Sejak kecil bola kecil cokelat itu mengamati sekitarnya lebih baik daripada orang lain, apalagi anak seumuran. Dia mengerti lebih banyak, tetapi tidak membuatnya mendapat kesenangan.
Mungkin benar kata pepatah, tahu lebih sedikit lebih baik. Seiring bertambah umur, meski badan kecil itu tidak bisa dibilang dewasa, Atsumu paham sesuatu. Tentang apa yang dulu selalu diceritakan bunda, kehangatan dan cinta itu semua tidak akan bertahan lama.
Anak kecil yang tumbuh di lingkungan buruk. Bagi sebagian anak lainnya yang tak mengerti apa-apa, mereka bisa menangis dan tertawa lepas. Sekalipun ada kejadian aneh, mereka akan bertanya lalu lupa.
"Atcumu!!" Suara cadel yang khas beserta rambut silver yang kian mendekat. Senyum itu lebar, menatap agak kagum pada orang di depannya.
"Gin!" Yang dipanggil melambaikan tangan. Begitu Ginjama keluar dari rumah, matanya tertuju pada sang tetangga sedang menyiram tanaman di halaman.
Melihat Atsumu yang terampil menyirami tanaman membuat tetangga kecilnya terkagum-kagum. Begitulah anak-anak mudah kagum dan tersanjung. Seperti pun Atsumu yang menghadapi mata pemujaan Ginjama membuat hidungnya seakan terbang, membusungkan dada lebih tinggi.
"Atcumu keren! Jago banyak hal!!" seru Gin mengacungi jempol membuat yang dipuji mendongakan kepala, sebelum kembali jatuh karena perkataan menusuk orang yang menghampiri mereka dari belakang.
"Tcumu tanamannya udah disiram sama bunda. Yang ada nanti mati bukannya tumbuh. Tcumu bodo!"
"Camu!!" Teriakan tidak terima dari kembar siam itu terdengar kencang dan sudah jelas apa yang terjadi selanjutnya. Selang air kembali diputar berlawanan arah, semburan cairan itu menghantam langsung wajah saudaranya. Wajah Osamu benar-benar terguyur air keras tanpa ampun.
Teriakan dan umpatan terdengar saling bersahutan, pada akhirnya mereka kejar-kejaran hingga lumpur kotor dari halaman meninggalkan jejak-jejak mungil kaki si kembar di teras rumah.
Dug! Suara keras itu membuat ketiga anak itu terdiam sunyi sesaat. Sebelum raungan yang lebih kencang menyusul kemudian menarik perhatian warga sekitar, termasuk sang bunda sedang membereskan rumah melihat kekacauan yang dibuat si kembar.
"Tsumu! Samu! Kenapa teras rumah kotor?! Bunda baru aja pel tadi." Pekikan melengking segera meredakan kemarahan si kembar, mereka menyusut ketakutan saat tersadar telah membuat teras rumah kotor dengan jejak kakinya.
"Maaf bunda, salah Camu ngejar-ngejar Tcumu," lirih yang tertua dibalas tatapan sengit.
"Tcumu yang salah bunda! Semprot Camu air!" Kedua telunjuk itu saling mengarah dan menuduh, tanpa ada yang mau mengalah. Keduanya sama dalam hal kekeraskepalaan.
Sang ibu yang menyaksikan keduanya saling bertengkar tanpa ada tanda-tanda akan berhenti hanya bisa menggeleng kepala sembari memijit pelipisnya yang semakin pening. Satu anak berasa menghadapi empat orang, ditambah mereka kembar membuat ibunya hanya bisa menghela napas panjang-panjang. Double-double ricuhnya.
"Masuk rumah lewat belakang! Hukumannya kalian gak boleh main seminggu!!" Tanpa menerima protes apa pun sang bunda melenggang memasuki rumah. Ginjama yang menyaksikan dengan linglung, merasa tidak nyaman yang akhirnya memilih pulang.
Kedua anak yang tersisa tertunduk lesu. Serasa akan dipenjara puluhan tahun karena tidak bisa bermain selama seminggu. Menggurung diri di rumah benar-benar penyiksaan yang ampuh.
. . .
Kejadian terakhir itu, hari di mana Atsumu melihat Ginjama, teman masa kecilnya yang tidak pernah kembali. Bukannya dia tidak mengira-ngira apa yang terjadi, tetapi untuk dulu dirinya yang baru menginjak tujuh tahun belum bisa mengartikan segalanya secara gamblang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Must Be Until The End || Sunaatsu
FanfictionAtsumu terlalu takut untuk berharap pada perlakuan Suna yang terasa berbeda. Cinta itu bohong, 'kan? Kalau benar adanya tidak mungkin kedua orang tuanya yang saling mencintai akhirnya memilih berpisah juga. Start: 6 November 2021