1

2K 303 19
                                    


Refian bagai tertampar oleh ucapan Luna, ia sadar dirinya hanya seorang yang beruntung diangkat oleh keluarga Subroto yang hanya punya seorang anak perempuan dan karena rahim istrinya bermasalah maka ia mengambil anak di salah satu panti asuhan, dirinya, Refian, laki-laki gagah yang kini memegang salah satu perusahaan keluarga Subroto. Tumbuh dalam keluarga kaya yang harmonis, membuat Refian hampir tak pernah menemui kesulitan dalam menempuh perjalanan hidup, pendidikan bermutu yang ia enyam sejak pendidikan dasar hingga berkuliah di luar negeri ia rasakan, dan pulang kembali ke Indonesia dengan jabatan mentereng sudah menunggu, tapi lagi-lagi ia harus ke negara tetangga untuk menggantikan papa angkatnya yang sudah lanjut. Hubungan percintaan pun tak ada kendala, beberapa kali dekat dengan wanita hingga akhirnya menjatuhkan pilihan pada Hanny, wanita mandiri yang juga punya perusahaan. Tapi entah mengapa di usia Refian yang ke-34 ia belum juga siap tiap kali Hanny mengajaknya menikah.

Hingga saat papanya meninggal ia harus pulang ke Indonesia, memegang kendali beberapa perusahaan dari negara asalnya dan mempercayakan perusahaan yang ada di negara tetangga pada suami kakak angkatnya, papanya Luna, mau tak mau Luna harus berada di bawah pengawasan Refian.

"Kau jangan terlalu keras padanya Refi." Suara Atirah, mama angkat Refian tiba-tiba saja menyeruak di telinganya, wanita berusia senja yang melangkah pelan dengan tongkat di tangannya. Refian segera berdiri dan menarik kursi makan agar mamanya duduk.

"Aku hanya nggak mau dia terjerumus ke pergaulan nggak bener Ma."

"Iya tapi nggak mungkin anak jaman sekarang nggak pacaran, nggak ngemall, dan nggak kumpul di cafe, iya kan? Mama saja yang tua gini paham masa kamu nggak? Yang penting kamu awasi saja, dia anak baik Refi."

"Anak baik masak dugem?"

"Kan nggak sering? Hanya kadang-kadang saja, sudahlah awasi saja dia, nggak usah sambil marah-marah."

.
.
.

Pagi buta Refian membuka pintu kamarnya dan menuju dapur bersih, ia buka kulkas meraih susu siap minum dan menuangkannya pada gelas yang terletak tak jauh dari kulkas.

"Hmmmm, gayanya saja kayak orang dewasa beneran, ternyata masih mimik cucu pagi-pagi."

"Nggak ada salahnya orang minum susu, di negara barat sana ini jadi minuman sehari-hari kamu aja yang kuno, masih berpikir primitif, dasar anak kecil."

"Aku kan memang anak kecil nggak salah kalo pengetahuanku kurang, yang aneh Om itu, masa aku selalu nggak boleh ini, dan nggak boleh itu."

"Karena kamu masih kecil!"

"Justru karena aku masih kecil harusnya aku menikmati dunia ini sepuasnya jadi pas tua kayak Om aku sudah kenyang pengalaman."

"Pengalaman sesat!"

"Yang ada di kepala Om sesat aja ya jadi sesat, apa-apa kan sesuai pikiran kita."

"Alah sok tahu."

"Biarin daripada Om yang sok tua, eh emang tua sih." Dan Luna terkekeh pelan. Refian yang marah menarik Luna hingga terbentur ke dadanya. Mereka saling menatap dalam jarak dekat dan wajah mereka sama-sama menahan marah.

"Mau apa Om?"

"Kamu jangan ngomong sembarangan, harusnya kamu jaga mulut kamu!"

"Kan Om memang tua! Mau apa? Kenyataannya memang mmmmppphh ..."

Dan Refian memegang rahang Luna sambil meraup kasar bibir terbuka di bawahnya dan melepas ciumannya saat napas keduanya tersengal-sengal. Mata Luna berkaca-kaca, ia pukul dada Refian.

"Om jahat! Aku benci Om, benci karena Om sudah nyium aku, aku maunya pacarku yang pertama nyium aku! Aku benci Oooom!"

Dan Luna berlari ke kamarnya sambil terisak. Refian hanya bisa tertegun, ia usap bibirnya, merasakan sisa-sisa bibir Luna di bibirnya.

"Apa Aku betul-betul pedofil? mengapa hanya pada anak kecil itu hasratku selalu menggelegak tak karuan."

.
.
.

"Kenapa lagi kamu sama Luna? Dia ngamuk-ngamuk nggak mau makan sama kamu saat tadi aku ajak sarapan, untung ini sedang liburan jadi aku biarkan saja dia." Atirah menemani Refian di ruang makan, Refian sudah bersiap hendak ke kantor.

"Dia bilang aku tua Ma, nggak sopan ya aku marahi dia."

Dan Atirah terkekeh pelan.

"Kan betul dia, harusnya kamu sudah menikah, apa lagi yang kamu pikirkan? Hidupmu sudah mapan."

"Nggak Ma, belum aja, malah aku jadi malas melanjutkan hubungan dengan Hanny yang selalu merengek minta dinikahi, pernikahan kan bukan hanya sekadar cocok lalu ok."

"Nggak gitu juga Refi, bagi wanita usia itu terus berjalan makanya dia ingin segera menikah, sedang bagi laki-laki nggak masalah mau menikah di usia berapa saja, jadi ya beda pandangan kalian, makanya menikahlah, mama ingin segera punya cucu lagi."

"Ah Mama, biar aku mikir dulu."

"Mikir apa?"

"Mikir caranya agar aku bisa mencintai Hanny kan Hanny pilihan Mama, dia wanita baik sih, hanya dia lebih mementingkan pekerjaanya dari pada aku, jika menikah lalu gimana? Aku sempat minta dia berhenti kerja, aku bisa mencukupi semua kebutuhan dia, tapi dia nggak mau, malah bilang ngga mau tergantung sama aku, gimana aku bisa cinta kalo dia aja lebih cinta kerjaannya."

"Kamu normal kan Refi?"

Refian sampai tersedak saat mendengar pertanyaan Atirah.

"Pertanyaan yang aneh, ya normal Ma, masa aku suka jenis aku sendiri, ya nggak lah, aku sempat beberapa kali pacaran tapi selalu putus sampai mama menyodorkan Hanny dan aku mau, cantik sih dia dan siapa tahu bisa jatuh cinta eh malah nggak bisa-bisa, aku hanya menjalani saja hubungan sama dia dan Hanny juga tahu kalo aku belum juga bisa mencintai dia, kayaknya bagi Hanny cinta dariku nggak penting, yang penting nikah, udah selesai, hanya untuk status kayaknya Ma."

"Khawatir kan mama jadinya, masa kamu nggak cinta Hanny yang cantik dan menarik secara penampilan? Beneran mama khawatir meski kata jamu beberapa kali pacaran tapi kamu nggak pernah bawa teman wanita kamu ke rumah ini, jadi pertanyaan Mama, kamu pernah jatuh cinta apa nggak?"

Refian hanya mengangguk ragu sambil tersenyum lebar dan bergumam dalam hati.

"Mengertilah Ma, jika cintaku dibawa semua oleh gadis menjengkelkan itu."

.
.
.

Sementara di dalam kamarnya Luna terlihat masih menyimpan marah, ia tak suka pada Refian yang tiba-tiba saja menciumnya tanpa alasan, ia akan berusaha menjauh dari laki-laki mesum yang hanya mengambil keuntungan darinya  tapi entah mengapa saat mengingat ciuman Refi yang menjelajah bibirnya, dadanya tiba-tiba saja berdegup kencang. Lalu ia usap kasar bibirnya.

"Benci aku sama Om Refi, tapi kok rasanya gitu ya aneh-aneh tapi enak, ih nggak ah jijik, masa ciuman sama om-om tua."

💗💗💗

2 Agustus 2022 (05.22)

Om, Aku Masih Kecil (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang