Arc 1: Bagian Pertama

531 64 15
                                    

Pria itu membuka matanya.

Sinar matahari begitu asing untuknya yang selalu akrab dengan gelapnya malam.

Dia tidak terbiasa dengan cahaya terang yang menyilaukan mata ini.

Dan lagi tidak ada alasan untuknya menyukai matahari yang cahayanya itu akan membuat kulitnya  yang sedingin es menjadi berkilauan seperti berlian ketika tertimpa olehnya, seolah-olah menjadi peringatan keras baginya.

Yang secara kejam mengingatkan kalau dirinya berbeda dari orang-orang dari semua orang di dunia ini.

"Akhirnya kau bangun juga, Levi."

Suara pertama yang didengarnya setelah lama berada dalam tidur panjang terdengar familiar.

Ada perasaan nostalgia ketika ia mendengarnya namun juga sedikit asing di saat yang bersamaan.

Mungkin karena tidur lelap yang ia lakukan selama hampir seratus tahun membuat suara dari sahabat dekatnya itu menjadi tak akrab lagi.

Pria itu, yang dipanggil Levi menoleh.

Matanya berwarna hitam dan sedikit mengeluarkan ombak merah ketika dia menatap pemuda lain yang sepantaran dengannya, hanya berbeda pada tinggi badan mereka.

"Sudah lama tidak bertemu. Atau mungkin bagiku baru terasa seperti kemarin. Jadi, berapa lama aku sudah tidur?"

Levi langsung menanyakan tentang berapa lama waktu yang dia habiskan dalam hibernasi panjang, melewati tahun hingga hampir abad tanpa bangun sekalipun.

"Seratus tahun?" Farlan menjawab dengan bertanya.

Dia tidak benar-benar menghitung berapa lama waktu yang telah lewat karena tidak ada artinya menghitung waktu bagi mereka yang menjalani hidup abadi.

"Begitu," sahut Levi meringis, menyadari betapa bodohnya pertanyaan yang dia lontarkan karena tidak peduli apapun, waktu yang telah lewat takkan pernah terulang. Mereka takkan bisa kembali ke masa lalu.

Levi turun dari kasur dengan seprai putih yang digunakan sebagai tempat 'peristirahatan' nya selama kurang lebih seratus tahun. 

Yaps, kasur dengan seprai putih. Bukan peti mati kuno bergambar salib dengan kain beludru merah tua di dalamnya.

Ketika dia bangun dan berdiri, tidak ada perasaan kaku pada sendi-sendinya -jika dia memang memilikinya- bahkan setelah seratus tahun tidak digerakkan.

Levi dengan lancar berjalan ke lemari yang diletakkan tak begitu jauh dari jendela dan mencari pakaian baru untuk digunakan.

Saat Levi sibuk mengganti pakaian dia kemudian mengingat seseorang yang belum dia lihat sejak membuka mata. Padahal harusnya wanita itu akan sangat heboh karena terlalu antusias menyambut kedatangannya kembali. Tapi dia bahkan belum menunjukan batang hidungnya sama sekali sejak Levi membuka mata.

"Mana Isabell?" tanya Levi berbalik untuk melihat Farlan yang langsung menggaruk tengkuk ketika nama Isabell disebut.

Ekspresi Farlan berubah sedikit kaku atau mungkin canggung seperti dia sedang kebingungan mencari kata yang tepat untuk digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan Levi.

"Yah, itu ...." Farlan tersendat.

Levi mengangkat sebelah alisnya, menunggu Farlan menjawab pertanyaannya yang seharusnya tidak sulit untuk dijawab.

Tepat pada saat itu, angin berhembus lembut melewati jendela masuk ke dalam ruangan tempat Levi dan Farlan berada. Namun, angin lembut itu bukannya membawa perasaan sejuk bagi Levi yang berdiri tak jauh dari jendela melainkan rasa terbakar yang amat menyiksa.

I Wanna be With You (ARC 4)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang