BAB 3 - Liam

0 0 0
                                    

Matanya menjelajah lukisan dihadapannya sambil menggigit kuas yang ia pegang. Entah mengapa ia tidak puas dengan hasil karyanya kali ini, padahal ini frame kanvas terakhirnya butuh waktu cukup lama untuknya bisa memperoleh kanvas baru. Bukan karena ia tidak memiliki selera yang bagus lagi dalam seni, pikirannya melayang entah kemana membuatnya tidak fokus dalam pekerjaanya. Liam mengacak rambutnya gusar merasa furustasi dan membiarkan lukisan setengah jadinya di ujung ruangan.

Liam menatap layar handphonenya lagi untuk yang kesekian kali dalam satu jam belakangan, namun pesan dari seseorang yang ia tunggu tidak kunjung datang. Millie kembali mengacuhkannya sejak ia menolak tawaran yang diberikan wanita itu dua hari lalu. Dalam beberapa point Liam tertarik mengiayakan tawaran itu tapi ia merasa tidak pantas untuk dijadikan narasumber, lagi pula ia tidak yakin dapat menahan dirinya jika dirinya tinggal satu atap selama satu bulan dengan Millie.

"kau tingal bersamaku selama satu bulan, semua kebutuhanmu akan aku tanggung termasuk semua peralatan senimu yang aku yakin pasti habis, akan aku belikan dengan kualitas paling bagus yang bisa aku temui, asal kau mau menjadi narasumberku. Bagaimana terdengar sangat menarik bukan?"

Kalimat itu terus terngiang dikepala Liam. Maksudnya untuk apa harus tinggal bersamanya selama satu bulan tidak bisakah wanita itu yang mendatanginya setiap hari; tawaran Millie memang sangat menarik dan akan sangat membantunya di situasinya saat ini, sedari dulu pun Liam tidak pernah bisa menolak semua permintaan Millie tapi persetan dengan itu semua ia tetap tidak bisa.

Dirinya memutuskan untuk pergi keluar mencari udara segar untuk menenangkan isi kepalanya yang terus bergemuruh. Entah kemana dia akan pergi ia hanya menuruti langkah kakinya berjalan. Malam ini cukup dingin seperti malam-malam sebelumnya, dengan genangan air tersisa di penjuru sisi jalanan. Aroma udara yang bertabrakan setelah terguyur hujan tidak pernah gagal menenangkan suasana hatinya.

Sambil menyusuri jalan Liam kembali mengingat keadaanya yang kurang bagus, beban hutang keluarga yang harus ia tanggung, biaya pendidikan Adam, karyanya yang diikut lombakan tapi belum menuai hasil dan masih banyak lagi. Ia berada diposisi yang cukup sulit tapi ia tidak pernah menceritakannya kepada siapapun. Baginya menceritakan itu semua kepada orang lain tidaklah membantu, yang ia butuhkan hanya keajaiban yang membuahkan jalan untuknya keluar dari situasi ini.

Ia tidak meminta bantuan pada siapun terutama Millie, wanita itu pasti memencak dan akan mencoba membantunya dengan segala cara yang ia punya. Liam tidak ingin memberatinya dengan masalah pribadi yang ia punya.

Nafasnya melenguh pelan merasakan semilir angin yang menerpa kulitnya. Sejuk dan membuatnya terhanyut tapi sayangnya ia tidak bisa mengikuti arah angin lalu menyesuaikan dengan jalannya untuk merasa bebas, hidup dan tetap indah walau tidak terlihat. Ia merasa iri dengan pandangannya saat ini sungai yang membentang luas dengan latar gedung kota yang terhias cahaya lampu malam. Jika ia bisa menjadi tempat yang ia angankan dalam kepalanya, hal apa yang harus ia relakan untuk membayar itu semua?

Liam merogoh handphonenya yang bergetar disaku celana. Ia tidak lagi mengharapkan orang yang ditunggunya dalam panggilan itu, jadi ia langsung mengangkatnya tanpa permisi dan menjawabnya dengan berdeham.

"paman dan bibimu datang malam ini dan akan tinggal selama beberapa hari. Teman-temanku juga akan datang menginap untuk mengerjakan tugas kuliah."

Liam kembali menghela nafas panjang mendengar rentetan cerita Adam diujung sana. "lalu?"

"kamarmu mungkin akan dipakai dan galerimu juga akan aku pakai untuk mengerjakan tugas bersama teman-temanku."

"pinggirkan saja semua lukisanku, dan jangan mengacak." Putus Liam pada telponnya.

Menyebalkan tapi mau bagaimana pun ia tetap tidak bisa menolak. Dan sekarang ia tidak punya tujuan untuk pulang. Ia tidak mau pulang, tidak disaat paman dan bibinya berkunjung yang hanya membantunya untuk menambah pening dikepalanya. Liam merasakan rintik hujan mulai kembali turun, perutnya pun mulai bergetar lapar dan ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

Ia berdecak lalu beranjak pergi dari jembatan tempat ia berdiri. Ia memikirkan satu hal konyol yang mungkin akan ia sesali nanti-atau mungkin tidak juga- yang bisa menjadikannya alasan untuk pulang. Liam sempat berhenti di salah satu toko untuk membeli coklat dan makanan ringan lainnya sebelum akhirnya pulang dengan langkah berat.

30 Days with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang