6

1K 231 28
                                    


Delapan tahun berlalu ....

Pintu ruang kerja Refian terbuka, sebenarnya ia kaget tapi berusaha untuk tetap tenang. Dari arah pintu masuk, berjalan seorang wanita cantik, bagi Refian selamanya akan selalu terlihat cantik, menggunakan blazer dan rok dengan warna navy dan sesekali blouse putihnya menyembul saat ia melangkah ke arahnya tanpa senyum, lalu tanpa di suruh, ia duduk dengan tubuh tegak di depannya, menyilangkan kakinya hingga terlihat heels yang membalut kaki indahnya.

"Aku sudah memenuhi keinginan Om, untuk kembali ke negara ini, ke perusahaan ini lagi, meninggalkan perusahaan yang telah aku besarkan nun jauh di sana, menyerahkannya pada Om yang sekarang entah siapa yang mengelola dan di sini aku harus apa? Aku tak mau jadi bawahan Om, aku mau posisi yang sama!"

Refian mengembuskan napas, jantungnya selalu tak baik-baik saja tiap kali berhadapan dengan keponakan kecilnya yang kini tak lagi kecil, sudah berubah wujud menjadi wanita dewasa berusia 24 tahun, dan cintanya pada makhluk Tuhan di depannya tak juga kunjung usai.

"Kau tinggal memilih Luna, mau di perusahaan ini atau yang satunya, aku memegang beberapa perusahaan juga, aku sama denganmu bekerja keras untuk keluarga kita, agar aku si anak pungut bisa membalas kebaikan mama yang saat ini butuh perhatian aku dan kamu karena sering sakit."

"Yah, aku pulang karena nenek, bukan karena siapa-siapa."

Refian merasa Luna sedang menyindirnya.

"Aku menyuruhmu kembali ke negara ini hanya karena nenek, bukan karena perusahaan apalagi aku! Aku tak akan menganggumu! Aku memintamu pulang karena kau satu-satunya yang tersisa dari keluarga Subroto."

Mata Luna memanas, sejujurnya ia selalu rindu pada perhatian Refian karena sepanjang hidupnya ternyata tak ada laki-laki yang bisa memberinya perlindungan penuh layaknya seorang ayah seperti yang dilakukan Refian saat ia bersekolah dulu. Setelah mamanya meninggal Luna betul-betul hidup mandiri dan perlahan tapi pasti akhirnya ia tahu penyebab mamanya menyia-nyiakan hidupnya hanya karena frustrasi saat tahu jika papanya akan punya anak lagi dari wanita yang selama ini jadi tempat papanya pulang. Luna mau tak mau bekerja sama dengan Refian dan neneknya Atirah untuk memecat papanya dan tak memberinya sedikit pun bagian dari perusahaan yang dia pegang. Berkali-kali papanya memohon tapi Luna tak lagi menggubrisnya hingga akhirnya tak lagi muncul.

Luna tumbuh menjadi wanita dingin dan pekerja keras. Membayar semua kesakitan mamanya dengan cara belajar dengan giat dan bekerja tanpa mengenal lelah. Ucapan mamanya terakhir kali ia pegang teguh dan selalu ia ingat bahwa ia tak akan pernah percaya pada laki-laki saat mereka memegang kekuasaan dan banyak uang dan sejak itu pula Luna jadi tak ingin ada hubungan lebih dengan makhluk yang bernama laki-laki.

"Gimana kabar papamu?"

"Aku nggak tahu! Dan nggak mau tahu Om."

"Kamu nggak menghubungi dia sama sekali? Dia papamu apapun kesalahan dia, dia tetap papamu! Dalam darahmu mengalir darah papamu, ingat itu, dia memang salah tapi tak membuka tali silaturahmi sama sekali juga tak benar."

"Apa jika aku membuka tali silaturahmi mama akan hidup lagi?"

Refian menggeleng pelan sambil tersenyum dan Luna mengalihkan tatapannya pada map di meja Refian, harus ia akui laki-laki di depannya semakin tampan di usianya yang ke-42 dan yang pasti masih tetap sendiri.

"Bukan begitu, paling tidak kalian bisa belajar berdamai dan belajar ..."

"Melupakan masa lalu? Tidak! Dia sudah membuat mama meninggal, itu yang akan aku ingat selamanya, dan saat dia sekarang sendiri, sakit-sakitan, tanpa uang, tanpa anak dan istri lalu aku harus peduli padanya? Tidak! Itu tak akan pernah terjadi, sudahlah Om, aku hanya ingin tahu, mulai kapan aku bekerja?"

"Hari ini! Di sini!" Suara Refian penuh tekanan.

"Aku ingatkan lagi, aku tidak mau posisi di bawah Om, aku ingin posisi yang sama!"

"Ok, aku yang akan pindah ke perusahaan satunya, besok akan ada serah terima jabatan."

Luna merasakan suara Refian yang kaku, tak biasanya, tiba-tiba saja ada rasa kangen Refian membujuknya seperti dulu dan ia merajuk lalu Refian luluh, ah mungkin tak akan terjadi lagi, tak akan lagi, kelebat tubuh kaku mamanya yang bersimbah darah membuat Luna kembali ingat pesan terakhir wanita yang ia cintai, bahwa tak ada laki-laki setia saat mereka telah memiliki segalanya.

.
.
.

"Pak, sudah siap semua."

Cherry sekretarisnya mengingatkan jika Refian harus segera pamit pada semuanya dan barang-barangnya sudah tak ada yang tersisa lagi di kantor yang sudah ia besarkan bertahun-tahun.

"Bapak kok mau aja sih mengalah sama dia."

Cherry terlihat sebal sambil melirik Refian yang hanya tersenyum.

"Dia keponakanku, dan dia lebih berhak dari pada aku yang hanya anak angkat neneknya."

"Tapi Bapak yang bertahun-tahun menjaga dan membesarkan perusahaan ini, itu kan kata Bapak sendiri yang cerita sama saya."

"Sudahlah, ayo kita berangkat Cherry."

"Mari Pak."

Refian melangkah diikuti oleh tatapan mata Luna yang ternyata ke luar dari ruang kerja yang ada di samping ruang kerja Refian, tatapan mata tak suka terpancar dari mata Luna karena sejak tadi wanita bertubuh seksi itu melayani semua keperluan Omnya, seharusnya ia tak punya pikiran seperti itu karena wanita itu adalah sekretaris Omnya jadi wajar jika semua keperluan yang berhubungan dengan pekerjaan kantor dan semacamnya dikerjakan oleh wanita itu. Entah apa yang dirasakan oleh Refian tiba-tiba saja ia menoleh dan mereka -- Luna~Refian -- saling tatap sejenak dalam diam lalu Refian berbalik lagi melanjutkan langkahnya.

Apa yang kau pikir gadisku? Tatapanmu terlihat tak nyaman, cemburu? Tak mungkin! Tapi aku berharap iya.

"Bapak mikir gadis itu lagi?"

"Yah!"

"Buat apa?"

"Buat kesehatan jiwaku, aku mencintainya dan ingin dia yang jadi istriku, ibu dari anak-anakku."

Mulut Cherry terbuka karena kaget tak menyangka apa yang ia dengar, baru kali ini bosnya menyatakan cinta pada seorang wanita, karena tiga tahun ini ia bekerja menggantikam seniornya, ia pikir bosnya tak ada rasa pada lawan jenis, ternyata selama ini ia memendam cinta pada keponakannya sendiri.

"Ternyata Bapak bisa cinta sama wanita, saya pikir Bapak ...."

"Belok? Hehe ... Aku normal Cherry, sangat normal, tapi cintaku yang dia bawa pergi semuanya membuat aku nggak pingin nikah kalo nggak sama dia."

Keduanya berjalan pelan, menuju lift khusus lalu melanjutkan kisah saat sudah berada di dalam lift.

"Dia tahu Bapak suka sama dia?"

"Tahu, bahkan sejak dia SMA sudah tahu."

Cherry benar-benar tak mengerti, apa yang terjadi pada bosnya mengapa menyukai keponakannya sendiri.

"Bapak aneh banget, suka kok ya sama wanita seusia saya, jauh banget Pak jarak usia Bapak sama dia."

"Emang masalah? Saat cinta bicara semua akan terasa indah dan akan baik-baik saja, aku yakin itu sejak lama."

💗💗💗

30 Agustus 2022 (01.43)

Om, Aku Masih Kecil (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang