Mereka bertemu di pertengahan.
Pertengahan musim semi, pertengahan acara perkenalan mahasiswa baru. Bahkan ketika keduanya berdiri dalam barisan, yang terlihat hanyalah sebuah kontradiksi tentang bagaimana aura seseorang bisa begitu berlawanan, bak ilusi cermin yang menampilkan kanan sebagai kiri.
Penampilannya modis, wajahnya tampan dan visualisasinya selaras dengan gambar animasi. Kim Hyunae tak pernah melihat manifestasi lelaki manga sebelumnya dalam 20 tahun lingkar hayatnya. Pemuda itu cukup tinggi, bahunya lebar sehingga mantel yang dipakai si adam terlihat membalut tubuhnya dengan sempurna. Katalog majalah yang dahulu menjadi tempatnya berlangganan pun kalah karena tak ada model yang mempunyai senyum semanis itu. Bibirnya menipis kala senyum tersebut ditarik, hampir menampilkan kesan feminim yang cantik, tapi ia juga tampan.
Opini populer yang diutarakan kebanyakan orang dapat sekalian saja dikatakan sebagai suatu kesepakatan yang ditetapkan diam-diam.
"Kalau bintang utama tahun ini sih ... pasti dia."
"Pasti, aku dengar bahkan dia emang sudah populer dari dulu? Kamu katanya satu SMA sama dia, dia emang banyak temannya nggak sih?"
"Emang ramah sih orangnya ... nggak beda-bedain orang juga, aku dulu pernah ikut diajak main sama dia, padahal aku dulu culun banget dan kayaknya nggak sepantaran sama teman-temannya, apalagi sama dia ...."
Obrolan yang berseliweran itu punya satu topik yang sama, dan sukses membuat Hyunae penasaran. Terlalu sempurna kalau dari penggambaran orang-orang, tapi kayaknya bukan bual juga? Saat mereka diarahkan untuk berjalan beriringan, Hyunae cukup terkejut kala menyadari mereka berada di departemen yang sama.
la mengetahui nama si idola yang sedaritadi menjadi topik hangat ketika gendang telinganya menangkap maklumat perihal siapa yang menduduki peringkat satu per departemen di Ujian Masuk tahun ini.
"Na Jaemin."
Namanya bahkan terdengar sangat cocok untuknya.
Di tengah kerumunan, mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain. Membentuk lingkaran-lingkaran kecil dan mengobrol, bertukar nama dan canda sekaligus berbasa-basi. Kala itu, Jaemin dan Hyunae berada di lingkaran yang berbeda. Pijakan mereka yang berbeda pun jelas terlihat dari bagaimana mereka menempatkan diri. Hyunae memilih berbaur dengan mereka yang terlihat pendiam atau yang sudah ia kenal, sedangkan Jaemin berada di tengah lingkaran sosial yang terkenal.
Bahkan di tengah orang-orang yang bersinar itu pun ia yang paling mencolok. The perfect embodiment of a star.
Faktual tersebut seolah telah disepakati dan dimafhumi oleh jagat luas. Tampan, cerdas yang juga pintar, sekaligus lihai dalam menjalin hubungan interpersonal.
Bahkan Hyunae pun setuju, walau hal tersebut bukan urusannya.
Ia tidak melihat apa hubungan dirinya dengan kepopuleran Na Jaemin. Hyunae, saat itu, telah sah meyakini jika mereka tidak akan pernah bersinggung jalan. Tidak ada yang tampak bisa menjadi kesamaan di antara mereka, bahkan jika keduanya bertemu di titik tengah. Departemen Manajamen Bisnis ini luas, mahasiswa-mahasiswinya ada ratusan karena departemennya merupakan salah satu pilihan favorit dari tahun ke tahun. Ia tidak perlu menaruh banyak atensi pada eksistensi Na Jaemin, begitu pikirnya.
Sampai ketika Jaemin tertawa. Tawa yang ramah tapi tak sampai ke mata.
Hm?
Si gadis tertegun sejenak. Jika ada suatu kemampuan yang tak terlalu ia banggakan, itu adalah membaca raut muka seseorang. Ia akan dikatakan membual atau arogan jika berani menilai seseorang hanya dari ekspresinya saja, sok tahu, sok kenal. Namun, keterampilan ini ia dapatkan bukan atas kehendaknya, melainkan suatu kebiasaan yang sulit ia hilangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Perfect (Liar)
FanfictionDua pesandiwara. Dua isi hati rahasia. Satu pembaca pikiran. Satu yang pandai mengungkap kebohongan. Kompleks tetapi sederhana; kita tak bisa berpura-pura selamanya.