Dua Puluh Satu

393 84 30
                                    

Jeongguk

"Pundaknya saja yang gerak," bisik Jeongguk, "begini." Ia putar sendi di pundak secara tiba-tiba. Serentak. Menimbulkan gerakan terkejut yang lumayan singkat. Kedua telapaknya terbuka dan menukik ke atas dengan jemari yang direnggangkan. "Kalau bisa, matanya juga." Disusul dengan lirikan manik kecoklatannya yang bergerak-gerak ke kanan dan kiri cepat-cepat.

"Susah sekali," kata Jimin sambil terkekeh. "Memang dasarnya tidak punya bakat."

"Bisa dilatih, kok, kalau kamu mau."

"Sayangnya, tidak punya waktu." Kamen lembaran yang dikenakan pemuda itu dilepas pelan-pelan. Dilipat rapi dan bertengger di kursi pendek yang disediakan pemilik kos. Beberapa bulir keringat mengucur di atas keningnya yang belum terlalu biasa dengan udara Bali. Mungkin di Jawa, Jimin masih bisa merasakan kesejukan walau hanya sedikit. Tubuhnya yang mungil masih belum bisa beradaptasi dengan baik. Gampang sekali sakit. Terkadang pusing, flu ringan, atau kecelakaan kecil yang bukan salahnya. Ada-ada saja.

"Kamu bisa nyanyi, ndak?"

Jimin menggeleng.

"Sejak jumpa kita pertama, ku langsung jatuh cinta. Walau ku tahu, kau ada pemiliknya." Jeongguk ulurkan lengan. Bersiap menerima telapak Jimin yang benar-benar menyambutnya. "Kalau menari begini, mungkin kamu lebih jago." Ia tarik tubuh langsing itu masuk ke dalam pelukan. Betapa indah insan yang tengah ia rengkuh. Mulai dari kening, ujung hidungnya yang mungil, kedua kelopak yang sayu tapi begitu hidup, bibir tebal ranum yang menyempurnakan rupanya. Cantik. Jimin indah dan mahal. Ia tidak ternilai dan Jeongguk kadang masih bertanya-tanya mengapa ia bisa diizinkan masuk ke dalam hidup laki-laki ini yang tidak terjamah ini.

Terasa begitu pas sewaktu Jimin menarik tangannya ke udara. Salah satu tangan lainnya melingkar di leher Jeongguk yang tidak berbalut apapun. Cuma kaos putih bertulis VAMPIRINA ANIMATION TEAM yang entah sudah berapa kali masuk mesin cuci. "Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani. Ku tak dapat menghindari gejolak cinta ini," sahutnya atas lantunan lagu Chrisye yang baru saja Jeongguk dendangkan.

"Maka izinkanlah aku mencintaimu. Atau bolehkanlah ku sekadar sayang padamu." Jeongguk tuntun pemuda ini untuk berputar beberapa kali di ruangan. Sejenak lewat di saklar lampu dan memadamkan nyalanya. Dari dalam kerongkongan, ia tiup udara di sekitaran sedikit demi sedikit. Membumbungkan nyala jelaga dan api yang melayang-layang di udara. Bola-bola api mini itu mengitar dan memberi izin sang empu untuk kembali berdansa di bawah temaram kemilau percik yang mereka timbulkan.

"Izinkanlah aku mencintaimu. Atau bolehkanlah ku sekadar sayang padamu," gumam Jimin.

"Suara kamu bagus."

"Aku tahu kamu bohong, tapi terimakasih."

Jeongguk menggeleng kuat-kuat. Ia tatap manik coklat gelap Jimin dengan seksama di bawah gelapnya ruangan. "Kalau soal ini, aku ndak bohong. Suaramu benar-benar enak. Kapan-kapan aku ajari megending(menyanyi) di pura."

Malu-malu, Jimin menanggapi sambil terkekeh. "Jangan aneh-aneh, deh. Mau dilanjut, tidak?"

"Memang serba salah rasanya tertusuk panah cinta. Apalagi ku juga ada pemiliknya." Jeongguk menurut. Kalau sudah di tengah-tengah begini, ia juga enggan selesai. Ini momen berharga dan ia baru mengupas satu fakta penting di diri Jimin yang telah lama ia kenal. Pemuda ini pandai menyanyi. Lebih-lebih justru seperti sudah biasa dengan suara lantang dan tinggi. Lebih tinggi dari Jeongguk sendiri.

"Tapi ku tak mampu membohongi hati nurani. Ku tak mampu menghindari gejolak cinta ini," lantun Jimin. Pemuda mungil ini juga tidak protes soal kamarnya yang jadi menyerupai diskotik alih-alih cuma gelap saja. Kerlip-kerlip jelaga tidak menghalangi langkahnya kesana-kemari dan berputar-putar dengan tangan tertaut. Wajahnya berkilau keemasan sewaktu percik jelaga tidak sengaja lewat di antaranya dan Jeongguk. Menjadikan raupnya indah dan menyala-nyala. Untuk saat ini, Jimin tampak terlalu hidup. Jeongguk sampai harus mengerjap-ngerjap dan memastikan kalau apa yang ia lihat bukanlah ilusi dan buah dari kesakitan masa kawinnya yang baru saja berlalu.

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang