Delapan Belas

444 87 11
                                    

Jimin

Terima kasih pada Jeongguk dan segala tingkahnya yang meremuk-redamkan tubuh Jimin sampai tidak bergerak di atas tempat tidur. Ditarik mulai dari awal bertemunya dengan Jeongguk, belum ada kejadian baik yang bisa membuat Jimin bersyukur. Lebih-lebih justru sakit, tertabrak keranjang Bambam, dan beberapa kesialan lain yang mungkin bakal menantinya di masa depan. Satu hal yang Jimin syukuri adalah ia tidak lagi sendiri. Jeongguk seolah siap mendengarkan semua ocehannya dari yang paling tidak masuk akal sampai percakapan ringan sehari-hari soal cuaca.

Kedua kelopak mata Jimin terbuka dan disambut oleh wujud seorang perempuan cantik berkebaya putih mulai dari atas sampai bawah. Tersisa beberapa butir beras di kening dan pertengahan tulang selangkanya yang menjulang. Tubuhnya indah dan duduk di tepi kasur dengan anggun. Tidak pula mencoba memecah keheningan yang terjadi di antara keduanya. Jimin pribadi memang enggan bercakap dengan orang yang tidak ia kenal. Terlebih dengan sosok perempuan yang tahu-tahu sudah masuk ke dalam kamar tanpa aba-aba. Gadis yang belum pernah Jimin temui ini mungkin salah satu kerabat Jeongguk yang belum ia kenal. Masih ada banyak yang tidak Jimin ketahui dari pemuda misterius yang bisa berubah warna mata jadi keemasan itu.

"Sudah bangun, ya." Suara mendayu itu pas dengan parasnya yang menawan. Bak melati yang baru saja merekah di antara banyak kembang lain. Warna putihnya segar dan mudah menarik perhatian. Dari tubuhnya menguar wangi kembang Kenanga yang memabukkan. Seolah seseorang baru saja menaruh racun dan menjampi-jampinya supaya tidak hilang aromanya. "Jangan khawatir." Kedua tangannya membenahi selimut di atas tubuh Jimin yang hampir-hampir mengekspos tubuh berbalut kemeja kebesaran itu saja.

"Jeongguk nya dimana?" Hati-hati Jimin bertanya.

"Di depan. Masih ada tamu dia."

"Oh." Jimin manggut-manggut mengerti. Ini bukan kediamannya, ia tidak bisa asal main keluar-masuk ruangan tanpa seizin yang punya. Taehyung pribadi tidak bakal masalah, tapi persepsi orang bisa beda-beda. "Jimin," bisiknya lirih. "Kalau mbak?"

"Panggil saja Jihyo."

"Mbak Jihyo."

"Jangan pakai mbak." Perempuan itu mengibas-ibaskan tangan seolah menolak sesuatu. "Kayaknya kamu yang lebih tua. Panggil nama saja ndak apa-apa."

"Jihyo, kalau begitu."

Senyum manis itu menghantarkan sesuatu yang baru. Inikah yang dirasakan seseorang ketika melihat sesuatu yang luar biasa indah? Perasaan kagum dan ingin melindungi secara tiba-tiba. Seolah perempuan ini menghipnotisnya secara tidak sadar.

"Jimin!" Jeongguk muncul dari balik pintu. Berkaos putih dan kamen lengkap seperti hendak pergi ke pura di pukul sepuluh pagi ini. Sosoknya hampir berjengit ketika bertemu pandang dengan Jihyo yang duduk di tepian kasur. "Jihyo? Kenapa ke kemari? Ada pesan yang mau disampaikan ke Jimin?" Kalimat ini bernada mengusir. Jimin cukup tahu kalau Jeongguk juga tidak suka seseorang melangkah terlalu jauh pada ranah pribadinya sendiri.

Jihyo menggeleng perlahan. "Cuma memastikan kalau tamu rumah ndak ada kurang apa, Basuki."

"Ndak kurang apa-apa, kok, dia." Barulah Jeongguk melangkah masuk ke ruangan yang sudah mirip seperti sarang pribadinya ini. Banyak buku bertumpuk dan berceceran di atas lantai kayu. Sepasang meja dan kursi juga penuh dengan lembar bertulisan Aksara Pallawa yang entah darimana datangnya dan mengapa pula Jeongguk print sedemikian banyak. "Jangan masuk ke kamarku tanpa izin. Sudah dikasih tahu sama Taehyung, kan?" tanya Jeongguk.

"Ampura(Maaf), Basuki. Tiang(saya) cuma mau taruh cucian kering, tadi. Ndak bermaksud masuk tanpa izin kamu." Perempuan itu bangkit dari kasur dan menunduk ringan. Seolah hormat pada Jeongguk yang entah punya power apa. "Kalau boleh, biar aku yang mebanten di kamar Rose, besok. Kamu ndak perlu. Sudah disuruh ke Besakih, kan, pagi-pagi?"

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang