Balutan jaket menutupi tubuhnya, setelah bersiap cukup lama Atsumu melihat pantulan dirinya di cermin. Memaksakan senyum untuk selalu terkembang di sana, di luar rumah dia harus menjadi sosok yang ceria dan penuh tawa. Begitulah janji Atsumu pada dirinya sendiri.
Dia turun agak lambat, melihat meja makan yang sudah kosong diam-diam menghembuskan napas lega. Meskipun hatinya merasakan hal lain. Meja itu untuk sekarang dan ke depannya, tidak akan pernah Atsumu duduki lagi. Dia cukup tahu diri tidak ingin merusak suasana, karena jelas kehadirannya tidak diinginkan.
"Gue miskin banget ya anjir. Mau kerja gak boleh pulang telat, dari mana dapat duit coba," keluhnya dalam perjalanan ke sekolah menaiki busway. Menggengam uang yang tidak lebih dari dua puluh ribu di tangan.
Sudah sejak sebulan lalu uang jajan Atsumu di-stop bunda. Walaupun sedari dulu memang sangat jarang dia mendapatkan uang saku. Untuk sekolah saja dia harus menyisihkan baik-baik sisa uang jajannya. Menabung untuk hari esok. Menghembuskan napas lelah, akhirnya kaki jenjang itu memasuki sekolah.
Atsumu menjatuhkan dirinya di kursi kayu, menyedekapkan kedua tangan di atas meja mencoba untuk tidur dengan perut keroncongan. Perih, tetapi mau bagaimana lagi. Tidak ada sarapan untuknya.
"Atsumu, pagi!" Sapaan cerah Suna melayu sesaat melihat Atsumu yang tampak lesu.
Atsumu hanya membalas dengan deheman kecil, sementara Suna duduk di kursinya. Bersebelahan, menatap teman sebangkunya yang tampak tak biasa. Benar, memakai jaket, sampai ujung jarinya hampir tertutupi sempurna, juga tudungnya yang menghalangi sebagian besar wajah cantik itu. Menurut Suna.
Pasti karena luka kemarin belum sembuh, diam-diam Suna juga menghembuskan napas panjang lalu bertanya, "Lo udah sarapan, 'Tsum?" Yang ditanya hanya menggeleng kecil.
Segera setelah mendapatkan jawaban Suna langsung bangkit keluar kelas, membuat Atsumu bangun dengan bingung. "Mau ke mana?"
Pertanyaan itu tak mendapatkan jawaban selain dari Suna yang berbalik sebentar sambil tersenyum. Atsumu mencibik kesal, terserahlah lelaki itu mau ke mana, bukan urusannya. Meski pikirannya mengatakan seperti itu, tetapi dalam hati dia juga penasaran.
. . .
Sesuatu diletakkan di atas meja, Atsumu melihat si pelaku dengan tatapan bingung seolah bertanya 'apa ini?'. Perlahan Suna membuka kantong plastik hitam yang dia bawa, styrofoam putih di dalamnya berisi bubur ayam. Jadi, Suna yang tiba-tiba pergi itu membeli sarapan untuknya?
"Buruan makan!" Perintah lelaki itu mendesak bubur itu ke arahnya. Atsumu hanya memandangi makanan di hadapannya dengan enggan. Dia tidak memiliki nafsu makan saat ini.
"Gue gak lapar, Rin—"
"Bohong!" sela Suna cepat membuat Atsumu menghembuskan napas kesal.
Pasti sahabatnya itu akan terus memaksa Atsumu untuk makan meskipun dia benar-benar tidak mau. Perutnya semakin melilit nyeri, mau bagaimana lagi dia mengambil sendok plastik itu dan mulai memasukkan sesuap bubur.
Melihat tangan yang bergetar karena tremor itu Suna segera mengambil alih. Sebelum si pirang melayangkan protesan, dia sudah terlebih dahulu memberikan tatapan tajam mengandung perintah tersirat untuk mengikuti keinginan lelaki tersebut.
Atsumu hanya bisa pasrah menerima suapan dari Suna, terkadang bila asap dari bubur itu masih menggempul ditiup perlahan sebelum diberikan kepadanya. Suna juga dengan telaten mencoba sedikit dulu buburnya memastikan masih panas atau tidak.
Sedikit dia mendongak, menemukan Suna yang tengah meniupi bubur. Jarak di antara mereka begitu dekat, lalu bagaimana atsumu menjauhkannya? Menyingkirkan lelaki ini dalam hidupnya adalah ketidakmungkinan. Dia enggan, tetapi memaksakan diri melakukan hal tersebut. Jangan buat aku semakin jatuh, Rin, batin Atsumu mengalihkan pandangan meski masih menerima suapan.
Segala yang bersamanya hanyalah kesakitan, Atsumu tidak ingin Suna merasakan hal yang sama. Setelah sarapan itu selesai, mereka melanjutkan sekolah dengan tak satu pun kata keluar dari mulut Atsumu. Meski ragu, Atsumu tetap harus melakukannya. Dia tidak ingin Suna terluka.
Tidak ingin dirinya terluka lagi karena percaya akan cinta. Mereka hanya sahabat. Tidak lebih, tidak boleh.
. . .
"'Tsum, gue salah apa?" Begitu pergantian kelas, mereka berjalan menuju laboratorium kimia. Suna mencekal tangannya, menghentikan jalan mereka di koridor yang sepi.
Atsumu menunduk, tidak menjawab. Lelaki itu seolah bisu, tidak ada lagi celotehan ceria ataupun tawa kesenangannya.
Suna benar-benar terganggu dengan hal itu, dia tidak tahan didiamkan. Sudah cukup menahan diri selama tiga hari, memikirkan apa yang salah? Namun, tak kunjung mendapat jawaban.
"Setidaknya 'Tsum, kasih tahu gue salah gue di mana? Biar gue perbaiki, intropeksi diri. Please, jangan diemin gue." Suna mengacak rambutnya dengan satu tangan begitu frustasi, melihat itu Atsumu benar-benar tidak tega.
Bukan salah lo, Rin. Semua karena gue, lo bakal lebih sakit kalau sama gue, balas Atsumu membatin, tak mampu bibirnya berkedut untuk bersuara secara nyata. Pegangan tangan Suna coba dia lepas paksa dengan berbalik arah menuju laboratorium. Belum sempat Atsmu berjalan jauh, kali ini tubuhnya ditangkap dari belakang. Suna mendekapnya, begitu erat.
"Maaf." Satu kata itu terus diulangi, sementara kepalanya tenggelam dalam di bahu Atsumu. Tidak bisa, rasanya begitu mencabik-cabik hati melihat Suna seperti ini.
"Lepas," pintanya terdengar pilu. Suna menegakkan kepalanya mendengar hal tersebut. Pelukannya melonggar, sebelum Atsumu kembali lolos begitu saja.
Tanpa memikirkan apakah ada orang yang menyaksikan mereka, rambut pirang itu bergoyang karena tergesa-gesa. Menjauh, menjauh. Suna mematung di sana, menatap cahayanya yang semakin pergi, berbalik ke arah berlawanan. Tidak peduli lagi dengan bolos sekalipun.
Sadar ataupun tidak, perasaan yang mereka pendam masing-masing akhirnya berbalik arah saling menyakiti diri sendiri. Rasa yang sama, tetapi keinginan untuk saling membahagaikan tanpa bersama itu hanya membawa luka. Perlu waktu untuk keduanya menyadari itu.
. . .
Lebu note:
Haii-haii! Aku balik lagi. Oh, iyaa mau kasih peringatan takutnya ke-trigger sama cerita ini, yang punya trauma tentang KDRT sejenisnya, harap jangan dilanjut aja yaa. Aku enggak bertanggungjawab kalau masih mau baca cerita ini, karena itu inti permasalahan Atsumu. But, tetep aja ini tentang Sunaatsu, aku jamin happy ending😘. Please support me with vote and follow my account🥺. Luv all💙.
KAMU SEDANG MEMBACA
Must Be Until The End || Sunaatsu
Fiksi PenggemarAtsumu terlalu takut untuk berharap pada perlakuan Suna yang terasa berbeda. Cinta itu bohong, 'kan? Kalau benar adanya tidak mungkin kedua orang tuanya yang saling mencintai akhirnya memilih berpisah juga. Start: 6 November 2021