3

5.3K 23 0
                                    

Tawa Talia sekejap terhenti ketika matanya beradu pandang dengan supervisornya. Membuat teman-teman yang duduk di meja yang sama dengan Talia juga melakukan hal yang sama dan melihat apa yang telah membuat Talia melakukan tindakan yang signifikan. Senyum Talia tersimpul lalu mengangguk tipis menyapa atasannya tersebut.
"Pak Teza." Sapa Talia.
Yang lain mengikuti menyapa supervisor mereka setelah didahului Talia yang memang menyadari keberadaan supervisor itu lebih dulu.
"Hi semua.. Enjoy the lunch, ya."
"Ok pak!!" Beberapa orang menjawab serentak.
Riuh karyawan yang sedang makan siang di cafeteria bersisipan dengan riuhnya meja Talia serta kawan-kawannya. Seolah makan beberapa menit yang lalu dan beberapa menit kedepan bukanlah beban bagi semuanya.
"Gimana Tal?"
"Apanya?" Talia kebingungan dengan pertanyaan yang dilontarkan Yasmin
"Lu gak denger omongan Namira?"
"Sorry gak denger. Apaan tadi?"
"Baliknya mau mabora kemana?"
"Hmmm ke... Mana ya? Gak tau deh gua. Gak ada ide."
"Yeu.. lu mah." Yasmin dengan bercanda mengolok Talia. "Back to basic ke Vamos aja kayak biasa kali ya?"
"Jangannn." Timpal Dharma. "Mending ke Lovey Sky."
"Enak di elu gak enak di gua itu mah." Garry menimpali. "Biar lu baliknya tinggal ngesot kan? Hafal banget gua sama lagu lu."
"Ok Vamos ya. See you guys again tonight." Namira bersuara untuk mengakhiri perdebatan yang sudah tau keputusannya.
"Saya gabung disini, ya?" Tanpa aba-aba Teza duduk di kursi kosong meja yang mereka tempati.
"Boleh dong, Pak. Sini.. sini.." Dharma mempersilahkan supervisornya untuk duduk bersama.
Talia di tempat duduknya agak rikuh. Ia tidak mau semeja dengan atasannya karena ini negara timur dan mereka masih menganggap bahwa atasan adalah posisi yang lebih superior daripada bawahannya. Terlebih memang akhir-akhir ini performa Talia di kantor turun 3% dan entah mengapa melihat supervisornya ada diantara mereka membuat Talia terhantui oleh angka tersebut.
Dari bawah meja, Namira memegang tangan Talia mengetahui situasi perempuan itu sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jemari Namira mengelus lembut punggung tangan Talia sebelum kembali meletakkan tangannya sendiri diatas paha.
Tentu Namira, Yasmin, Dharma dan Garry tahu betul performa Talia semenjak perempuan itu sendiri yang menginformasikan bahwa perfomanya turun signifikan.
Makanya, tanpa satu detik terbuang, Namira langsung memberinya semangat begitu Teza gabung dengan mereka disana.
Yang lain diam-diam sama bersimpatinya juga terhadap Talia yang niatnya ingin terbebas dari beban pekerjaan selama satu jam istirahat makan siang namun tak ada yamg menyangka bahwa istirahat Talia tidak akan membiarkannya terlepas dari realitanya. Maka dari itu teman-teman Talia berusaha untuk menyambut Teza dengan baik agar tidak ada awkward moment di meja makan mereka.
Jam digital berukuran satu meter yang menggantung di tembok cafeteria telah menunjukkan pukul 13.31. Biasanya Talia akan merutuk dalam hati ketika ia melihat keterangan suhu di jam digital tersebut. Tapi hari ini, biarpun suhu berada di 30° celcius, Talia seakan tidak memedulikan hal tersebut. Performanya turun 3% dan ketika Talia hanya ingin waktu santai dalam makan siangnya, ia malah mendapatkan Teza duduk disana bersama mereka.
Secara umur, Teza masih 28 tahun. Bukan tipe supervisor yang akan bawel dan otoriter. Tapi memang Talia hanya ingin waktu untuk membuat dirinya lebih rileks. Dan itu berarti tidak termasuk Teza di dalamnya.
"I'm done, saya duluan pergi, ya? Tetap semangat kerjanya setelah ini."
"Baik, Pak Teza. Semangat juga." Garry membalas tidak kalah supportivenya.
"Kayaknya gua skip dulu malam ini deh." Talia merasa untuk lebih baik memperjelas ketidakikut sertaannya dalam bersenang-senang malam ini. "Gua butuh tidur seharian."
"Ok, Tal. Everything what makes you better, go get it. And comeback stronger tomorrow, ok?" Yasmin dengan bijak dan mengayomi itu memberi Talia support mental juga.
Divisi audit delivery dari perusahaan makanan kemasan yang Talia duduki memang diharuskan untuk tetap memiliki performa yang sangat baik. Kalau bisa. Tapi manajer audit delivery mereka mencoba untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat sehingga standar performa diturunkan menjadi 89%, tidak perlu mengharuskan setiap karyawannya kejar target diatas itu. Tapi kalau bisa, akan lebih bagus. Makanya, penurunan performa 3% bagi perusahaan sudah lampu kuning. Tinggal menghitung hari saja hingga Talia mendapatkan SP.
Perusahaan tempat Talia bekerja adalah perusahaan grup F&B yang menciptakan ratusan merk makanan dan minuman dengan berbagai pangsa pasar. Kalau orang awam, tidak akan menyangka bahwa merk terjangkau dan merk prestisius yang biasa mereka lihat di pasar/mall/supermarket atau retail lainnya merupakan diferensiasi produk dari perusahaan yang sama.
"We got you, Tal. Ini bukan endingnya kok. Kebetulan lu lagi ada di bad moment aja. It's not the bad life. Ok?" Dharma ikut menyemangati.
"Thanks guys. Those are really meant for me. Hmm.. Gua ke toilet dulu, ya?" Talia berpamitan dan bergegas menuju toilet.
Belum sempat sekujur urat nadi Talia rileks, ia malah berpapasan lagi dengan Teza saat hendak ke toilet yang sialnya saat itu Teza baru keluar dari toilet pria dan Talia hendak masuk toilet wanita disampingnya sehingga tidak ada alasan bagi Talia untuk pura-pura tidak melihat Teza disana.
Lagi, Talia mengulang sapaannya seperti tadi di cafeteria. Minus panggilan nama sehingga Talia hanya melakukan gesture saja.
"Talia?" Panggil Teza sebelum perempuan itu masuk toilet.
Untuk sepersekian detik, tubuh Talia seakan membeku. "Ya Pak?" Akhirnya Talia memaksakan diri menjawab.
"This too shall pass."
Talia nyaris bingung harus menjawab apa. Dirinya sangat lelah psikis hari ini. Untuk duduk di meja kerjanya sendiri saja dia merasa enggan. "Terimakasih." Dan Talia segera masuk ke toilet tanpa mau berlama-lama.
Tidak jarang Talia menangis ketika pulang kerja. Dirinya merasa bahwa hidup begitu melelahkan entah mengapa. Apakah karena ia baru merasakan tahap dewasa yang sebenarnya? Intinya Talia sudah tidak suka dengan kenyataan bahwa masa depan ada di tangannya sendiri. Karena itu berarti apapun yang Talia lakukan, ia sudah akan mempertanggungjawabkan semuanya sendiri. Bahkan untuk urusan dapurnya. Bahkan saat Talia merasa ia sudah tidak mau bekerja. Bahkan saat Talia sedang tidak ingin bangun dari ranjangnya. Semua itu akan berdampak dalam hidupnya.
Bahkan Talia pikir ia nyaris lupa akan bagaimana rasanya menjadi anak yang masih semuanya ditanggung orang tua.
Kaki yang lunglai mencoba bertahan membawa tubuh Talia sendiri untuk pulang. Ia tidak ingin ke rumah dan bertemu orang tuanya dengan beban psikis sangat berat hari ini. Ia hanya ingin tidur hingga besok oagi sehingga Talia memutuskan untuk ke kos barunya. Tempat dimana tanpa seorangpun tahu bahwa Talia menyewanya. Kecuali Bara. Dan Talia harap, Bara sedang ada di tempatnya sendiri hari ini.

Bara dan TaliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang