Anggia Maharani, seorang wanita berusia 26 tahun yang berstatus kekasih dari seorang pria bernama Aksa Bimantara. Mereka sudah berpacaran selama tujuh tahun lamanya, dan Anggia sudah berharap akan segera melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.
Ya, kekasihnya yang bernama Aksa memang sudah ada niatan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius bernama pernikahan. Namun, bukan dengan Anggia.
"Gia, aku sungguh minta maaf. Selama ini entah kenapa aku selalu ragu untuk melamarmu. Namun saat bertemu dan mengenal Bella lebih jauh, aku yakin sekali untuk melamarnya. Mungkin, kita memang tidak ditakdirkan berjodoh."
Anggia terdiam dengan tatapan kosong yang terarah pada sebuah undangan di depan matanya. Tangannya yang berada di bawah meja bergetar hebat melihat secarik kertas tersebut. Belum lagi ungkapan Aksa barusan, yang serasa menghunus jantungnya.
"Kamu mengkhianatiku, Aksa. Kenapa kamu melakukan ini padaku? Apa salahku padamu?" Gia bertanya dengan suara tercekat dan mata berkaca-kaca. Dia masih tak percaya kalau Aksa mengakhiri hubungan mereka yang sudah jalan tujuh tahun lamanya. Bahkan Aksa mengaku secara terang-terangan kalau dia sudah menemukan wanita lain dan akan menikahi wanita tersebut.
"Maaf, Gia. Maafkan aku. Aku memang sangat jahat padamu. Seharusnya aku mengakhiri hubungan kita sejak lama dan tak membuatmu menunggu terlalu lama. Maafkan aku." Aksa berkata. Gia menghembuskan nafas panjang lalu memejamkan matanya dengan erat. Tangan kanannya meremas baju di bagian dada dengan sangat kuat. Rasanya sangat sakit. Sakit sekali.
"Aku harap kamu secepatnya menemukan pria yang jauh lebih baik dari aku. Sekali lagi aku minta maaf, Gia. Tapi aku sangat yakin dengan keputusanku sekarang untuk menikah bersama Bella. Bahkan keluarga kami berdua juga memberikan restu," ujar Aksa. Gia memalingkan wajah dan menggigit bibit bawahnya dengan kuat. Kenapa Aksa tega sekali mengatakan semua itu padanya.
"Jadi tujuh tahun yang kita lewati bersama semuanya sia-sia?" tanya Gia lirih. Aksa hanya diam dan menunduk saja. Tak menjawab pertanyaan dari Gia barusan.
Cukup lama Gia diam, berusaha mengumpulkan pecahan hatinya yang hancur berkeping-keping. Setelah dirasa dia cukup kuat untuk berdiri, akhirnya Gia memutuskan untuk segera pergi dari hadapan pria tersebut.
"Selamat atas pernikahanmu dengannya. Aku tak akan datang dan kamu pasti tahu alasannya. Bahagiakan lah calon istrimu. Cukup aku saja yang kamu sakiti sampai begini. Selamat tinggal. Kuharap kita tak akan pernah bertemu lagi," ucap Gia. Dia berusaha tegar walau hatinya sangat sakit. Gia meraih tasnya dan berjalan pergi dari sana. Undangan atas nama dirinya yang diberikan Aksa tak Gia ambil.
Beginilah akhir hubungan mereka yang sudah terjalin selama tujuh tahun lamanya. Gia tak menyangka kalau semuanya akan berakhir dengan tragis seperti ini.
Sungguh, Gia sangat sakit hati. Dan dia tak bisa memaafkan Aksa.
***
Hari demi hari Gia lewatkan dengan perasaan hampa. Senyuman cerahnya hilang, tak terlihat lagi. Dia berangkat kerja dengan tubuh lesu tanpa semangat. Dan saat pulang, dia langsung mengunci diri di dalam kamar. Tak ingin berinteraksi dengan orang-orang di sekeliling.
Sulit sekali ternyata mengatasi rasa sakit hati. Gia masih sering menangis saat mengingat bagaimana indahnya kenangan yang sudah dia lewati bersama Aksa. Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar, dan terlalu banyak kenangan yang terjadi. Tak semudah itu semua kenangan dalam waktu tujuh tahun untuk dilupakan.
Sayangnya, hanya dia yang merasakan itu. Tidak dengan Aksa. Ternyata, bagi Aksa hubungan mereka tak pernah ada artinya. Aksa dengan mudah berpaling dan mendapatkan pengganti bahkan di saat hubungan mereka belum resmi berakhir. Jahat sekali.
