Bandung, 21 Januari 2030
Hari ini saya pertama kali kembali menginjakkan kaki di kota kembang ini, setelah sekian lama saya tidak kemari. Kota ini masih sama, mungkin yang membuatnya terlihat berbeda adalah mulai banyaknya gedung-gedung tinggi yang menjadikannya tampak modern.
Ah iya..saya kemari bukan tanpa sebab tidak jelas. Pekerjaan saya menutut saya untuk sebulan di sini. Ketika pertama kali saya mendengar akan ditugaskan kemari, sudut otak saya yang lama tak tersentuh tiba-tiba menampilkan memori-memori yang sejujurnya sampai sekarang enggan saya kembali ingat.
Hari pertama di sini, saya berkeliling bersama kawan-kawan kantor saya. Memori-memori tentang seseorang semakin kuat terputar. Membuat saya ingin tersenyum, tertawa, dan menangis di waktu yang sama. Bahkan, di beberapa tempat tadi air mata tiba-tiba menetes tanpa saya minta. Mungkin, saya rindu atas kenangan-kenangan di tempat itu. Rindu yang lama terpendam, tertarik ke atas permukaan kala kaki ini menginjak beberapa tempat itu. Oiya..saya baru sadar tulisan saya tampak acak-acakan, sudah lama saya tidak menulis di buku harian, semenjak saya disibukkan dengan berbagai laporan-laporan yang sesungguhnya memuakkan.
Di luar sekarang hujan, di balik jendela apartemen, saya dapat melihat titik-titik air yang semula tak begitu deras, kini seperti berlomba turun hingga tampak seperti tirai air yang amat rapat. Saya jadi mengingat seseorang yang sejak tadi saya singgung.
Mari saya perkenalkan Narendra Farras Adhyaksa, sosok laki-laki penyuka hujan dan kamera. Laki-laki yang saya akui memiliki ketampanan yang mampu memikat hati setiap orang di dekatnya. Matanya hitam legam dengan berpayung alis yang melengkung indah, bibir tipisnya yang jarang mengeluarkan suara jika berada di tengah keramaian, badannya cukup ideal , dia dan teman-temannya bisa dikatakan berlian sekolah kala itu, jadi jika membicarakan tentang fisik, dia sudah sempurna di mata saya.
Kenapa hujan mengingatkan saya kepada dia? Jawabannya sangat sederhana, karena kami bertemu di tengah derasnya hujan. Pertemuan yang mengawali kisah saya dan dia di kota ini. Pertemuan yang tidak saya sangka adalah sebuah bab baru yang akan saya buat, dengan dia tokoh utama di dalamnya.
Hari sudah semakin larut, pekerjaan saya beberapa juga masih belum saya sentuh. Mungkin, saya akan melanjutkan cerita esok hari ketika waktu istirahat tiba. Dan, sepertinya buku harian ini akan bertokoh utama Narendra Farras Adhyaksa. Laki-laki penyuka hujan dan kamera. Laki-laki yang pernah memenuhi hati saya.
Selamat malam, semoga hari esok saya sempat bercerita.
-Azalea-
(Narendra Farras Adhyaksa)
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA AZALEA
Fiksi RemajaBuku harian lama yang saya temukan, mungkin saat itu saya masih berumur 23 tahun... Masa ketika saya masih belum bisa merelakan apa yang harusnya direlakan. Sebenarnya, saya cukup geli ketika membacanya, saya berpikir... Astaga, masa transisi remaja...