Tumbal Cemburu Buta 3

845 23 0
                                    

Ternyata Beni bukan hanya pergi ke Medan. Bossnya, Pak Purba, mengajaknya sekalian ke Singapura. Urusan bisnis di sana sampai beberapa hari lamanya. Namun Beni tetap memberi tahu Neni perihal keterlambatannya pulang itu. Hanya saja, pemberitahuan terhadap Neni dilakukan nomor dua. Yang pertama dilakukan Beni adalah memberitahukan keterlambatan pulangnya kepada Kumala Dewi melalui telepon kantor.

"Aku belum bisa pulang, Kumala. Pak Purba mengajakku langsung ke Singapura."

"Selesaikan tugasmu dengan baik, Ben. Jangan punya pikiran yang bukan-bukan. Aku disini ini baik-baik saja."

"Tapi aku nggak bisa makan siang bersamamu, Kumala."

"Masih ada siang di hari nanti,
bukan?"

"Kamu nggak kecewa, kan?"

"Aku nggak pernah kecewa untuk hal seperti itu, Ben."

Dalam hatinya Kumala tertawa sendiri. "Aneh sekali caranya menunjukkan rasa cinta. Padahal dia nggak pernah bilang jatuh cinta padaku, tapi selalu merasa takut
mengecewakan diriku. Hmmm... kurasa sikap seperti itu hanya
semusim saja. Semasa cintanya baru tumbuh, ia akan bersikap seperti itu. Tapi kalau sudah lama cinta itu tumbuh dan berkembang, maka sikap seperti itu akan semakin berkurang.
Aah, sebaiknya aku nggak perlu berpikir terlalu dalam tentang
dia."

Selama Beni ke luar kota, ia selalu menghubungi Kumala. Setiap hari, terutama pada jam-jam makan siang, hand-phone Kumala selalu berdering dan Benilah peneleponnya.

"Kamu sedang apa, Kumala?"

"Makan sama teman-teman kantor."

"Setamat makan. Jangan lupa buahnya. Kamu kalau nggak
makan buah, kulit wajahmu bisa tampak kering."

Atau kadang-kadang sebelum waktunya makan, Beni sudah
menghubungi hand-phone Kumala.

"Rencana makan siangmu bersama siapa, Kumala?"

"Sendirian."

"Aduh, jangan sendirian dong. Cari teman dan buat nemenin kamu makan siang. Eeeh... kamu makan di Malaga Food aja. Kalau hari Jumat begini dia menyediakan masakan
Sop yang enak sekali. Coba deh. Ajak temanmu, bawa makan ke sana. Kalian pasti puas menikmati kelezatan sop ala Malaga Food itu."

Malam hari pun telepon Beni mengunjungi Kumala. Bisa dipastikan, setiap pukul sepuluh lewat sedikit, handphone Kumala pasti berdering, dan suara Beni pun menyapa lembut dari seberang sana,

"Hallo, Kumala.... sudah tidur, ya?"

"Belum. Aku sedang ada tamu."

"Oph, sorry mengganggu. Kalau begitu, terusin deh. Tapi kalau bisa jangan tidur malam-malam, ya. Kamu kan perlu istirahat."

"Thank's atas sarannya, Ben."

Malam itu Kumala memang sedang kedatangan tamu. Seorang teman lama yang tak asing lagi bagi Sandhi, si sopir pribadi, atau Buron, si jelmaan Jin Layon yang selama ini
mendamping Dewi Ular itu. Tamu tersebut berusia sekitar 40 tahun, berbadan tinggi, sekal, masih cantik dan energik. Ia berdada montok dengan rambut selalu pendek seperti
potongan lelaki. Wajahnya mirip perempuan Arab. Matanya lebar bertepian hitam, hidungnya mancung, bibirnya agak tebal sensual. Ia termasuk seorang janda yang lincah dalam berbisnis dan ulet mempertahankan usaha perhotelannya. Siapa lagi perempuan yang punya banyak hotel di beberapa kota besar itu kalau bukan Tante Molly, yang belum lama meresmikan
hotel barunya di tepi pantai.

"Hotelku yang ada di Bandung terbakar habis, Kumala."

"Ooh...! Kapan itu terjadi?"

"Sebulan yang lalu," jawab Tante Molly dengan lesu.

30. Tumbal Cemburu Buta✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang