track 10 [ untuk mengenal dan dikenal ]

746 61 12
                                    

Rasi's POV

Saya tidak akan pernah bilang, bahwa saya tidak menyukai bekerja di tempat saya saat ini menikmati koin-koin yang mengisi rekening setiap bulannya. ALIVE. adalah satu dari sekian banyak social startup yang juga tengah berkembang di Jakarta.

Alasan saya memilih tempat ini sebetulnya hanya satu, ALIVE. tidak bekerja untuk kepentingan pribadi. Ia tumbuh dan hadir untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat. Sebuah hal yang wajar, mengingat CEO-nya termasuk dalam dua puluh besar orang terkaya di Asia. Untuk apa mereka mencari keuntungan, bila dalam tidurnya pun rupiah sudah terus mengisi tabungan?

Namun kemudian, alasan-alasan saya untuk bertahan di ALIVE. pun kian bertambah, salah satunya ialah suasana kekeluargaan yang melingkupi. Mungkin penyebabnya adalah Nayaka Kenzo Hutomo; sang founder yang alih-alih dipanggil Pak, ia justru selalu membiasakan kami untuk memanggilnya 'Mas' dan dan melarang kami untuk bersikap formal di luar jam kerja.

Meski di sudut-sudut pikiran pun kami acap kali merasa sungkan, sebab mengerti bahwa circle-nya bukanlah sesuatu yang bisa ditembus oleh manusia-manusia biasa, tanpa label nama besar keluarga di deretan asma yang tercetak di kartu tanda pengenal.

Bahkan saya, yang masih terhitung anak baru pun sudah dipercaya menjadi IT Project Manager, dan tak timbulkan kesenjangan di antara karyawan lainnya. Berulang kali saya haturkan terima kasih pada Tuhan dalam semua sujud yang ada, sebab diberikan berkah yang berbalut keluarga, meski tak harus mengalir darah yang sama pada nadi. Sesuatu yang sempat hilang, sebab rumah tak ubahnya kosong yang nyata menyambut saya setiap waktunya.

"Zo, gue nyerah! Kresnus mau pakai duit berapa pun nggak akan tembus. Bikin acara di tempat lain deh."

Pintu terbuka dengan lantunan keluhan yang menelusup, membuat saya dan Kenzo menoleh, untuk lihat siapa yang hadir.

"Kebiasaan banget! Ketok pintu dulu kek, Jav. Bentar dulu bahasnya, ini gue masih ada kerjaaan."

"Makan siang kali, Zo."

Lelaki yang baru tiba dengan kemeja putih yang sudah tak lagi terkancing rapi itu, langsung menempati sofa kosong tempat Kenzo biasa menjamu beberapa relasi. Menatap tak peduli pada racau atasan saya yang sudah hela napas lelahnya.

"Ya udah, Ras," saya kembali menatap Kenzo. "Detailnya bisa kamu kirim by email hari ini juga, 'kan?"

Saya berikan anggukan dan juga senyuman padanya. "Bisa, Mas. Setelah ini langsung saya kirim, ya."

"Thank you, Ras," untaian sakral itu tak pernah absen dari tutur kata Kenzo.

"Kalau gitu saya permisi, Mas," pamit saya dan membuatnya lekas berdiri menghampiri kawannya.

"Jadi gabisa banget nih pake Kresnus? Bayar berapa pun?"

"Hm, kecuali ada orang dalam yang lo kenal, eh nggak deh, dia anti jalur nepotisme. Ya kecuali lo keluarganya, pasti bisa-bisa aja."

"Tapi gue bukan keluarganya."

"Ya udah, gausah berharap."

Percakapan mereka jujur saja mengusik saya yang sebetulnya familiar dengan Kresnus. "Maaf sebelumnya," saya berbalik menatap mereka tepat sebelum membuka pintu ruangan. "Maaf juga kalau saya menyela. Ini maksudnya Kresnus itu, Kahiyang Respati Nusantara 'kan, ya?"

"Iya, lo tahu, Ras?"

"Eh?"

Kenzo tertawa mendapati saya yang terkejut dengar pertanyaannya. "Udah jam istirahat, Ras. Pakai lo gue aja."

Saya melirik jam tangan, lalu mengangguk paham dengan perubahaan pilihan katanya. "Yang ownernya Mas Dewa, 'kan?" sekali lagi saya coba memastikan.

"Tahu?"

AL FINE. (sebelumnya Querencia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang