5

1.1K 234 24
                                    


"Lu ancur banget, ckckck, hanya karena anak kecil sampe segitunya, liat tampang lu, acak-acakan banget masa pemilik perusahaan kayak gitu."

Dito menatap wajah sahabatnya yang  memejamkan mata, bersandar pada sandaran kursi di ruang kerjanya.

"Biarin, toh ini sudah di luar jam kerja, udah malem juga, lagian apa gue salah kalo pelarian gue ke kerjaan bukan minum dan main cewek?" Refian menarik pelan dasinya dan membuka kancing teratas kemejanya.

"Gue juga galau." Terdengar suara sedih Dito.

"Hehe galau apaan? Lu kan dah jadian sama Hanny? Apa yang bikin lu galau?"

Dito kaget, ia tak mengira jika Refian tahu ia gerak cepat.

"Lu ternyata masih mata-matain Hanny?"

"Nggak lah buat apa?" Refian terkekeh pelan, ia merasakan nada cemburu dalam ucapan Dito.

"Gue nggak ada rasa sama Hanny lu tau itu sejak dulu, lu sahabat gue tahu gue luar dalam, tahu gimana perasan gue sama Hanny, gue pernah berusaha tapi gak bisa jadi kalo setelah gue putus sama dia dan seminggu kemudian kalian jadian it's ok, gue nggak merasa lu ngerebut dia dari gue jadi silakan, gue tahu karena gue pernah ketemu dia nungguin lu di depan, dia kayak sengaja biar gue tahu dan nggak ngaruh apa-apa ke gue, selamat Dit semoga kalian lanjut sampe ke pelaminan."

Dito mengangguk lemah.

"Aamiin, tapi ya itu dia, kayaknya gue belum berhasil bikin dia move on dari lu, dia kayak masih ninggalkan hatinya di lu."

"Nggaaak, lu salah kami sama-sama gak ada rasa."

"Justru lu yang salah Ref, dia sendiri yang bilang ke gue, merasa mulai mencintai lu setelah kalian bubaran, lu kaget kan?"

Refian mengembuskan nafas berat. Ia duduk tegak dan menatap mata sahabatnya yang berusaha mencari kesungguhan di matanya jika ia benar-benar tak ada rasa pada Hanny.

"Lu pegang kata-kata gue, gue hanya mengharap bocil itu kembali ke pelukan gue, gue nggak akan hidup dengan wanita yang nggak gue cinta."

"Thanks Ref, gue sebenernya dah lama suka sama Hanny."

"Gue tahu, jauh sebelum kami putus kan? Mata lu gak bisa berbohong, rasa kagum dan suka lu ke Hanny keliatan banget."

"Maaf Ref."

"Gak papa, gak masalah, yang jadi masalah kalo lu punya hati sama Luna."

"Ck."

.
.
.

"Kamu mau apa lagi Luna? Tiap hari kerjaannya merengek-rengek gak jelas! Kamu pindah ke sini dengan konsekuensi kamu siap melakukan sendiri semuanya! Papa kamu super sibuk, mama juga punya bisnis sendiri jadi belajarlah mandiri, negara ini aman, kamu mau ke mana-mana sendiri juga aman, mama carikan kamu sekolah internasional yang bikin kamu nyaman Luna, ayolah belajar apa-apa sendiri!"

Suara Dania menggelegar, baru sebulan Luna bersamanya betul-betul memancing emosinya.

"Seminggu pertama ok mama kawal kamu tapi selanjutnya silakan kamu belajar ke mana-mana sendiri!"

Luna betul-betul kaget, ia tak mengira jika mamanya seolah tidak mau tahu apakah dia akan celaka atau kebingungan sendiri di tempat asing Luna merasa mamanya tak takut kehilangan dia.

"Ma, aku anak Mama kan? Masa aku hanya minta antar aja Mama kayak keberatan, sampe histeris gitu, padahal nenek dan Om Refi yang lebih sering aku repotin sekalipun nggak pernah mengeluh capek kalo aku minta tolong."

"Itulah bedanya mama dan mereka, kamu jadi manja dan nggak mandiri karena kamu selalu dibantu tiap mau apa aja! Mulai besok kamu harus ke mana-mana sendiri, ngerti! Kalo perlu uang ya kamu ambil silakan berapa aja kamu mau dan untuk apa ya terserah kamu, ini kartu kredit kamu pegang, tapi sekali lagi jangan ngerecokin Mama!"

Tanpa terasa air mata Luna hendak tumpah, ia sama sekali tak mengira jika mamanya akan setega itu padana. Selama ini ia terbiasa dikawal ke mana-mana oleh Refian, terkadang neneknya yang juga ikut dengannya saat mereka ke mall, kini semua hal harus ia atasi sendiri. Sementara papanya pun hampir tak bertemu dengan Luna dan mamanya, berangkat pagi dan pulang saat larut malam bahkan pernah seminggu lamanya papanya melakukan perjalanan bisnis dan mamanya tak merasa kehilangan sama sekali. Luna betul-betul tak mengerti dunia orang dewasa, terbersit penyesalan dalam dirinya, mengapa menuruti emosinya hingga harus pindah ke negara lain dan terpisah dari Refian juga neneknya yang selama ini sangat perhatian padanya.

"Apa mama jadi kayak gini karena papa? Mama dan papa berubah banget! Selama sebulan aku di sini aku nggak lihat mama sama papa ngomong, ada apa? Masa iya suami istri kayak gitu? Setahu aku dulu waktu kecil saat papa mama masih belum sibuk, kalian mesra banget."

Wajah Dania terlihat marah, ia tatap tajam mata Luna.

"Kamu nggak tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa jadi lebih baik diam! Kamu nggak tahu dunia laki-laki dan wanita saat dewasa kayak apa! Nasihat mama jangan percaya pada laki-laki saat ia banyak uang! Makanya kamu mama bawa ke sini agar kamu jauh dari Refian, dia suka kamu, dia punya segalanya, kamu hanya akan dibuat mainan, camkan itu!"

Luna hanya melongo, ia benar-benar tak mengerti apa maksud dari ucapan mamanya.

.
.
.

Atirah kaget saat dini hari, pintunya di ketuk berulang, perlahan ia bangkit dan menyeret langkahnya, di depan pintu ia menemukan wajah pias Refian dengan rambut acak-acakan dan masih menggunakan baju tidurnya.

"Ma, Luna nelepon dia nangis histeris!"

Atirah panik, ia memegang kedua lengan Refian.

"Ada apa? Apa yang terjadi Refi?"

Refian memeluk Atirah.

"Mama janji ya? Mama akan kuat?"

Atirah mengangguk, ia akan berusaha tabah, apapun yang terjadi.

"Kak Dania kecelakaan, dan ... dia tewas dalam kecelakaan tunggal itu."

Dan Atirah akhirnya luruh dalam pelukan Refian, pingsan karena tak kuat menerima kenyataan.

Sementara di belahan negara lain, terlihat Luna yang terus menangis, menangisi nasib malang mamanya yang menurut beberapa orang di tempat kejadian, Dania sengaja menabrakkan diri. Dan diantara kesedihannya juga isak tangisnya Luna menatap tak mengerti pada seorang wanita muda yang berdiri di dekat papanya, bergelayut erat di lengan kekar papanya, entah siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan papanya? Dan mengapa hadir di saat yang tak tepat. Pikiran muda Luna berusaha menebak-nebak, berusaha menarik benang merah antara ucapan-ucapan terakhir mamanya, dengan kejadian naas hari itu serta wajah datar papanya saat menatap tubuh kaku mamanya yang bersimbah darah, seolah tak ada rasa kehilangan, seolah tak ada rasa sedih untuk melepas kepergian mamanya yang meninggal dengan cara tragis.

🥀🥀🥀

28 Agustus 2022 (19.32)

Om, Aku Masih Kecil (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang