"Nghh..."
Seorang gadis berusia sembilan belas tahun mengerang, ia membuka matanya perlahan menyesuaikan pancaran cahaya yang masuk.
"Aw!"
Ia lansung meringis sakit merasakan nyeri di selangkangannya saat hendak berganti posisi duduk. Merasa ada yang aneh, pandangan beralih ke bawah tubuhnya. Matanya melebar... ternyata ia tidak mengenakan apa - apa!
Yang lebih membuatnya bertambah shock ialah fakta bahwa tubuhnya dipenuhi banyak cupang sampai beberapa ada yang bewarna kebiruan serta ada bercak darah di sprai yang ditempatinya!
Karena terbangun sendirian, matanya lansung menelisik ke segala penjuru ruangan yang sangat asing seiring dengan otaknya yang mendadak harus berpikir keras tentang apa yang sebenarnya tadi malam.
Air matanya perlahan mengalir, ia akhirnya ingat.
Untuk pertama kalinya semalam ia menginjakkan kaki ke salah satu klub malam terbesar di Jakarta.
Orang - orang mengenalnya dengan nama Jennie Ruby Jane, anak tunggal dari keluarga yang sangat berpendidikan. Ayahnya bernama Reza Rahardian berprofesi sebagai pengacara ternama sementara ibunya bernama Michelle Zudith berprofesi sebagai dokter sekaligus pemilik rumah sakit terbesar di Jakarta.
Dengan gen kedua orangtuanya yang pintar membuatnya tumbuh menjadi anak yang cerdas. Dari sekolah dasar sampai jenjang akhirnya SMA ia selalu mendapatkan Ranking juara umum satu hingga akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan sebagai Mahasiswa jurusan hukum menuruti jejak sang ayah.
Sembilan belas tahun dalam hidupnya yang selalu tergabung dalam ruang lingkup positif, baru kali ini ia tergiur sekaligus penasaran dengan pergaulan bebas anak seumurannya.
Bukan tanpa alasan, terhitung hampir dua minggu ini otaknya dipenuhi oleh cerita teman seangkatannya yang selalu bercerita jika setiap malam minggu mereka akan melakukan party di club malam lalu menikmati minuman alkohol sepuas - puasnya sampai mabuk.
Jennie yang pada dasarnya tidak bisa berhenti memikirkan itu akhirnya menyetujui untuk datang ke club bersama teman sekelasnya. Ia datang tanpa sspengetahuan dua sahabatnya, Irene dan Rose yang dari awal mengingatkannya untuk tidak hadir ke tempat tersebut.
Untuk pertama kalinya semalam ia menginjakkan kaki ke salah satu klub malam terbesar di Jakarta. Ia awalnya merasa pusing dan tak nyaman karena kelap kelip lampu disco serta musik RnB keras yang hampir memekakkan telinga. Ia mencoba berbaur kedalam obrolan lalu meminum apa yang teman sekelasnya minum.
Merasa ketagihan dengan Soju yang mempunyai rasa yang enak itu membuatnya terus - menerus meneguk minuman alkohol tersebut sampai ia tidak sadar ia sudah mabuk.
Ia merasa tubuhnya seakan malayang, namun beban dipikirannya terasa semuanya terangkat dan tentu saja entah mengapa moodnya tiba - tiba sangat membaik.
Ia bangkit berdiri saat seseorang datang menuntunnya pergi ke ruang dansa. Yang dia ingat ialah mereka bersenang - senang menari bersama sampai pada akhirnya, orang itu dengan berani mencium bibirnya lalu mulai berani mencumbui tubuhnya dan berakhirlah mereka bercinta di kamar hotel mewah ini.
Yang membuatnya bingung, ia tidak menyangka jika orang itu merupakan perempuan yang mempunyai penis atau bisa disebut dengan interseks.
Ia tidak habis pikir keperawanannya direngut dengan cara yang sangat menjijikan seperti ini.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka membuat pandangan Jennie lansung tersentak lalu cepat - cepat menghapus air matanya. Ia lansung kembali membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut lalu menatap garang ke arah perempuan yang sudah berpakaian rapi tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, proporsi tubuh perempuan itu sangat tinggi melebihi minimal tinggi badan pria di Asia. Wajahnya sangat cantik dengan poni menutupi jidatnya, matanya bulat dengan bulu mata sangat lentik, hidungnya mancung, rahang yang tegas, serta bibir tebalnya yang tampak sexy menjadi alasannya tanpa sadar bahwa ia tidak bisa tidak tergoda dengan sosok sempurna tersebut.
Merasa atmosfer dalam kamar terasa sangat panas membuat perempuan itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia memberanikan diri membuka suara sambil tersenyum manis seakan mereka saling mengenal.
"Oh, udah bangun ternyata... Good Morning, cantik."
"......"
Jennie tidak menjawab melainkan sorot matanya bertambah sangat tajam terlihat sangat menyimpan amarah.
Yang ditatap akhirnya menghela nafasnya berat. Ia perlahan melangkah menghampiri Jennie lalu duduk dipinggir ranjang menghadap gadis itu.
"Okay i'm sorry... Gue gatau kalo lo eum... kalo lo masih virgin."
"....."
"Tapi tenang aja, semalem gue pake kondom kok. Lo ga bakal hamil tenang aj——"
PLAK!
"Argh!"
Jennie menampar dengan keras pipi kanan perempuan itu melampiaskan amarahnya. Air matanya kini kembali mengalir dengan tubuhnya yang bergetar.
"Lo bangsat! hamil atau engga gabisa ngerubah fakta kalo gue udah ga virgin! Hiks!"
Dahi perempuan itu mengerut tak suka karena seumur hidupnya tidak ada yang berani menampar bahkan melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Egonya merasa terlukai apalagi ia seolah satu - satunya pelaku yang bersalah disini.
"Terus mau lo apa?! Kalo lo mau ngejaga virginity lo terus ngapain pergi ke klub hah?! Lo maunya cuma di grepe - grepe doang tanpa mau dimasukin?! Kocak lo!"
Mata Jennie melebar, hatinya sangat sakit mendengar kalimat menjijikan yang keluar dari mulut perempuan itu.
"ITU PERTAMA KALI GUE KE KLUB! GUE BUKAN WANITA MURAHAN! JAGA LISAN LO!" Pekiknya frustrasi.
"OH YA?! TERUS CUMA GUE YANG SALAH GITU? KALO PERTAMA KALI HARUSNYA LO GAUSAH MABUK! LO MAU NGANDELIN TEMEN - TEMEN LO BUAT NGEJAGAIN LO GITU? JAGA DIRI MEREKA SENDIRI AJA GABISA! LO KALO GAMAU TERIMA RESIKO JANGAN COBA - COBA MASUK!"
"HIKS~"
Apa yang diucapkan oleh perempuan itu tidak bisa disanggah lagi oleh Jennie. Semua kalimat yang keluar dari bibir si perempuan sepenuhnya benar. Ia harusnya menuruti perkataan kedua sahabatnya yang menyuruhnya untuk tidak datang ke klub sialan itu.
Pada akhirnya, yang bisa disalahkan disini ialah dirinya sendiri.
"HUAAAAAAA~"
Melihat Jennie yang terisak hebat membuat amarah perempuan itu memudar berganti menjadi rasa iba. Mau bagaimana pun, ini adalah pengalamannya menyetubuhi perawan dan entah mengapa hatinya ikut merasa sakit melihat Jennie menangis.
Ia membiarkan Jennie menumpahkan tangisannya sambil ia berpikir cara terbaik untuk keduanya. Akhirnya, ia mencoba memantapkan dirinya sendiri berkata,
"Gue tau ini bukan saat yang tepat. Gue juga salah dan gue mau tanggung jawab atas lo. Denger baik - baik, mulai saat ini lo jadi pacar gue. Ga ada penolakan karena ini pernyataan. Lo jadi pacar Lalisa Bruschweiller mulai sekarang."
— I'M YOURS —