan sebutannya. Akan tetapi, apakah mereka yang tinggal di sini benar-benar bisa disebut sebagai kutukan?

“Jujur aku takut dengan mereka. Tapi, menyebut mereka sebagai kutukan itu sedikit agak tidak mengenakkan.”

Benar, anak-anak di sini bukanlah kutukan. Mereka hanyalah korban. Korban dari kejamnya manusia, dan juga takdir yang mengambil segalanya dari mereka.

“Kalau aku, tentu saja menganggap ini adalah tempat terkutuk. Dan meraka adalah kutukan untuk manusia.” Inspektur Lastrade menatap anak-anak yang keluar dari rumah dan berjalan pergi entah ke mana.

Sorot mata itu jelas sekali menyimpan dendam, amarah, dan sesuatu yang lain. Suaranya barusan juga terdengar lebih berat dari biasanya. Pemikirannya kalau anak-anak yang ada di sini adalah kutukan merupakan sesuatu yang ditempa dari lama dalam jiwanya.

“Tapi, dilihat bagaimanapun, mereka anak-anak yang tidak bersalah. Mereka ....”

“Belum.”

Kata-kataku dipotong oleh suara Inspektur Lastrade yang dingin. Meski melihat ke depan, aku sama sekali tidak melihat pantulan di matanya. Seolah, dia berada dalam kegelapan sambil terus mengeluarkan kutukan pada mereka.

Anak-anak kutukan atau lebih sering disebut darah penyihir, mereka adalah anak-anak tak beruntung yang terpaksa menerima benih dari kesalahan manusia di masa lalu. Manusia yang takut dengan darah penyihir mengucilkan mereka.
Sebelumnya, juga ada usulan untuk membakar seluruh darah penyihir. Untungnya Ratu berhasil menghentikan usulan ini dan membangun Baker Street untuk mereka yang telah ditelantarkan. Darah penyihir yang muncul pertama kali adalah sekitar 50 tahun lalu.

“Mereka, hanyalah anak tidak bersalah yang terpaksa menanggung dosa manusia!”

“Sudah kuduga kau akan mengasihani darah penyihir. Akan kuperingatkan satu hal untukmu, Inspektur Watson. Rasa kasihan, simpati, dan lainnya sama sekali tidak akan membantu. Dunia ini sudah busuk sejak awal.” Inspektur Lastrade melanjutkan langkahnya.

“Kau mau ke mana sekarang”

“Kafe Holmes.”

“Bukannya kata anak tadi pemiliknya sedang sibuk?”

Apa yang sebenarnya pria tua ini ingin lakukan?

“Palingan anak itu hanya bermalas-malasan. Lebih bodohnya lagi, mungkin dia sedang tenggelam dengan penelitiannya,” Inspektur Lastrade diam sebentar sebelum menoleh ke arahku dan berkata, “kita juga bisa menemui orang lain di sana. Ya, semoga orang itu bisa ditemui.”

Siapa lagi yang dia maksud? Tidak sejak awal dia juga tidak memberi tahu siapa yang sebenarnya ingin dia temui.
Benar-benar orang yang menyebalkan.

“Apa orang yang ingin kau temui juga darah penyihir?”

“Tidak, dia anak yang normal. Ah, bukan. Kelihatannya kata normal sangat jauh darinya.”

Inspektur Lastrade tampak bingung sendiri menjelaskan orang itu. Dia bahkan menggaruk kepalanya berkali-kali, mencari jawaban yang sepertinya tertimbun jauh.

Angin bertiup, menerpa kami di sela-sela bangunan kumuh yang hampir roboh. Beberapa anak kecil dan juga remaja duduk di luar sambil menyelimuti tubuh mereka dengan kain kumal yang bolong sana sini.

Kami terus berjalan, melewati mereka yang menatap kami denga perasaan asing. Muka mereka lesu, bahkan ada yang terlalu kurus untuk anak seusianya. Namun, mata kuning menyala itu tetap saja membuatku ngeri. Seperti makhluk buas yang mengintai dari balik tirai malam.

Akhirnya kami berhenti di depan bangunan besar tiga lantai yang terlihat kuno. Terbuat dari batu-bata putih tua. Ada papan nama antik menghiasi atas pintu masuk, tertulis ‘Kafe Holmes’ yang digantungi lampu kerlap-kerlip.

Jendela berjejer di lantai dua, sementara lantai tiga hanya memiliki satu jendela bulat di tengah. Lantai utamanya bahkan hanya memiliki dua jendela panjang di depan. Sangat berbeda dengan bangunan lainnya.

“Selamat datang di Kafe Holmes, Inspektur Watson.”

Selamat Datang Di Kafe HolmesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang