Secarik kertas dalam genggaman tangannya itu terlihat bertinta merah gelap yang menakutkan. Kembali dia lipat seperti semula, memasukannya ke dalam saku. Bohong jika hatinya tidak bertanya-tanya siapa yang mengirimi dia surat seperti ini. Sedari dulu.
"JAUHI SUNA, JALANG!!!"
Menghela napas berat Atsumu menundukkan kepala sebelum kembali lagi mengangkatnya sesaat kemudian. Wajah lesu, kecewa dan sedihnya sirna begitu saja, digantikan senyum manis membawa energi positif kepada siapa pun yang melihat. Siapa pun yang mengirimnya pasti ingin membuat dia bersedih, tetapi Atsumu akan melakukan sebaliknya.
"Pagi, Suna!" sapanya sontak membuat yang dipanggil terperajat kaget disambut senyum yang amat manis itu bagaimana mungkin kedua iris kehijaun itu tidak membulat sempurna. Mimpi apa dia semalam disapa bidadara tampan pagi-pagi.
"Gak usah alay," potong Atsumu sudah melihat gelagat aneh Suna mengelus-mengelus dadanya sembari tersenyum cabul. Kadang dia pun heran kepada terbesit di otaknya menyukai lelaki modelan Suna. Meskipun memang sampul tampangnya tampan, sih.
Baru saja Suna akan berselebrasi, sudah dipenggal begitu saja anggan-anggannya. Senyum manis bidadaranya berubah menjadi tampang jijik melihatnya. Rasa manis itu seketika berubah menjadi kecut, asem!
Seolah menyadari sesuatu yang tidak biasa, mata sipit itu langsung menatap lurus ke orang sebelahnya sampai Atsumu merasa risih ditatap begitu. Alisnya terangkat satu seolah mengatakan 'apa?!' dibalas dengan kekehan puas sampai senyum menyebalkan itu menutupi matanya yang hanya separuh terbuka.
Akhirnya, Atsumu tidak lagi mendiamkannya ataupun menganggap dia tak ada. Lelaki itu bahkan menyapa lebih dulu, hati Suna yang suram langsung berbunga-bunga tersenyum seperti orang gila. Setidaknya Atsumu kembali bersikap biasa kepadanya. Membuka peluang untuk makhluk tak tahu diri sepertinya gencar mendekatkan diri lagi.
Semakin diperhatikan, semakin gila pula orang di sebelahnya. Atsumu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang terlampau senang hanya dengan mendapat sapaan. Melihat antusiasme yang sebegitunya, dia menjadi semakin merasa bersalah akan sikap sebelumnya. Suna memang pantas untuk dicintai, tetapi bukan oleh orang sepertinya, dan dunia pun setuju akan hal itu. Seperti surat di pagi hari tadi.
. . .
Bau keringat mendominasi, tetapi tidak ada seorang pun yang peduli akan hal itu. Semua ratusan pasang mata berkumpul di tribun menyaksikan jagoannya menggiring bola dengan lincah, melewati orang ke kiri dan kanan, seolah celah sekecil apa pun bisa dia lewati. Siapa lagi jagoan sekolah mereka selain Suna Rintarou yang terlihat begitu mempesona bersama seragam hitam dengan garis biru.
Atsumu juga ada di sama, berdiri paling dekat dengan lapangan sembari membawa barang bawaan mereka berdua yang lelaki itu titipkan sebelum pertandingan. Matanya mengedar melihat sekelilingnya yang menatap ke arah yang sama, pada satu orang yang sama, Suna Rintarou seorang.
Senyumnya mengembang, tetapi mata tidak bisa berbohong terlihat ada guratan kesedihan di sana. Dia juga punya ekstrakulikuler dan kegiatan yang dirinya banggakan, tetapi bukan berarti orang berpikiran demikian. Bagi Atsumu sama seperti Suna yang menganggap basket bagian dari dirinya, begitu juga dia dan paskibra. Mengibarkan sang pusaka merah putih adalah kebanggan sekaligus kehormatan yang mungkin tidak dimengerti semua orang.
Yang terlihat hanya latihannya yang amat keras dan pengibaran saat upacara. Namun, di balik semua itu penuh perjuangan, solidaritas yang menyatukan mereka untuk seirama dan kediplisinan yang utama.
Wuhhhhh ....
"Kak Suna keren!!!"
"Cakep banget Tuhan!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Must Be Until The End || Sunaatsu
FanfictionAtsumu terlalu takut untuk berharap pada perlakuan Suna yang terasa berbeda. Cinta itu bohong, 'kan? Kalau benar adanya tidak mungkin kedua orang tuanya yang saling mencintai akhirnya memilih berpisah juga. Start: 6 November 2021