Gia sekarang berbaring telungkup di atas ranjang. Matanya terpejam, dan perlahan air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Dia menangis lagi dalam diam. Sakit hatinya masih terasa. Apalagi dia ikut membayangkan bagaimana bahagianya Aksa sekarang yang sedang mempersiapkan pernikahan dengan wanita lain.
Suara pintu yang dibuka terdengar perlahan, membuat Gia membuka matanya. Seorang wanita yang merupakan kakak iparnya datang perlahan dan duduk di pinggir ranjang. Gia tak mau repot-repot bangkit, dan tetap pada posisinya. Menghayati sakit hatinya.
"Ayo makan malam bersama. Semua orang sudah menunggu kamu di bawah. Papa sudah memberikan peringatan agar aku berhasil mengajak kamu turun ke bawah sekarang," ucapnya dengan nada tegas. Gia menghela nafas pelan mendengar itu. Ayahnya memang orang yang tegas terhadap apapun. Tapi, mengertilah. Dia sedang sakit hati dan tidak baik-baik saja.
Tapi, tak mungkin juga dia mengorbankan kakak iparnya karena rasa sakitnya.
"Sesakit ini ternyata ditinggal nikah begitu saja. Apalagi dia gak merasa bersalah sedikit pun," ucap Gia lirih. Perlahan dia bangkit dan duduk di atas ranjang. Menatap kosong pada lantai kamarnya, membiarkan dirinya menjadi perhatian sang kakak ipar.
"Sakit hati memang susah sembuhnya. Tapi kamu tak boleh mengurung diri seperti ini. Kasihan Papa dan Mama yang terus kepikiran karena khawatir kamu akan macam-macam saat sendirian begini," ujar Meira lagi. Gia menghela nafas panjang lagi. Tanpa bicara lagi, dia akhirnya berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya, diikuti oleh Meira.
Sesampainya di ruang makan, Gia merasa jadi seorang artis karena semua tatapan orang di sana terarah padanya. Ah, Gia tahu dan sadar betul kalau sekarang tampangnya sangat mengenaskan. Rambut berantakan, mata bengkak dengan lingkaran hitam seperti panda. Tak ada cahaya kebahagiaan di wajahnya sedikit pun untuk sekarang.
Efek patah hati memang sangat dahsyat.
"Makanlah. Jangan terus berpaku pada sakit hatimu. Dia tak pantas kamu tangisi, Anggia." Suara Tio, ayah kandung Gia terdengar sangat tegas. Gia yang mendengar itu hanya diam san mengangguk kecil. Enggan bersuara sedikit pun.
Suasana berubah jadi kaku dan canggung. Akhirnya mereka semua memutuskan untuk segera menyantap makan malam mereka. Bukan tak kasihan melihat keadaan Gia, tapi mereka juga tak bisa melakukan apapun selain terus membujuk Anggia agar bangkit. Pasalnya, mereka sudah memperingati Gia tentang hubungannya dengan Aksa yang sudah berjalan lama namun tak ada kepastian sama sekali.
Dan akhirnya, ternyata memang tidak baik. Gia terlalu berharap, padahal Aksa tak memiliki niat menjadikannya seorang istri.
Selesai makan, Gia langsung pergi dari ruang makan tanpa sepatah katapun. Semua orang menatap kepergiannya, lalu mereka menghela nafas.
"Aku akan bicara dengannya." Revan, kakak kandung Anggia bicara.
"Van, jangan membuat Anggia makin sedih ya. Mama khawatir," ujar Gina. Ibu Revan dan Anggia. Revan mengangguk kecil setelah mendengar itu. Dia hanya ingin mencoba menenangkan adiknya. Ya, semoga saja berhasil.
_______________________________________
Hai semuanya. Setelah sekian lama menghilang, akhirnya aku kembali lagi dengan cerita yang baru 🥳🥳
Untuk yang menunggu kelanjutan Affair, harap sabar ya. Karena banyak komenan yang kurang mengenakan, makanya aku hold dulu. Semoga saja idenya berkembang lagi. Jadi kalau udah selesai, nanti gak akan aku publish kelanjutannya di Wattpad. Tapi mau langsung dibuatin PDF/E-book saja. Maaf banget ya🙏🙏🙏
Semoga cerita ini bisa aku tamatkan. Semoga tidak ada kendala, dan semoga idenya lancar. Aamiin😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier
RomanceMenjalin hubungan bertahun-tahun memang benar tidak menjamin bahwa dia akan menjadi pasangan halal kita. Dan itulah yang dirasakan oleh seorang wanita bernama Anggia Maharani. Dia yang menjalin hubungan selama tujuh tahun lamanya ternyata kalah deng...