02. Putus asa

686 87 2
                                    

BI Siti menghela nafas lelah, dia sudah berdiri selama empat jam di samping tuan mudanya yang sedang duduk termenung menatap kosong tiga deretan makam yang ada di depannya tanpa mau beranjak.

"tuan muda, saya mohon kembalilah ke rumah sakit. Kondisi anda saat ini belum stabil" ucap bi Siti sambil mengusap punggung Jio yang masih terbalut pakaian rumah sakit.

"Enggak bi, Jio mau disini aja, sama mama, papa dan om David. Kalau Jio ke rumah sakit, Jio sendirian di sana, Jio bakalan kesepian" ucap Jio, matanya menatap kosong batu nisan bertuliskan nama omnya.

Ya, sekarang ini Jio dan bi Siti berada di TPU, tempat dimana orang tua Jio dan David dimakamkan.

"Kan ada bi Siti, bibi akan selalu menemani tuan muda Jio" bujuk bi Siti, wanita paruh baya itu tengah menahan tangis melihat tuan mudanya yang hancur setelah kepergian David.

Jio menggeleng pelan.

"Tuan muda, ayo kembali ke rumah sakit. Sebentar lagi akan turun hujan, besok kita kembali lagi kesini ya?" Bujuk bi Siti tapi Jio masih terdiam menatap nisan omnya.

"Saya mohon tuan muda, tuan David pasti akan marah jika tuan muda Jio sampai kehujanan"

Jio tersentak mendengar ucapan bi siti, benar omnya pasti akan marah jika Jio sampai kehujanan.

Bi Siti tersenyum kecil melihat reaksi tuan mudanya.

"Tuan muda, ayo" bi siti menuntun Jio menuju mobil yang terparkir didepan TPU dengan supir didalamnya, supir itu adalah supir yang biasa mengantarnya pergi ke sekolah.

***

Jio menatap kosong langit-langit kamar inapnya yang berwarna putih, Jio memang masih di rawat inap di rumah sakit. Kata dokter, besok Jio boleh pulang jika kondisinya sudah pulih.

Saat ini ruang rawat inapnya terasa sangat sepi, karena hanya ada Jio sekarang. Tadinya ada bi Siti yang menemani Jio, tapi wanita paruh baya itu sedang pulang ke rumah untuk mengambil pakaiannya dan membersihkan diri.

"Biasanya kalau Jio sakit, om yang jagain Jio. Tapi sekarang beda, sekarang Jio sendirian karena om udah pergi"

Jio menghela nafas panjang, netra cokelatnya menatap jendela kamarnya yang terbuka, diluar terlihat mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

"Masih sore, mungkin jalan-jalan sebentar nggak masalahkan?" Gumamnya lalu bangkit dari posisi rebahan nya.

Jio menatap tangan kirinya yang diinfus.

"Gimana bisa jalan-jalan kalau tangannya diinfus? Copot aja kali ya" ucap Jio, lalu tangan kanannya menarik paksa jarum infus yang tertancap dipunggung tangan kirinya hingga terlepas dan mengeluarkan darah. (Maap si jio emang rada bego)

"Ssssh perih" rintihnya.

"Bodo amat lah" Jio melangkah keluar dari ruang inapnya, tangan kanannya terus menekan tangan kirinya yang mengeluarkan darah.

"Buset, ini tangan kok nambah perih aja sih" gumam Jio, kedua netra cokelatnya sudah berkaca-kaca siap untuk meluncurkan likuid bening dari sana.

Jio terus melangkah mencari tempat yang menurutnya menarik, lalu tiba-tiba matanya melihat lift di ujung koridor lalu segera melangkah ke sana.

"Ke lantai berapa ya? Disini kan lantai tiga, mendingan ke lantai enam, lantai yang paling atas terus pergi ke rooftop" ucap Jio, jarinya menekan tombol angka enam yang ada di dalam lift.

Tingg

Lift terbuka memperlihatkan lantai enam rumah sakit yang ramai, banyak manusia sedang berlalu-lalang di sana.

Jio melangkahkan kakinya keluar dari lift.

Jio menelusuri koridor lantai enam yang padat, dia heran kenapa dilantai enam ramai orang-orang yang berlalu-lalang sedangkan dilantai tiga ruang rawatnya tidak seramai disini.

Remaja itu terus berjalan mencari tangga menuju rooftop.

"Ketemu! Kayaknya ini tangganya dah" seru Jio ketika melihat tangga yang menuju ke rooftop.

Ceklekk

Jio membuka pintu rooftop lalu menutupnya kembali, seketika angin langsung menerpa tubuhnya.

"Haah" Jio menghela nafas lelah, berada disini malah semakin mengingatkannya pada David.

Kaki Jio melangkah dengan pelan mendekati pembatas rooftop.

"Kalo lompat dari sini kayaknya Jio bakal mati" gumam Jio sambil melihat keadaan dibawah gedung dari atas.

Seketika netra cokelat milik Jio berbinar-binar, bibirnya tersenyum manis melihat keadaan dibawah gedung tidak terlalu ramai, karena hari sudah sore ditambah langit mulai menurunkan tetes-tetes air hujannya mungkin itu menjadi alasan kenapa dibawah sepi orang-orang.

"Kalo Jio mati, pasti Jio bisa ketemu mamah, papa dan om David"

Jio mulai naik ke atas pembatas rooftop dengan perlahan lalu berdiri dengan tegak diatasnya sambil merentangkan tangannya merasakan buliran-buliran air hujan mengenai tubuhnya.

"Mama, papa, om David, tungguin Jio" ucap Jio lalu menjatuhkan tubuhnya kebawah sambil memejamkan matanya.

"Maafin Jio tuhan, Jio udah ambil jalan yang salah dengan ngelakuin ini" ucap Jio dalam hatinya.

Brukhh

Tubuh Jio menghantam kerasnya aspal, kepala, dan sikunya mengeluarkan banyak darah, darahnya mengalir menyatu dengan air hujan yang turun semakin deras membasahi bumi.

"Uhukk" Jio mengeluarkan seteguk darah dari mulutnya, samar-samar dia melihat orang-orang yang mulai mengerubunginya.

"Tolong!"

"Ya Tuhan! Tolong remaja ini"

"Cepat panggil bantuan"

"Ambil brankar didalam!"

"Panggil dokter! Darahnya sangat banyak"

"Dia masih membuka matanya! Panggil dokter! Panggil dokter!"

Jio menatap orang-orang yang panik disekelilingnya dengan mata sayu yang akan tertutup rapat.

"Maafin Jio, Tuhan" gumam Jio untuk terakhir kalinya sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.

"Kamu memilih jalan yang salah dengan melompat dari atas sana, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan sia-sia. Keenan Jiordan, tolong berjuanglah untukku"

***

HANYA SEDIKIT UNTUK BAGIAN KE 2 INI :( AKU BINGUNG MAU NGETIK APA LAGI! HIKSS (╯︵╰,)

JiordanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang