Bab 1

24.9K 1.9K 162
                                    

Setiap hari memikirkan skripsi, skripsi, dan skripsi! Benar-benar menyebalkan. Berada di semester akhir kuliah benar-benar melelahkan. Terkadang aku merasa salah jurusan karena tidak juga bisa menyelesaikan skripsi ini.

Belum lagi dosen yang seenaknya mencoret-coret hasil dari skripsi yang Aku buat dengan susah payah. Tidak bisakah aku lulus tanpa skripsi saja? TENTU SAJA TIDAK! Yah sebenarnya, bisa saja jika aku memiliki prestasi yang bisa membuatku bebas dari skripsi dan langsung saja lulus dengan nyaman, namun sayangnya mahasiswa biasa sepertiku ini tidak memiliki prestasi.

Pusing di kepalaku bertambah saat keluargaku, Tante dan para sepupu jahanam mulai bertanya tentang 'kabar'. Kalian pasti tau kabar macam apa yang akan ditanyakan olehnya kepada keponakan tercinta yang sudah berumur 24 tahun namun belum juga lulus skripsi.

Tentu bukan hal baik. 'Kabar' yang dimaksud bukan seperti "kamu baik-baik saja? Sehat?" Tidak! Tidak mungkin. Setiap bertemu atau bertamu, mereka akan mulai merecoki ku dengan berbagai pertanyaan yang menyayat hati.

Padahal kami ini keluarga kan? Atau mungkin bukan? Bukannya wajar ya, di umur 24 tahun ini aku belum menyelesaikan skripsi ku? Banyak orang malah baru wisuda setelah menjalani 9-10 semester.

Namun sepertinya tanteku ini sangat senang memamerkan berbagai kelebihan dari anak-anaknya.

Seperti saat ini, saat tanteku, adik dari ayahku bertamu kerumah kami. Bersama dengan anaknya yang telah lulus S1 dan sudah bekerja sebagai pegawai negri. Aku tidak yakin dia lulus dengan murni.

"Rin, kamu kapan lulus kuliah? Kok lama banget ya? Anak Tante kuliah cuman 3 setengah tahun"

"Kamu kan sudah berumur 24 tahun loh Rin, biaya kuliahmu kan mahal, makanya cepet-cepet wisuda"

"Di umurmu ini seharusnya sudah menikah dan memiliki suami"

"Mau Tante kenalkan sama anak teman Tante? Ganteng loh Rin"

"Kalau lama-lama begini kamu bisa jadi perawan tua, kalo udah tua, sedikit laki-laki yang mau menikahi kamu. Fase di mana kamu bisa memilih pasangan hidup sebentar lagi akan terlewati"

"Anak Tante saja tidak selama ini kuliahnya"

Mulut jahanamnya mulai mengeluarkan berbagai sindiran yang menyakiti hati kecilku. Lagian kenapa sih harus bertanya masalah sensitif?!

Apa dia tidak bisa membicarakan hal yang positif saja? Seperti, apa aku baik-baik saja, apa kamu sehat, atau kalau bisa diam saja deh sudah cukup.

"Lagian kamu perempuan nggak perlu sekolah tinggi, nanti juga balik ke dapur"

"Tante waktu seumuran kamu ini udah punya anak 1, lihat sekarang, hidup Tante bahagia kan"

Habis, kesabaranku habis. Aku cakar wajahnya, aku jambak rambutnya sambil berteriak 'PANTAS SAJA TANTE DI JADIKAN PEMBANTU DI RUMAH' andai aku bisa.

Sialan, tentu saja itu hanya angan-angan. Sopan dan santun ajaran orang tuaku akan sia-sia tidak berguna jika aku melakukan hal seperti itu. Bisa-bisa bapak akan memotong ku menjadi beberapa bagian jika aku berani berperilaku seperti itu.

Rasanya aku ingin hidup di dunia Harry Potter saja dan menjadi burung hantunya, tugasku hanya mengantarkan surat dan tidak menerima pertanyaan atau pernyataan yang tidak enak di hati.

Atau jadi batu bata untuk ke Diagon Alley saja deh, aku ikhlas, tidak perlu menghadapi Tanteku yang cerewet ini.

Setelah beberapa jam bertamu akhirnya Tanteku pulang, aku mengantarnya sampai ke depan pintu rumah dengan senyum bahagia mempersilahkan kepulangannya. Suasana bahagia sangat terasa saat dia sudah masuk ke mobilnya, berpamitan dengan Bapak dan Ibuku, Aku juga bersalaman dengannya cepat-cepat, agar dia cepat pergi.

Dengan kata lain 'Pulanglah dan jangan kesini lagi!'

---*

Ternyata kepulangan Tante tidak mengurangi sakit kepalaku. Benar kata pepatah 'Kalau kau bahagia saat kau tak punya masalah, mungkin kau tak akan pernah bahagia, karena dalam hidup pasti punya masalah.'Tapi bukankah masalahku ini kebanyakan? Atau aku saja yang banyak mengeluh ya? Dan masalahku sekarang, skripsi yang ku kerjakan tidak juga selesai.

Otakku buntu, mencari referensi lain di internet dan buku tidak membuat otakku encer. Lelah! Tidak bisakah skripsi ini selesai dengan sendirinya? Atau mungkin jika aku tinggal tidur akan selesai keesokannya?

Oke, hentikan omong kosong ini. Aku mulai berpikir ngalur-ngidul tidak jelas, seharusnya aku mulai mengerjakannya saja, siapa tau dosenku baru saja dapat undian TV ukuran 55 inci dan sedang dalam suasana hati bahagia, sehingga dia mau meluluskan skripsiku.

Walaupun, tentu saja itu tidak mungkin.

Seandainya masalah tentang skripsi ini bisa selesai dengan mengucapkan mantra Pak Tarno 'Bimsalabim ada apa prok prok prok' atau mungkin mantra 'avada kedavra' lalu Tara! Skripsi sudah selesai.

Baiklah, aku tau mantra itu bukan digunakan untuk hal seperti ini, jika aku menggunakannya bisa-bisa ada tikus yang lewat lalu mati seketika jika ku ucapkan mantra itu.

"Bagaimana cara menyelesaikan ini?! Andai saja Mbah Dukun bisa membantuku menyelesaikan skripsi"

"Atau aku menikah dengan orang kaya saja ya, kan aku bisa hidup damai tentram tanpa skripsi"

Lagi-lagi pikiran bodohku muncul, kenapa jadi ke Dukun sih? Memangnya mau pakai pelet? Terus kenapa ada kepikiran untuk menikah dengan orang kaya sih, mana mau orang kaya sama aku, wajah biasa saja, pengangguran, skripsi belum selesai.

Setelah sekian lama duduk di depan Laptop yang sebenarnya tidak ku sentuh sedari tadi dan hanya aku pelototi saja, tumpukan kertas hasil dari skripsi yang kemarin sudah ku serahkan juga berserakan membuat kamarku sangat berantakan.

Aku melihat ke arah laci di dekat tempat tidur, membukanya dan menemukan sebatang cokelat yang sudah kubuka, lalu memakannya. Untung saja ada yang namanya cokelat di dunia ini, makanan yang bisa mengembalikan mood.

Setelah selesai mengembalikan mood, aku kembali duduk menghadapi skripsi yang harus segera aku selesaikan. Tapi entah kenapa aku selalu sial.

Kepalaku semakin sakit, benar-benar sakit bahkan lebih sakit ketika Tanteku datang. Hidungku terasa panas, darah menetes ke skripsi yang sudah susah-susah ku kerjakan.

Sial, ini hari tersialku. Dengan panik menghapus darah di kertas, namun sakit di kepala bertambah.

Mata mulai buram, pandangan semakin lama semakin menghitam.

Sialan, kenapa jadi begini? Apa mungkin cokelat yang ku makan tadi sudah kadaluwarsa? Tapi cokelat itu baru saja aku beli malam tadi. Oh, atau mungkin karena terlalu pusing menghadapi skripsi dan tanteku yang baru saja datang ya?

'aku tidak akan mati kan?'

'sialan, aku belum wisuda'

'Bagaimana perasaan Bapak saat melihatku mati karena lelah mengerjakan skripsi ya? Mungkin jika Bapak memiliki anak lagi, dia tidak akan menyuruhnya kuliah dan menghadapi skripsi yang melelahkan'

'Aku tidak mau mati!'

Siapapun tolong aku, skripsiku belum selesai dasar sialan! Apa yang sedang kupikirkan, Bapak, Ibu, maafkan anakmu yang tidak berprestasi ini.

Celesta & Tuan Antagonis [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang