Jika kamu pikir kebaikan adalah sesuatu yang tak ada habisnya,
Tidakkah kamu pikir kamu telah kelewatan batas?
Hyunae menarik napasnya dalam-dalam. Sekaleng kopi hangat yang baru saja ia beli dari vending machine menyadarkannya bahwa ia benar-benar sendirian. Tidak, ia bukan orang yang supel, bukan pula orang yang senang bergaul. Ia tidak tahu ada rumor semacam apa di belakangnya karena yang ia tahu dengan jelas adalah para senior itu tak menyukainya, apalagi ketika Hyunae menolak ajakan Kim Jungwoo untuk secangkir kopi. Aku suka dan cukup dengan kopi kaleng, terima kasih.
"Sekarang aku dicap sok jagoan," keluh Hyunae, hanya dalam gumam. "Tapi bukannya main keroyokan itu salah, ya? Apa harusnya aku diam aja lihat si Na itu disudutkan?"
Hyunae tak mengerti.
Jika Na Jaemin yang berbicara, menyampaikan pendapatnya di depan forum, semua orang seketika menyimak seakan terkesima.
Namun, jika orang lain yang berbicara, apa semuanya jadi remeh bila dibandingkan dengan si Na? Tanpa bobot, hanya kicau belaka?
"Ini bukan inferiority complex, kan?" Hyunae agak ragu. Ia tidak pernah merasa rendah diri pada Na Jaemin. Mengakui kehebatan si adam tidak sama dengan merendahkan dirinya dibandingkan si pemuda Na. Tidak, ia meyakini objektivitas secara utuh. Tapi kenapa rasanya tidak ada yang menganggap serius omongan kecuali milik si Na Jaemin?
"Yah, kurasa zaman sekarang sudah ada istilahnya. Key Opinion Leader?" Si pemegang opini utama, yang mampu memimpin sekelompok orang dengan karisma dan kata-katanya. Mungkin Na Jaemin memang diciptakan sebagai pemimpin kelompok, sehingga ada perbedaan mengenai kredibilitas yang dibawa oleh Na Jaemin dibandingkan orang lain ketika mengemukakan pendapatnya.
Nada dering yang familier memecah lamunan Hyunae. Kopinya telah tinggal setengah, sudah tidak terlalu panas ketika Yangyang menelponnya. "Di mana?" tanya si adam.
"Di luar, beli minum. Kita jadi study session, kan, jam 7?"
"Jadi. Ingat, jangan telat, Hyun. Aku udah susah-susah loh supaya kita bisa ikut study group yang bergengsi. First impression itu penting. Kamu udah siapin bahan diskusi, kan?" Yangyang menyerocos, tanpa jeda dalam satu tarikan napas. Sayup-sayup, terdengar ocehan silih-berganti, tetapi tidak bersumber dari sambungan teleponnya.
"Hyun? Kok diem aja? Dianggurin nih aku kayak patung selamat datang??" Keki, Yangyang memanggil temannya yang tiba-tiba tidak menyahut.
"Ya?" Seolah tersadar, Hyunae tersentak sejenak kemudian menyambung, "Tenang, udah siap semuanya. Ketemu di gedung D nanti, ya."
Telepon ditutup. Yangyang pasti akan mengamuk nanti ketika mereka bertemu. Minimal sekali, si adam akan kebingungan kenapa si Hyunae tiba-tiba seakan linglung di pengujung percakapan mereka. Lebih tepatnya, atensi Hyunae telah direnggut dalam sekejap ketika ia mendengar konversasi selewat yang dilakukan oleh dua orang perempuan yang berjalan beriringan di depannya.
"Rencananya agak berbahaya, loh. Kamu yakin?"
"Yakin, lagian, ini hitungannya harmless kok."
"Tapi ini termasuk kriminal nggak sih?"
Mentari sudah berwarna jingga kemerahan kala Hyunae mendengar sesuatu yang tak seharusnya ia dengar. Sembari mengangkat kaleng kopi dan tetap memegang gawai di dekat telinganya, Hyunae mengecilkan volume handphone-nya serendah mungkin, berusaha mendengarkan dengan seksama.
"Memang menurut kamu Jaemin bakal sadar?"
Bebatuan di bawah sol sepatunya seketika terasa kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfect (Liar)
FanfictionDua pesandiwara. Dua isi hati rahasia. Satu pembaca pikiran. Satu yang pandai mengungkap kebohongan. Kompleks tetapi sederhana; kita tak bisa berpura-pura selamanya.