BAB 11 - Millie

0 0 0
                                    

Sepucuk surat yang tertulis pada sticky note diatas satu kotak coklat berukuran besar menarik perhatiannya di ruang kerja. Tulisan surat itu berucap ‘semoga harimu lebih baik. Maaf atas yang kemarin. Liam’ Millie memandangi sejenak coklat dengan merek terfavoritenya yang sudah ia incar dari bulan lalu karena terus sold out. Alih-alih memakannya, Millie malah memasukan coklat itu kedalam laci cabinet dimeja kerjanya.

Ia melihat sekeliling ruangan kerja itu yang kembali terasa hampa tanpa adanya lukisan-lukisan Liam juga lelaki itu yang sudah pergi sejak pagi entah kemana. Millie menyesap kopinya yang kembali menjadi sarapan paginya sepertinya ia harus meminta maaf kepada perutnya karena sudah tidak dapat memberinya makanan yang layak seperti hari sebelumnya.

Tidak, ia tidak membenci Liam, ia hanya masih kesal, bukan berarti Millie gila hormat karena belum memaafkan Liam, ia hanya ingin mendapatkan permintaan maaf langsung didepan matanya tanpa ada sogokan atau semacamnya. Hanya berbicara berdua empat mata dan menyelesaikannya dengan baik bukan seperti ini. Juga, Millie belum bisa menerima sikap Liam yang didapatnya tengah malam tadi ketika ia kembali terbangun dari tidurnya.

“dia sudah pergi, kau puas?” kata Liam dengan nada penuh amarah.

Lelaki itu mengatakannya ketika Millie masuk ke ruang kerjanya untuk mengambil laptopnya dimeja. Liam tidak meliriknya sedikitpun masih dengan sikapnya yang tidak dapat Millie pahami, dia lebih memilih sibuk mengemas lukisannya tidak menghiraukan Millie sedikitpun.

“perlu sekali ya, kau bersikap begitu?” Millie tidak sedikitpun menyulut Liam, ia berbicara dengan santai tanpa ada penekanan atau emosi disana. Tapi Liam membanting sesuatu dengan kencang, entah untuk menggertak atau tidak sengaja namun berhasil membuat Millie tersentak dan memejamkan matanya erat. Ia sungguh lelah sekarang.

“aku yang harusnya bertanya itu padamu.” Liam memutar duduknya melirik Millie dengan singit. “jika hanya karena lelah, setidaknya kondisikan sikapmu itu. Atau karena kau membenci dirinya akibat cerita yang kau tulis sediri, simpan saja pikiran bodohmu itu-”

“jangan kekanakan, Liam” Millie menarik nafasnya dalam untuk yang kesekian kalinya. Ia memeluk laptop ditangannya erat hingga telapak tangannya memutih karena menahan emosi. “tidak bisakah kita selesaikan ini?” ia sungguh memohon kali ini.

“kau yang kekanakan.” Liam menggeleng sambil membuang wajahnya. “kau harus meminta maaf padanya, bukan malah bersikap seperti tidak ada apa-apa.” Liam pergi setelah mengatakan itu tanpa mau mendengar perkataan Millie selanjutnya.

Millie memanggil lemah Liam beberapa kali namun hanya langkah kaki yang menjawab. Terdengar suara pintu apartementnya ditutup dari luar. Millie memijit dahinya yang pening. Moodnya hancur sudah, ia tidak bisa menuliskan apapun pada layar didepannya setelah beberapa jam berlalu, dan berakhir ia ketiduran dikamarnya hingga mentari naik.

Millie kembali tidak bisa menuliskan apa-apa pada pekerjaanya, dua gelas kopi sudah ditenggaknya habis tapi tetap tidak menuaikan hasil bagus. Bukan otaknya yang bermasalah tidak bisa bekerja melainkan hatinya yang menyimpan rasa tidak enak. Jarinya menekan dengan kasar tombol untuk menghapus dua paragraph sekaligus.

Ia mengusak wajahnya frustasi. Ia sangat tidak suka sutuasi seperti ini yang memperlambat pekerjannya. Haruskah ia menyusul Liam kerumahnya dan meminta maaf? Tapi ia juga enggan bertemu dengan Melody, dibenaknya terbayang wanita asal Paris itu akan menertawakannya dengan sangat puas melihatnya memohon atas salah yang dibuat oleh wanita itu. Meski sesungguhnya ia butuh mendalami karakter Melody lebih jauh untuk ceritanya, ia tetap mengurungkan niatnya. Gengsi.

Sepertinya keputusan terbaik adalah tetap berada dirumahnya apa pun yang terjadi kedepannya. Millie melirik lagi handphonenya yang sudah dia matikan beberapa jam yang lalu karena merasa terbebani tidak mendapatkan pesan masuk. Baik itu dari Anne, Davine atau mungkin dari Liam untuk menghubunginya. Tak tahu pesan dari siapa lebih tepatnya yang ia tunggu.

Mencoba banyak kegiatan setelahnya seperti membaca tumpukan novel barunya, menonton film, hingga karaoke sendiri namun lebih terlihat seperti seorang wanita tua yang memiliki putus syaraf otak akibat ditinggal pergi oleh kekasih cinta semalamnya, iya betul Millie tidak bernyanyi melainkan berteriak.

Millie menjatuhkan tubuhnya disofa ruang tengah apartementnya, pemandangan langit-langit ruangan lebih menarik perhatiannya ketimbang balik mengerjakan pekerjaannya yang sudah ia tinggal entah kemana. Otaknya memutar sesuatu membuatnya tersadar akan satu hal.

Ia tahu dirinya dan Liam memang sering betengkar sejak dulu, mulai dari pertengkaran kecil hingga pertengkaran hebat. Millie pernah sekali berkelahi dalam artian yang sesungguhnya sampai mereka berdua memiliki luka –luka lebam. Bukan berarti Liam pengecut karena berani main tangan dengan wanita, tapi Millie yang memulainya duluan dan karena lelaki itu tidak terima, ia membalas. Lagi pula Liam tidak pernah menganggapnya seorang wanita, anak itu yang mengatakannya sendiri.

Tapi mereka selalu berakhir dengan berbaikan tidak pernah berlarut dalam pertengkaran mereka. Keduanya akan saling memeluk dan mengucapakn maaf atau berbaring dibalai tempat biasa mereka bermain dikampung halamannya dulu lalu kembali tertawa akan kebodohan masing-masing. Namun Millie tidak pernah merasa ada hal yang mengganjal tiap mereka bertengkar tapi kali ini berbeda. Mungkinkah karena adanya seseorang yang hadir tengah mereka?

Akibat terlalu sibuk menjawab pertanyaanya sendiri yang tidak ada jawaban, Millie memutuskan untuk menyalakan lagu dari speakernya. Ia berucap pada hatinya untuk memberinya jawaban atau sekedar pentunjuk dari jawaban semua pertanyaanya. Playlist yang terputar menampilkan lagu yang membuat keningnya mengerut semakin dalam mulai dari lagu berjudul just a friend to you, love in the dark, hingga lagu sountrack film dari salah satu penyanyi terkenal berjudul almost is never enough.

Lagu-lagu itu secara garis besar menceritakan tentang perasaan yang terpendam pada seseorang dan tanpa bisa diungkapkan. Berharap sendiri pada angan yang entah nyata atau hanya sebuah ilusi yang terbias. Merasa dipermainkan oleh diri sendiri namun enggan mengubah keadaan diantara keduanya. Menyedihkan namun ia merasa getaran yang sama dihatinya.

Setelah tiga puluh menit ia mendengarkan lagu-lagu itu Millie merasakan sesuatu. Ia tahu gemuruh didirinya terus bercabang, tapi apakah mungkin semua berarti ia benar menyimpan perasaan padanya? Atau mungkin ia hanya terbawa suasana pada lagu yang didengarnya.

30 Days with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang