Prologue

880 121 47
                                    

Sembunyikan isi hati terdalammu.

Hasrat, keinginan, kedengkian, kekaguman, apapun itu yang ada di dalam hatimu, sembunyikanlah, entah karena orang tidak perlu tahu atau orang tidak mau tahu.

Manusia itu mudah disetir perasaan. Selogis apapun seorang individu, hampir mustahil untuk bersikap tanpa bersimpati atau tidak punya hati. Namun, mereka pula yang rentan dimanipulasi dengan alasan tersentuh atau tidak sadar diri bahwa sebenarnya, hanya perasaan mereka yang dipermainkan di sini.

Isi hati terdalammu adalah sesuatu yang sangat, sangat rapuh.

Oleh karena itu, tiap entitas memiliki topengnya masing-masing, beberapa ada yang lebih tebal dari yang lain. Mereka berkata telah kebal atau mati rasa, padahal lapisan topengnya saja yang telah dibangun berkali-kali lipat daripada biasa.

"Lapisan ketiga itu gimana kamu representasiin diri kamu di khalayak umum." Percakapan yang tercipta di antara botol-botol soju itu mengawang, seperti pembicaraan yang dalam walau sebenarnya yang keluar hanyalah hal-hal acak yang tidak berurutan. "Lapisan kedua, itu untuk teman-teman dekat dan keluarga kamu, ekspresi dan perasaan yang ditunjukin juga pastinya lebih beragam."

"Lalu, lapisan pertamanya untuk pasangan?" Tangannya menuang kembali gelas sang senior yang telah kosong, gestur sopan.

"Nggak, nggak. Kamu naif banget, menurut kamu emang pasangan itu bisa dipercaya?" Lagaknya seperti telah menyesap asam-asam garam kehidupan, sang senior yang lebih tua dua tahun darinya itu menegak gelas tadi dengan cepat, likuid di dalamnya ludes seketika. "Dengar ya, dik, lapisan pertama itu hanya untuk diri kamu sendiri, ngerti?"

Lagi, kedua tangannya beringsut untuk mengisi gelas di tangan si adam yang telah kosong. Awalnya, senior tersebut ragu untuk menyodorkan gelasnya. Namun tatap yang diberikan sang junior terasa memiliki efek magis bak mata rantai sihir baginya. "Kalau gitu, aku cuman bisa jujur sejujur-jujurnya ke diri aku sendiri, gitu?"

"Jelas!" Glek! Cairan yang membakar tenggorokan tersebut lenyap sekejap. Pandangannya mengabur, tapi ia menangkap lagi-lagi si junior menuangkan isi botol soju yang sisa setengah itu ke gelas kacanya. "Aku ciptain konsep ini setelah merasakan manis-pahit kehidupan, kamu tahu? Makanya sebagai senior, aku ingin kamu lebih hati-hati soal bagaimana diri persepsi publik ke kamu. Aku dengar, Hyunae, kamu nggak terlalu akrab sama angkatanmu. Gimana kamu representasikan diri kamu ke publik, gimana kamu berlaku ke orang yang berharga buat kamu, dan gimana kamu sebenar-benarnya. Semua perlu ada aturannya."

"Kalau gitu—" Fokusnya telah memburam ketika si hawa membuka mulutnya. "—Bukannya gimana kita sebenar-benarnya itu sosok yang lemah? Karena kita nggak bisa terbuka ke orang lain dengan ketakutan akan dilukai, baik itu oleh orang-orang atau ekspektasi."

"Hah?" Si senior refleks menggeram sedikit, kepalanya serasa mau pecah, efek alkohol telah membuatnya serasa mengambang.

"Dan lagi, kalau gimana kita merepresentasikan diri kita ke publik dan gimana kita sebenar-benarnya itu berbeda, apa maksudnya kita sebenarnya setiap hari berpura-pura?"

"Nggak, kamu salah nangkap maksud aku. Bukannya kita, sebagai individu memang mau dipandang hanya yang baik-baiknya aja? Emangnya setiap orang harus tahu kamu lagi menderita, atau kebencian-kebencian yang bikin suasana keruh aja? Orang itu harus tahu batasan apa yang bisa dibagikan dan apa yang enggak."

"Senior yang nggak ngerti maksud aku." Suara seretan kursi terdengar, menandakan orang di depannya telah beranjak. "Orang-orang yang menyimpan busuk hati tapi berpura-pura baik di depan itu aneh. Perkelahian memang nggak perlu, tapi memang harus ya pura-pura baik? Mentolerir satu sama lain itu udah lebih dari cukup daripada harus tersenyum manis sambil membawa pisau di belakang punggung."

Mr. Perfect (Liar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang