BAB 8 - Liam

0 0 0
                                    

Langkah kakinya bergerak tergesa memasuki pekarangan rumah. Liam tidak bisa membendung rasa khawatirnya sekarang. Banyak hal datang silih berganti, ia hanya berharap ini bukan hal buruk karena tidak ingin malamnya menjadi lebih gelap dari langit yang bergemuruh.

Adam adiknya, meneleponnya beberapa saat lalu memintanya untuk pulang sebentar untuk memeriksa sesuatu. Suara Adam terdengar sedikit bergetar di seberang, jadi tanpa pikir panjang ia langsung bergegas menemui adiknya. Jujur, dirinya tidak ingin membuat scenario buruk dalam benaknya, namun mengingat keadaan rumahnya yang tidak baik, ia tidak bisa menahan otaknya untuk berhenti. Jika jejak langkahnya dapat terlihat pasti menyisakan banyak lubang hitam dibelakangnya.

“kau harus melihat ini.” kata Adam meminta Liam untuk mengikutinya menuju komputer di meja kerja begitu ia sampai. “aku tidak mau mengatakannya, jadi kau saja yang mengartikan itu sendiri.”

Liam menatapnya binggung. Ia mengira adiknya akan bercerita panjang lebar atau memberi sesuatu yang menambah bebannya. Namun malah menyuruh dirinya untuk membaca satu email yang dikirim khusus untuk dirinya. Matanya membaca isi email yang diketik dengan bahasa baku. Butuh waktu yang lama untuk otaknya memproses maksud dan tujuan pada pesan itu.

Pandangannya bergeser melihat Adam disebelahnya yang sudah menunjukan senyum sumringah. Liam kembali melirik layar komputernya membaca satu kalimat disana. Meski hatinya berdegup kencang tidak percaya dengan yang dibacanya, wajahnya masih menampilkan ekspresi binggung.

“mengapa kau tidak bereaksi sama sekali? Ini hal hebat.” Kata Adam. “congrats, bro.” adam memeluk Liam dengan euphorianya.

“hey, hey, tunggu sebentar. I-ini sungguh terjadi?” Kata Liam terbata.

“sungguh, aku saja tidak percaya saat membacanya tadi. Jadi aku langsung menghubungimu saat itu juga. Jadi benarkan kau akan bercollaborasi dengannya?”

Liam mengangguk mengiyakan pertanyaan Adam. Liam melirik sekali lagi pada pesan itu dan langsung berosorak girang bersama adiknya. Pesan yang didapatnya berisikan permintaan kerja sama dari seorang pelukis yang menjadi idolanya selama ini. Seniman asal Paris, Prancis berinisial R itu mengontak langsung Liam untuk meminta persetujuan collaborasi. Seniman lelaki itu juga menjadi juri pada lomba yang tidak dimenanginya kemarin.

Pada pesan itu juga disampaikan bahwa dirinya tidak jadi dimasukan kedalam daftar pemenang karena seniman itu sangat tertarik pada karya-karya lukisan milik Liam, jika ia diajukan sebagai salah satu pemenang dirinya akan sibuk untuk menjalankan projek lain bersama pemenang lain yang memang dikhususkan dari perlombaan tersebut. Namun karena seniman itu sangat tertarik pada Liam dia meminta kepada juri yang lain untuk mengganti dirinya demi mengajak kerja sama.

Seniman itupun juga tahu bahwa Liam menunda pamerannya di Paris tahun ini dan malah meminta untuk bercollaborasi dalam pamerannya nanti. Seniman idolanya menuliskan jika dirinya menyetujui ajakan kerja sama itu, ia harus terbang keparis dalam satu minggu kedepan untuk memulai kerja sama mereka. Walaupun ia sangat bahagia dengan kabar tersebut, Liam merasa berat meninggalkan kotanya karena masih ada satu janji yang harus ia tepati bersama Millie.

Jadi ia membalas dengan menyetujui permintaan kerja sama itu tapi ia meminta waktu sampai akhir bulan sebelum akhirnya pergi. Meski Liam tidak yakin akan disetujui, setidaknya ia telah meminta perenggangan waktu untuknya. Dirinya tahu betul hal ini membantunya keluar dari semua masalah yang membelit hidupnya dan memberi belokan baru pada jalannya, ia bodoh jika menolak hal sebesar ini.

Sekali lagi ia merasa berterima kasih pada Millie yang tetap memberinya kepercayaan pada dirinya bahwa hal yang lebih baik akan datang padanya. Ingin sekali Liam memberitahu kabar menakjubkan ini pada wanita itu ia tidak sabar melihat ekspresinya yang Liam yakini akan sangat menggemaskan. Ia akan memberitahunya nanti ketika sudah mendapatkan perenggangan waktu untuk tetap bisa menghabiskan sisa waktunya bersama Millie sebelum menyebrang benua lain, yang dirinya sendiri tidak tahu berapa lama ia akan tinggal.



***



“haruskah kita kembali pulang? Aku rasa ini bukan hal bagus.” Ujar Millie melihat jauhnya bukit yang akan mereka masuki.

“kau sudah menyetujuinya, tidak ada penolakan.” Kata Liam mendorong punggung Millie untuk mulai berjalan memasuki jalan setapak yang menanjak.

“kakiku bisa saja patah ditengah perjalanan nanti, kau tahu.” Millie mulai melebih-lebihkan demi menggagalkan rencana hiking mereka mengingat dirinya benci berolahraga. Tapi Liam dibelakangnya tetap memaksanya untuk berjalan.

Benar, mereka sekarang sedang hiking mengisi list kegiatan mingguan mereka. Pada awalnya Millie sangatlah bersemangat untuk kegiatan mereka minggu ini, dia sudah menyiapkan banyak hal hingga perintilan tidak penting yang ingin dibawanya. Bahkan membelikan Liam sepatu dan jaket baru.

Di mobil selama perjalanan pun Millie terus bersenandung dan memberi list apa saja yang ia ingin lakukan dipuncak bukit nanti mulai dari membuat api unggun, berfoto dengan latar bintang dilangit, menikmati hembusan angin bersama pepohonan rimbun disekeliling mereka, hingga bersiap menuliskan cerita bagus berhubung suasana indah yang akan menyelimuti mereka dimalam hari nanti. Namun setelah sampai dan melihat betapa jauh dan tinggi bukit yang akan mereka daki, semangatnya luntur seketika.

Liam hanya menggeleng kepala tidak habis pikir, memangnya serendah apa bukit yang dibayangkan oleh Millie. Tujuan akhir yang dibayangkan oleh wanita itu memanglah sangat bagus, tapi dia melupakan hal berat yang harus dilaluinya sebelum mencapai itu semua. Dia bahkan lupa untuk melihat pemandangan sejuk disekitar karena lebih mementingkan lelahnya.

Tawa tak henti keluar dari mulutnya melihat Millie yang sudah mulai kehabisan nafas padahal mereka belum setengah jalan. Wanita di belakangnya terus terbatuk sambil menyanggah tubuhnya pada tali pembatas jalan setapak. Peluh sebesar biji jagung terlihat terus mengucur dari dahi Millie. Wanita itu bahkan sampai membuka jaket yang dikenakannya sambil terus mendumal tidak jelas.

Berbeda halnya dengan Liam yang masih terlihat bugar pada langkahnya malah dirinya yang sekarang menikmati pemandangan. Ia sedang memejamkan mata menikmati semilir angin yang datang menariknya dalam nafasnya panjang. Ditempatnya berdiri sekarang terdapat sebuah tangga jalan setapak ditengah-tengan pepohonan hijau nan rimbum dengan angina yang terus berbisisik menggesek dedaunan pada pepohonan semakin membuat suasana menjadi damai. Meski ada beberapa orang yang berlalu lalang sambil berbincang, tidak menurunkan kedamaian ditempat itu. Tidak bisa dipungkiri lagi ia snagat menyukai tempat seperti ini.

Namun berbeda hal dengannya yang menunggu Millie sedang beristirahat untuk kesekian kalinya. Wanita itu duduk disalah satu besar sambil memijit kakinya yang terasa kebas. Millie terus mendumalkan banyak hal tentang serangga yang ditakutinya mungkin saja datang menyerangnya atau tubuhnya yang terasa remuk dan kekhawatirannya tidak bisa memotret momen bagus karena terlalu lelah.

“yak! Bagaimana kau bisa masih terlihat segar begitu?” tanyanya dengan nafas tersendat disetiap kata yang keluar.

“karena aku sering berolah raga tidak sepertimu yang sudah berhenti berolahraga dan hanya berkutat depan laptop tidak melakukan apa pun seharian penuh dan melakukannya lagi esoknya, esoknya dan esoknya.” Liam tertawa puas setelah berhasil mengolok.

Millie berdecih. Rajin olahraga apanya, selama tinggal bersama Millie pun ia tidak pernah melihat Liam pergi berolah raga sekali pun sama sepertinya hanya duduk dan berkutat pada mainan warna-warninya. Tidak ada gunanya lelaki itu mengolok pikir Millie, ia juga mengatai dirinya sendiri.

“jika aku mati terkapar disini bagaimana?” Millie kembali pada gumamannya mengalihkan pembicaraan Liam yang mengoloknya.

“kau terlalu berlebihan.” Liam memutar matanya malas mendengar ocehan Millie yang mulai tidak masuk akal. “tapi jika itu terjadi, aku tinggal menguburmu. Berhubung banyak lahan dan tanah yang bagus disini.”

“hey!” Millie melemparkan batu kerikil yang ia dapatkan disekitarnya namun hanya sampai pada ujung kaki lelaki itu dan kembali ditertawakan olehnya. “aku rasa Melody juga tidak akan menyukai kegiatanmu ini. Terlalu melelahkan.”

“kau salah. Dia pasti menyukainya. Dan tidak banyak omong sepertimu.” Bantah Liam cepat.

“ck, persetan dengan Melody busukmu itu.” omel Millie yang kembali kesal mendegar wanita itu kembali disebutkan.

“hey!” protes Liam mendengar Millie mengeluarkan sumpah serapahnya.

“hey!” balas Millie tidak mau kalah sambil mengacungkan telunjuknya pada Liam memperingati.

Liam menghela nafas, tidak ada gunanya berdebat dengan Millie tidak akan ada habisnya dan hanya memperlambat mereka saja. “ayo kita harus kembali jalan sebelum hari langit menggelap.”

“kita pulang saja. Kakiku kebas aku rasa mereka hampir putus.” Millie memberikan tatapan memohonnya pada Liam yang ia buat dengan sok imut tapi malah lebih terlihat seperti ekspresi orang sedang menyindir orang lain.

Liam memandang datar wanita itu. Ia tidak bersuara setelahnya, malas kembali berdebat. Liam memutar tas ranselnya menggembloknya didepan, kemudian dia berjongkong membelakangi Millie. “ayo naik.”

“kau yakin?” ia tidak yakin dengan tindakan Liam didepannya. Namun lelaki itu tetap memaksanya.

“cepat naik.” Perintahnya tidak menginginkan satu penolakan.

Tidak ada pilihan lain. Millie juga tidak yakin kakinya mampu berjalan sampai puncak jadi ia mengiyakan perintah Liam dan naik diatas punggung bidang lelaki itu membawanya naik keatas bukit meski dengan langkah yang agak terbata, ia tetap menjaga wanita itu dipunggungnya. Liam bahkan meminta Millie untuk bersenandung kecil demi mengalihkan rasa pegalnya. Millie melakukan itu dengan suka rela disamping leher Liam dan mulai bernyanyi sebisanya dengan tawa dari keduanya yang terus mengiringi setiap langkah.

Menggendong Millie seperti ini membalikan kenangan Liam saat masih bersekolah dulu. Dia dan Millie selalu bersekolah ditempat yang sama sampai kuliah. Millie bilang ia tidak ingin jauh darinya karena dia yakin dirinya tidak akan mendapat teman baru jika masuk sekolah yang berbeda dengan Liam. Semisal Liam melarangnya seklipun, wanita itu pasti tetap mejalankan niatnya, lagi pula dirinya pun tidak keberatan.

Ada saat dimana mereka masih duduk disekolah menengah atas, Liam mendapati Millie sedang berlari mengelili lapangan belakang sekolah yang cukup luas karena dihukum akibat kenakalannya melawan satu guru yang membuat wanita itu geram. Millie memang anak yang vocal dari dulu, ia tidak mementingkan orang yang dilawannya selama orang itu salah.

Awalnya Liam hanya menontoni kegiatan wanita itu dari lantai atas, namun ketika melihat Millie mulai tersendat nafasnya sendiri dan mulai lunglai hingga hampir pingsan ditengah hari yang terik itu, Liam segera turun kebawah menyusulnya.

Keadaan Millie sangat kacau. Wajahnya pucat pasi dengan poni pendeknya yang lepek akibat keringat. Liam yakin sahabatnya itu menjalani hukuman dengan perut kosong karena selalu meninggalkan sarapan paginya.

Liam sudah memintanya berhenti menjalani hukuman dan pergi ke UKS untuk beristirahat, namun Millie berkata jika ia tidak menuntaskan hukumannya hari ini, wali kelasnya akan memanggil ibu Millie kesekolah. Dia lebih memilih untuk berlari dari pada memiliki urusan dengan ibunya yang terewet. Setelahnya Millie kembali melanjutkan larinya, namun tak lama dia jatuh terduduk.

Dia sudah tahan lagi melihat Millie menderita, jadi ia memberikan punggungnya sambil berkata. “cepat naik, kita selesaikan hukumanmu.” Tidak ada penolakan dari Millie dan malah mengucapkan terima kasih pada Liam. “jika tidak bisa menjalani hukuman, jangan jadi bocah nakal.” Meski mengomel Liam tetap berlari sambil menggendong Millie dipunggungnya.

Walapun sikapnya dianggap sangat heroik bagi Millie, keesokannya mereka kembali mendapat hukuman karena membolos bersama setelahnya. Liam tidak mempermasalahkan hukumannya selama itu bersama Millie.


30 Days with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang